Jumat, 31 Juli 2015

A LIFING PORTRAIT

"A LIFING PORTRAIT"
      
        AL Fathur Ridwan | DOCUMENTARY
      parable | introspeksiting | philoshophys






Berbeda-beda, tapi bersama-sama.

Perbedaan sebuah A LIFING POTRET memang banyak membuat manusia merasa minder untuk bersosialisai dengan yang lain. Hal ini turut memicu kita agar lebih bisa memberitahu kepada mereka bahwa tak ada arti apa-apa dari perbedaan, selagi kepercayaan diri kita terus membara di diri kita sendiri. Seperti contoh dalam cerita pendek yang mengemukakan tentang sebuah perbedaan yang dialami 2 orang pelajar SD bersekolah mewah dengan baju yang berseragam kemeja dan pelajar desa yang hanya memakai kaus dan sendal;
seorang siswa SD bertanya pada anak SD lainnya yang tengah duduk di sebuah tumbangan pohon kelapa.

kamu mau sekolah juga ya?, kok nggak pake seragam?? Mana sepatumu?”
“iya aku mau sekolah sama sepertimu, tapi sekolah ku beda. Dinding-dindingnya terbuat dari kayu dan asbes, atapnya bolong, gentengnya juga dari bambu.” Penjelasan dari anak tak berseragam yang polos membuat anak berseragam tertawa kecil. “jelek banget sekolah kamu!!” ejek-nya.
pasti ilmu yang kamu dapat juga gak jelas ya..??”. anak tak berseragam itu hanya tersenyum mendengarnya.
walaupun sekolahnya tak jelas, tapi ilmu disana sama jelasnya dengan ilmu disekolah SD manapun, ada Matematika, Bahasa, PPKN. Dan lain lain. Kita juga setiap Minggu libur, Jum’at berpakaian Muslim, dan Senin Upacara. Walau kami tak memiliki seragam, tapi kebersamaan kami dengan guru kami sangat beragam. Lagi pula tujuan kita sama dalam bersekolah, menuntut ilmu buat masa depan. Ia kan?”

Dari penjelasan sang anak tak berseragam itu membuat diam sejenak si anak yang berseragam dan berfikir sembari menggaruk kepalanya.
_Benar juga_

            Masih mengenai perbedaan dan persamaan. Dimana mana bila kita memperhatikan banyak orang di sekitar kita, pasti kita akan merespon biasa pada mereka. Tak kenal maka tak sayang, dimana ada perbedaan disitu ada perdebatan. Namun bila kita bertemu atau melihat seseorang yang tidak sama sekali kita kenal, namun kebiasaan, kepribadian, serta marga hidup-nya sama, pasti akan timbul rasa simpati kita terhadap orang itu. Ingin mengenal lebih dekat apakah benar orang bitu mempunyai kepribadian sama dengan kita. Persamaan suku atau agama pun terhadap seseorang yang kita belum lihat sebelumnya, akan menjadi bahan perhatian kita pada mereka karena persamaan tersebut. Namun yang harus tetap kita ingat adalah; persamaan maupun perbedaan segalanya dalam hidup didunia ini bukanlah untuk menciptakan sebuah perdebatan suatu hal untuk memilih mana yang terbaik dan yang terhebat. Tetapi menurut POTRET perbedaan di sini, adalah dapat membentuk banyak informasi yang berbeda beda, saling tukar menukar bagaimana cara hidup yang berbeda beda, dan menjadikannya banyaknya sebuah karya atau budaya yan berbeda pula dengan cara yang mudah. Bersosialisasi.

            Dari kitanya sendiri-pun, harus pintar –pintar bersosialisasi dengan banyak orang disekitar kita. Agar kita bisa dengan mudah mendapatkan pandangan hidup yang baru dari perbedaan hidup mereka dengan selalu menukar informasi, wawasan dan gaya hidup yang lain dan lebih menarik dari hidup kita yang itu-itu saja. Itulah manfaat perbedaan. Bukan dijadikannya persaingan pesat; siapa gaya hidup yang lebih bagus dan trendy.
Pandangan hidup dari seorang penghuni jalanan mengenai hak hidup mereka di jalanan, tertera pada cerita pendek dibawah;



“ Dua anak pengamen dengan seorang karyawan ”

Disebuah pinggir jalan, tepatnya dibawah puing puing jalan layang ada seorang karyawan bertanya kepada dua anak pengamen.

apa yang kamu rasakan menjadi seorang pengamen nak?” Tanya-sang karyawan kepada anak yang berbaju merah.

rasanya tak enak dan miskin, aku dari kecil tak memiliki ayah ataupun ibu.aku sebatang kara, siapa yang mau merawatku?? Kami disini sengsara..kami tak punya arti apa-apa lagi dalam hidup” jelasnya.
Si karyawan kembali bertanya pada anak pengamen satunya yang berbaju biru. Dengan pertanyaan yang sama.

