Jumat, 31 Juli 2015

A LIFING PORTRAIT

"A LIFING PORTRAIT"
      
        AL Fathur Ridwan | DOCUMENTARY
      parable | introspeksiting | philoshophys






Berbeda-beda, tapi bersama-sama.

Perbedaan sebuah A LIFING POTRET memang banyak membuat manusia merasa minder untuk bersosialisai dengan yang lain. Hal ini turut memicu kita agar lebih bisa memberitahu kepada mereka bahwa tak ada arti apa-apa dari perbedaan, selagi kepercayaan diri kita terus membara di diri kita sendiri. Seperti contoh dalam cerita pendek yang mengemukakan tentang sebuah perbedaan yang dialami 2 orang pelajar SD bersekolah mewah dengan baju yang berseragam kemeja dan pelajar desa yang hanya memakai kaus dan sendal;
seorang siswa SD bertanya pada anak SD lainnya yang tengah duduk di sebuah tumbangan pohon kelapa.

kamu mau sekolah juga ya?, kok nggak pake seragam?? Mana sepatumu?”
“iya aku mau sekolah sama sepertimu, tapi sekolah ku beda. Dinding-dindingnya terbuat dari kayu dan asbes, atapnya bolong, gentengnya juga dari bambu.” Penjelasan dari anak tak berseragam yang polos membuat anak berseragam tertawa kecil. “jelek banget sekolah kamu!!” ejek-nya.
pasti ilmu yang kamu dapat juga gak jelas ya..??”. anak tak berseragam itu hanya tersenyum mendengarnya.
walaupun sekolahnya tak jelas, tapi ilmu disana sama jelasnya dengan ilmu disekolah SD manapun, ada Matematika, Bahasa, PPKN. Dan lain lain. Kita juga setiap Minggu libur, Jum’at berpakaian Muslim, dan Senin Upacara. Walau kami tak memiliki seragam, tapi kebersamaan kami dengan guru kami sangat beragam. Lagi pula tujuan kita sama dalam bersekolah, menuntut ilmu buat masa depan. Ia kan?”

Dari penjelasan sang anak tak berseragam itu membuat diam sejenak si anak yang berseragam dan berfikir sembari menggaruk kepalanya.
_Benar juga_

            Masih mengenai perbedaan dan persamaan. Dimana mana bila kita memperhatikan banyak orang di sekitar kita, pasti kita akan merespon biasa pada mereka. Tak kenal maka tak sayang, dimana ada perbedaan disitu ada perdebatan. Namun bila kita bertemu atau melihat seseorang yang tidak sama sekali kita kenal, namun kebiasaan, kepribadian, serta marga hidup-nya sama, pasti akan timbul rasa simpati kita terhadap orang itu. Ingin mengenal lebih dekat apakah benar orang bitu mempunyai kepribadian sama dengan kita. Persamaan suku atau agama pun terhadap seseorang yang kita belum lihat sebelumnya, akan menjadi bahan perhatian kita pada mereka karena persamaan tersebut. Namun yang harus tetap kita ingat adalah; persamaan maupun perbedaan segalanya dalam hidup didunia ini bukanlah untuk menciptakan sebuah perdebatan suatu hal untuk memilih mana yang terbaik dan yang terhebat. Tetapi menurut POTRET perbedaan di sini, adalah dapat membentuk banyak informasi yang berbeda beda, saling tukar menukar bagaimana cara hidup yang berbeda beda, dan menjadikannya banyaknya sebuah karya atau budaya yan berbeda pula dengan cara yang mudah. Bersosialisasi.

            Dari kitanya sendiri-pun, harus pintar –pintar bersosialisasi dengan banyak orang disekitar kita. Agar kita bisa dengan mudah mendapatkan pandangan hidup yang baru dari perbedaan hidup mereka dengan selalu menukar informasi, wawasan dan gaya hidup yang lain dan lebih menarik dari hidup kita yang itu-itu saja. Itulah manfaat perbedaan. Bukan dijadikannya persaingan pesat; siapa gaya hidup yang lebih bagus dan trendy.
Pandangan hidup dari seorang penghuni jalanan mengenai hak hidup mereka di jalanan, tertera pada cerita pendek dibawah;



“ Dua anak pengamen dengan seorang karyawan ”

Disebuah pinggir jalan, tepatnya dibawah puing puing jalan layang ada seorang karyawan bertanya kepada dua anak pengamen.

apa yang kamu rasakan menjadi seorang pengamen nak?” Tanya-sang karyawan kepada anak yang berbaju merah.

rasanya tak enak dan miskin, aku dari kecil tak memiliki ayah ataupun ibu.aku sebatang kara, siapa yang mau merawatku?? Kami disini sengsara..kami tak punya arti apa-apa lagi dalam hidup” jelasnya.
Si karyawan kembali bertanya pada anak pengamen satunya yang berbaju biru. Dengan pertanyaan yang sama.