“apa yang kamu rasakan  menjadi seorang pengamen..??”
Lalu anak berbaju biru berkata; “itu takdir Tuhan om, walaupun ini terasa pahit, tapi kami juga mempunyai warna tersendiri di dunia ini. Aku cukup bersyukur menjadi seorang pengamen, selama masih banyak teman teman seperjuangan yang ku ajak bercanda bersama, serta suka dan duka bersama. Dibandingkan seorang anak kolongmerat yang hidupnya sepi tanpa adanya perhatian orang tua yang selalu sibuk bekerja -mereka sering ku lihat di balik kaca jendela mobilnya yang mewah-, tapi disini kami bekerja bersama sama..!!” jelasnya. “dan kami senang..!!”

            Sekali lagi. Hal barusan menandakan tak ada perbedaan yang menimbulkan perdebatan suatu masalah kecil maupun besar. Semua peran manusia bahkan flora dan fauna-pun menjadi sebuah karakter di bumi ini. Mempunyai warna cerah yang berbeda, cara hidup yang berbeda, dan keyakinan yang berbeda pula. Namun tujuan dan hasil itu semua sama. Ingin menjadi yang terbaik, dimata orang banyak dan dihati kita sendiri.

            Ada pula sedikit renungan mengenai perbedaan dalam aktivitas-aktivitas kita sehari hari terutama dalam dunia kerja. Kita yang mungkin merasa diri kita adalah pekerja yang hebat dan berjabat tinggi selalu melihat orang lain yang ber-gaji kecil pasti mempunyai rasa syukur atau semangat yang tinggi dalam pekerjaannya yang sama berat dan sama lelah namun peng-gajiannya yang berbeda. Lebih rendah dari kita. Namun bila kita berfikir lebih dalam mengenai Gaji yang pastinya berupa uang, kita dengan pekerja tersebut bagi pandangan A LIFING POTRET “tak ada bedanya”. Yang membuat kita semua sama adalah;

Tujuan bekerja dalam pekerjaan apapun mempunyai makna yang sama persis; mendapatkan uang untuk menyambung hidup kita, dan memenuhi kebutuhan hidup kita.

Peng-gajian sama-sama berupa Uang, tak seperti dulu dalam bekerja. Yang dibayar dengan barang atau makan gratis saja. Kini dalam pekerjaan apapun, mulai dari seorangpengemis sampai Presiden sama-sama mendapatkan hasil berupa sebuah kertas yang berbau asam dan terbuat dari kayu langka. Serta dengan warna yang sama, dan model gambar uang yang sama pula.

Efek samping dalam sebuah pekerjaan juga sama. Letih, mengantuk, bosan, serta sibuk. Dan selalu ada konflik yang datang dan kita yang harus menyelesaikan masalah itu. mempunyai tanggung jawab . Serta sama-sama ingin cepat kembali sampai rumah bila saat dalam bekerja, agar bisa kembali merebahkan kaki dan beristirahat. Apapun pekerjakan itu. Benar kan!!

Belajar dari orang yang hidup lebih sederhana,

Hampir diseluruh permukaan bumi kita temukan orang–orang yang dengan santai menjalani hidup. Aktivitas-aktivitas para pekerja cukup banyak ditemukan disana, mulai dari pekerja BussinesMan sampai seorang Pengemis. Menceritakan riwayat pengemis disana memang tak ada habisnya, mulai dari seorang pengamen sampai seorang gembel cacat
– mereka menyebutnya –

Menurut A LIFING POTRET di kehidupan sederhana ini, banyak pula seorang pengemis yang berhati mulia kepada pengemis lainnya. Membagikan hasil mengamen pada teman atau orang yang lebih membutuhkan, bahkan seorang nenek tua yang compang camping telah susah payah mengemis pada orang tentu hasilnya itu bukan untuknya sendiri walau sangat sedikit jumlahnya. Pengemis juga manusia, mereka memiliki teman sesamanya. Bila satu dari mereka ada yang mendapat uang cukup banyak sekedar membeli nasi bungkus, pasti benak yang timbul di hati sang pengemis itu akan berbagi nasi bungkus kepada teman temannya yang belum mendapatkan hasil. 1 ikat nasi bungkus yang dimakan oleh 2 orang pengemis bahkan lebih. Itu sudah menjadi hal yang biasa di kehidupan mereka bagi yang peduli sesama.

           Namun ada pula seorang pengemis yang tak mau membagikan hasil pada teman temannya tetapi ia memberikan peluang untuk tidak mengambil jatah teman temannya dalam mengemis. Hal itu bertujuan agar semua teman teman sesamanya bisa berusaha sendiri mencari pemberian tanpa ketergantungan dirinya dalam membagi jatah.
-mungkin ia berfikir itu Curang-

Bicara soal bagaimana kita mempelajari hidup dengan orang yang jauh lebih sederhana. Saya mempunyai sebuah cerita yang menunjukan bagaimana hidup susah tetap menjadi sebuah kehidupan yang biasa dirasakan kita.
Ini adalah kisah yang saya rangkum dari mirisnya keluarga miskin di sudut kota Jakarta; Seorang kakak beradik bernama Hanum dan adiknya Ivan sudah lebih dari 3 tahun menjadi seorang pemulung. Mereka memungut sampah sampah jalan yang berserakan bahkan sesekali masuk dalam selokan besar yang ada disana, bau yang tak sedap serta tubuh yang terasa gatal sudah menjadi teman karib mereka.

“mba, hari ini kita makan apa?” sering kali bahkan setiap jam Ivan menanyakan kepada kakaknya; makan apa mereka hari ini?, atau tak makan sama sekali dalam sehari?. Sang kakak selalu menasihati adiknya yang putus sekolah sejak kelas 2 SD, ia sendiri putus sekolah sejak kelas 3 SD

kita kerja dulu sampai dapat uang, biar kita bisa beli roti sama gorengan”. Roti dan gorengan adalah ke2 makanan mereka setiap istirahat sehabis memulung, itupun bila mereka sudah mendapat penghasilan dari hasil pulungan. Mungkin jika tidak, mereka terpaksa mengemis. Rumah perpaduan antara kardus, asbes, dan kayu sudah bertahun tahun menjadi istana mewah yang paling nyaman bagi mereka. Alat alat perabotan juga seadanya; 3 buah gelas dan piring pelastik, itupun hasil penemuan mereka di suatu tempat  pembuangan sampah.

            Kebanyakan pengemis adalah sebatang kara, begitu pun mereka yang sudah lama di tinggal mati orang tuanya saat Ivan masih sangat bayi.
Hanum dan sang Paman-lah yang mengurus Ivan hingga sebesar itu, pamannya yang juga seorang tukang barang bekas hanya berpenghasilan 7 ribu rupiah perharinya, itu hanya untuk membeli beras dan tak bisa membiayai kedua kepornakannya sekolah, sampai putuslah pendidikan mereka.

            “Ivan, Hanum..mas bawa buku pelajaran nih,” walaupun Hanum dan Ivan tak sekolah, mereka tetap mempunyai kesempatan untuk mendapat sedikit pengetahuan dari buku pelajaran yang didapat sang paman dari hasil penukaran barang bekasnya. Buku bekas yang kumuh dan kotor itu masih layak terpakai. Bahasa sastra Indonesia dan PPKN-lah yang mereka dapatkan, walaupun buku itu untuk kelas 6 SD tetapi mereka tetap memahami apa yang ada dalam pengetahuan tersebut. Sesekali Ivan dan Hanum kurang paham apa maksud dari yang mereka pelajari, sang paman memberitahu apa yang ia ketahui saja. Dan mereka langsung mengerti.
besok, kalo ada buku bekas lagi..mas bawa’in buat kalian”

Sudah lama Hanum mengharapkan jikalau sang paman membawakanya buku pendidikan agama islam atau buku buku kecil tentang kumpulan doa  sehari-hari. Walaupun mereka adalah keluarga kecil yang miskin, namun kekayaan ibadah mereka cukup tinggi. Meski mereka terkadang hanya shalat 3 waktu saja karena kerja keras dan kotor menghalangi, doa doa mereka untuk orang tua tak luput di ucapkan sehabis setiap shalat. Shalat 3 waktu pun bukan berarti mereka malas, ini karena faktor tempat, waktu, dan kondisi kebersihan mereka yang tak mungkin dianggapnya sah dalam shalat. Bahkan Ivan sendiri mempunyai mimpi dapat bersekolah di sebuah pendidikan SDI (sekolah dasar Islam) yang sering ia lihat. Banyaknya para santri berseragam putih dan celana hijau bersorak sorai seperti-sekolah SD pada umumnya. Ivan hanya menatap sedih dibalik pagar, penuh harap agar ia bisa bergabung dengan mereka.