“apa yang kamu rasakan  menjadi seorang pengamen..??”
Lalu anak berbaju biru berkata; “itu takdir Tuhan om, walaupun ini terasa pahit, tapi kami juga mempunyai warna tersendiri di dunia ini. Aku cukup bersyukur menjadi seorang pengamen, selama masih banyak teman teman seperjuangan yang ku ajak bercanda bersama, serta suka dan duka bersama. Dibandingkan seorang anak kolongmerat yang hidupnya sepi tanpa adanya perhatian orang tua yang selalu sibuk bekerja -mereka sering ku lihat di balik kaca jendela mobilnya yang mewah-, tapi disini kami bekerja bersama sama..!!” jelasnya. “dan kami senang..!!”

            Sekali lagi. Hal barusan menandakan tak ada perbedaan yang menimbulkan perdebatan suatu masalah kecil maupun besar. Semua peran manusia bahkan flora dan fauna-pun menjadi sebuah karakter di bumi ini. Mempunyai warna cerah yang berbeda, cara hidup yang berbeda, dan keyakinan yang berbeda pula. Namun tujuan dan hasil itu semua sama. Ingin menjadi yang terbaik, dimata orang banyak dan dihati kita sendiri.

            Ada pula sedikit renungan mengenai perbedaan dalam aktivitas-aktivitas kita sehari hari terutama dalam dunia kerja. Kita yang mungkin merasa diri kita adalah pekerja yang hebat dan berjabat tinggi selalu melihat orang lain yang ber-gaji kecil pasti mempunyai rasa syukur atau semangat yang tinggi dalam pekerjaannya yang sama berat dan sama lelah namun peng-gajiannya yang berbeda. Lebih rendah dari kita. Namun bila kita berfikir lebih dalam mengenai Gaji yang pastinya berupa uang, kita dengan pekerja tersebut bagi pandangan A LIFING POTRET “tak ada bedanya”. Yang membuat kita semua sama adalah;

Tujuan bekerja dalam pekerjaan apapun mempunyai makna yang sama persis; mendapatkan uang untuk menyambung hidup kita, dan memenuhi kebutuhan hidup kita.

Peng-gajian sama-sama berupa Uang, tak seperti dulu dalam bekerja. Yang dibayar dengan barang atau makan gratis saja. Kini dalam pekerjaan apapun, mulai dari seorangpengemis sampai Presiden sama-sama mendapatkan hasil berupa sebuah kertas yang berbau asam dan terbuat dari kayu langka. Serta dengan warna yang sama, dan model gambar uang yang sama pula.

Efek samping dalam sebuah pekerjaan juga sama. Letih, mengantuk, bosan, serta sibuk. Dan selalu ada konflik yang datang dan kita yang harus menyelesaikan masalah itu. mempunyai tanggung jawab . Serta sama-sama ingin cepat kembali sampai rumah bila saat dalam bekerja, agar bisa kembali merebahkan kaki dan beristirahat. Apapun pekerjakan itu. Benar kan!!

Belajar dari orang yang hidup lebih sederhana,

Hampir diseluruh permukaan bumi kita temukan orang–orang yang dengan santai menjalani hidup. Aktivitas-aktivitas para pekerja cukup banyak ditemukan disana, mulai dari pekerja BussinesMan sampai seorang Pengemis. Menceritakan riwayat pengemis disana memang tak ada habisnya, mulai dari seorang pengamen sampai seorang gembel cacat
– mereka menyebutnya –

Menurut A LIFING POTRET di kehidupan sederhana ini, banyak pula seorang pengemis yang berhati mulia kepada pengemis lainnya. Membagikan hasil mengamen pada teman atau orang yang lebih membutuhkan, bahkan seorang nenek tua yang compang camping telah susah payah mengemis pada orang tentu hasilnya itu bukan untuknya sendiri walau sangat sedikit jumlahnya. Pengemis juga manusia, mereka memiliki teman sesamanya. Bila satu dari mereka ada yang mendapat uang cukup banyak sekedar membeli nasi bungkus, pasti benak yang timbul di hati sang pengemis itu akan berbagi nasi bungkus kepada teman temannya yang belum mendapatkan hasil. 1 ikat nasi bungkus yang dimakan oleh 2 orang pengemis bahkan lebih. Itu sudah menjadi hal yang biasa di kehidupan mereka bagi yang peduli sesama.

           Namun ada pula seorang pengemis yang tak mau membagikan hasil pada teman temannya tetapi ia memberikan peluang untuk tidak mengambil jatah teman temannya dalam mengemis. Hal itu bertujuan agar semua teman teman sesamanya bisa berusaha sendiri mencari pemberian tanpa ketergantungan dirinya dalam membagi jatah.
-mungkin ia berfikir itu Curang-

Bicara soal bagaimana kita mempelajari hidup dengan orang yang jauh lebih sederhana. Saya mempunyai sebuah cerita yang menunjukan bagaimana hidup susah tetap menjadi sebuah kehidupan yang biasa dirasakan kita.
Ini adalah kisah yang saya rangkum dari mirisnya keluarga miskin di sudut kota Jakarta; Seorang kakak beradik bernama Hanum dan adiknya Ivan sudah lebih dari 3 tahun menjadi seorang pemulung. Mereka memungut sampah sampah jalan yang berserakan bahkan sesekali masuk dalam selokan besar yang ada disana, bau yang tak sedap serta tubuh yang terasa gatal sudah menjadi teman karib mereka.

“mba, hari ini kita makan apa?” sering kali bahkan setiap jam Ivan menanyakan kepada kakaknya; makan apa mereka hari ini?, atau tak makan sama sekali dalam sehari?. Sang kakak selalu menasihati adiknya yang putus sekolah sejak kelas 2 SD, ia sendiri putus sekolah sejak kelas 3 SD

kita kerja dulu sampai dapat uang, biar kita bisa beli roti sama gorengan”. Roti dan gorengan adalah ke2 makanan mereka setiap istirahat sehabis memulung, itupun bila mereka sudah mendapat penghasilan dari hasil pulungan. Mungkin jika tidak, mereka terpaksa mengemis. Rumah perpaduan antara kardus, asbes, dan kayu sudah bertahun tahun menjadi istana mewah yang paling nyaman bagi mereka. Alat alat perabotan juga seadanya; 3 buah gelas dan piring pelastik, itupun hasil penemuan mereka di suatu tempat  pembuangan sampah.

            Kebanyakan pengemis adalah sebatang kara, begitu pun mereka yang sudah lama di tinggal mati orang tuanya saat Ivan masih sangat bayi.
Hanum dan sang Paman-lah yang mengurus Ivan hingga sebesar itu, pamannya yang juga seorang tukang barang bekas hanya berpenghasilan 7 ribu rupiah perharinya, itu hanya untuk membeli beras dan tak bisa membiayai kedua kepornakannya sekolah, sampai putuslah pendidikan mereka.

            “Ivan, Hanum..mas bawa buku pelajaran nih,” walaupun Hanum dan Ivan tak sekolah, mereka tetap mempunyai kesempatan untuk mendapat sedikit pengetahuan dari buku pelajaran yang didapat sang paman dari hasil penukaran barang bekasnya. Buku bekas yang kumuh dan kotor itu masih layak terpakai. Bahasa sastra Indonesia dan PPKN-lah yang mereka dapatkan, walaupun buku itu untuk kelas 6 SD tetapi mereka tetap memahami apa yang ada dalam pengetahuan tersebut. Sesekali Ivan dan Hanum kurang paham apa maksud dari yang mereka pelajari, sang paman memberitahu apa yang ia ketahui saja. Dan mereka langsung mengerti.
besok, kalo ada buku bekas lagi..mas bawa’in buat kalian”

Sudah lama Hanum mengharapkan jikalau sang paman membawakanya buku pendidikan agama islam atau buku buku kecil tentang kumpulan doa  sehari-hari. Walaupun mereka adalah keluarga kecil yang miskin, namun kekayaan ibadah mereka cukup tinggi. Meski mereka terkadang hanya shalat 3 waktu saja karena kerja keras dan kotor menghalangi, doa doa mereka untuk orang tua tak luput di ucapkan sehabis setiap shalat. Shalat 3 waktu pun bukan berarti mereka malas, ini karena faktor tempat, waktu, dan kondisi kebersihan mereka yang tak mungkin dianggapnya sah dalam shalat. Bahkan Ivan sendiri mempunyai mimpi dapat bersekolah di sebuah pendidikan SDI (sekolah dasar Islam) yang sering ia lihat. Banyaknya para santri berseragam putih dan celana hijau bersorak sorai seperti-sekolah SD pada umumnya. Ivan hanya menatap sedih dibalik pagar, penuh harap agar ia bisa bergabung dengan mereka.

            Cerita diatas telah menggambarkan betapa pentingnya hidup berkependidikan dan memiliki wawasan yang luas. Jalan satu satunya dalam menemukan kesuksesan adalah bersekolah dan bersekolah di usia dini baik secara sosial maupun private. Namun, bagaimana dengan anak bangsa yang tidak mampu sekolah?, masih ada jalan yang diberikan Allah.Swt untuknya demi mengetahui sedikit wawasan dan pengetahuan, itupun tergantung niat serta kemauan para anak jalanan yang ingin merubah jalan hidupnya bisa lebih baik.

Yang terpenting dari A LIFING POTRET mereka adalah sebuah kesabaran yang besar dalam berjuang menjalani pahit manisnya hidup di dunia. Filosophi kehidupan memang sebuah teka teki, mereka juga termasuk salah satu dari berjuta juta tokoh manusia yang mewarnai Dunia.
Seorang pemulung saja ingin sekali sekedar hanya membaca buku. Mungkin dari buku itu mereka bisa dapat apa yang belum mereka dapat, bisa mengetahui apa yang mereka belum ketahui, dan melakukan sesuatu apa yang belum pernah mereka lakukan. Itu adalah pemahaman cerdas seorang anak pemulung hanya dengan membaca sebuah buku bekas yang jelek.

Seperti halnya kehidupan para pengamen jalanan, bagi orang orang yang memandang mereka, kehidupan di dunianya berwarna putih abu-abu dan kelam. Namun bagi mereka sendiri nilai kehidupan mereka penuh warna walau tidak secerah orang lain. Kendaraan demi kendaraan mereka singgahi, lagu lagu yang mereka hafal atau sedang trend di masanya selalu dinyanyikan dengan suara yang fals tak beraturan, permodalan gitar, pam-pam, atau kecrek selalu menemani mereka dan mengiringi musik apa saja yang mereka nyanyikan, terkadang pula mereka hanya menggunakan irama tepukan tangan bila tak mempunyai modal alat musik dalam mengamen. -Ini sungguh Miris-

Tak hanya orang dewasa yang bekerja sebagai pengamen, bahkan anak di bawah umur sering kita jumpai di dalam kendaraan umum ataupun menyanyi dengan suara fals di samping kaca jendela mobil kita. Mereka tak peduli suara mereka bagus atau tidak sama sekali, yang mereka harapkan hanya rasa iba kita dan memberikan sedikit uang untuknya; receh pun sudah membuat mereka senang, sekedar untuk membeli es di pinggir jalan. Itu sudah menjadi sebuah rizky dari Allah.Swt untuk mereka. Anak pengamen.

            Terkadang saya turut malu akan kesederhanaan mereka dalam menjalani hidup ini. Penuh dengan semangat dibalik kesengsaraan, penuh tawa dibalik kesedihan, penuh senyum walau itu mengecewakan. Dibandingkan kita yang tinggal dapat ilmu hanya pergi kesekolah, atau mendapat sebuah gaji hanya dalam bekerja, namun masih saja ada rasa malas bahkan tak niat untuk kita melaksanakan itu dengan semangat. Namun orang orang sederhana ini tetap semangat dan menjadi impian mereka dalam menuntut ilmu meski hanya ingin memiliki buku pelajaran-pun sudah seperti mencari jarum di antara jerami-jerami yang menumpuk. Harus dengan usaha yang kuat dan cucuran keringat demi mendapat sejilid buku pelajaran yang kumuh.

            Bahkan tak hanya orang-orang yang tak mampu bersekolah harus tetap berusaha meraih impian mereka. Orang yang sudah bekerja maupun berpendidikan-pun harus tetap berusaha dalam mengembangkan dan menjaga prestasinya itu. Seperti halnya orang-orang yang tak memiliki biaya anaknya sekolah, mereka harus berjuang dalam mencari nafkah untuk anaknya terus sekolah sampai mencapai sukses!. Namun bagaimana bila orang tua tak sanggup lagi membiayai mereka sedangkan mereka masih jauh akan perjalanan tuntutan ilmunya. Mau tidak mau anak yang bersekolah itu turut membantu orang tuanya bekerja. Dan itu sudah banyak saya lihat di lingkungan kehidupan yang saya lewati.
Kebanyakan seorang anak seperti ini pada saat pulang sekolah selalu dinanti akan orang tuanya terutama Ibu untuk diberi kecupan manis, makan siang, kembali diajarkan les, atau tidur siang. Namun siapa sangka, banyak pula saat anak dibawah umur langsung bekerja saat begitu pulang sekolah! Dirumah tak ada makanan, tak ada orang tua yang menyambutnya (karena sedang bekerja), dan tak ada kata “tidur siang” bagi mereka. Ironis.

            Prinsipnya, kekuatan seorang manusia bukanlah datang dari tenaga kalori yang ia kumpulkan, ia bentuk hingga menjadi otot, dan kuat. Kekuatan dari niat yang besar, walau fisik yang dipandang lemah namun sebenarnya orang itu mempunyai kekuatan tak kalah dengan seorang binaragawan. Selama niatnya dalam menyambung hidup, yang juga dibumbui rasa tekad yang membara, rasa kuat yang timbul akan ikut membara. Pekerjaan seberat apapun juga akan terasa ringan dikerjakan.

AL..

2 komentar:

  1. ini repost dari blog yang lama :D

    BalasHapus
  2. Ceritanya bagus nih..
    calon penulis novel sukses kayaknya :D

    "a living portrait"

    BalasHapus