            Cerita diatas telah menggambarkan betapa pentingnya hidup berkependidikan dan memiliki wawasan yang luas. Jalan satu satunya dalam menemukan kesuksesan adalah bersekolah dan bersekolah di usia dini baik secara sosial maupun private. Namun, bagaimana dengan anak bangsa yang tidak mampu sekolah?, masih ada jalan yang diberikan Allah.Swt untuknya demi mengetahui sedikit wawasan dan pengetahuan, itupun tergantung niat serta kemauan para anak jalanan yang ingin merubah jalan hidupnya bisa lebih baik.

Yang terpenting dari A LIFING POTRET mereka adalah sebuah kesabaran yang besar dalam berjuang menjalani pahit manisnya hidup di dunia. Filosophi kehidupan memang sebuah teka teki, mereka juga termasuk salah satu dari berjuta juta tokoh manusia yang mewarnai Dunia.
Seorang pemulung saja ingin sekali sekedar hanya membaca buku. Mungkin dari buku itu mereka bisa dapat apa yang belum mereka dapat, bisa mengetahui apa yang mereka belum ketahui, dan melakukan sesuatu apa yang belum pernah mereka lakukan. Itu adalah pemahaman cerdas seorang anak pemulung hanya dengan membaca sebuah buku bekas yang jelek.

Seperti halnya kehidupan para pengamen jalanan, bagi orang orang yang memandang mereka, kehidupan di dunianya berwarna putih abu-abu dan kelam. Namun bagi mereka sendiri nilai kehidupan mereka penuh warna walau tidak secerah orang lain. Kendaraan demi kendaraan mereka singgahi, lagu lagu yang mereka hafal atau sedang trend di masanya selalu dinyanyikan dengan suara yang fals tak beraturan, permodalan gitar, pam-pam, atau kecrek selalu menemani mereka dan mengiringi musik apa saja yang mereka nyanyikan, terkadang pula mereka hanya menggunakan irama tepukan tangan bila tak mempunyai modal alat musik dalam mengamen. -Ini sungguh Miris-

Tak hanya orang dewasa yang bekerja sebagai pengamen, bahkan anak di bawah umur sering kita jumpai di dalam kendaraan umum ataupun menyanyi dengan suara fals di samping kaca jendela mobil kita. Mereka tak peduli suara mereka bagus atau tidak sama sekali, yang mereka harapkan hanya rasa iba kita dan memberikan sedikit uang untuknya; receh pun sudah membuat mereka senang, sekedar untuk membeli es di pinggir jalan. Itu sudah menjadi sebuah rizky dari Allah.Swt untuk mereka. Anak pengamen.

            Terkadang saya turut malu akan kesederhanaan mereka dalam menjalani hidup ini. Penuh dengan semangat dibalik kesengsaraan, penuh tawa dibalik kesedihan, penuh senyum walau itu mengecewakan. Dibandingkan kita yang tinggal dapat ilmu hanya pergi kesekolah, atau mendapat sebuah gaji hanya dalam bekerja, namun masih saja ada rasa malas bahkan tak niat untuk kita melaksanakan itu dengan semangat. Namun orang orang sederhana ini tetap semangat dan menjadi impian mereka dalam menuntut ilmu meski hanya ingin memiliki buku pelajaran-pun sudah seperti mencari jarum di antara jerami-jerami yang menumpuk. Harus dengan usaha yang kuat dan cucuran keringat demi mendapat sejilid buku pelajaran yang kumuh.

            Bahkan tak hanya orang-orang yang tak mampu bersekolah harus tetap berusaha meraih impian mereka. Orang yang sudah bekerja maupun berpendidikan-pun harus tetap berusaha dalam mengembangkan dan menjaga prestasinya itu. Seperti halnya orang-orang yang tak memiliki biaya anaknya sekolah, mereka harus berjuang dalam mencari nafkah untuk anaknya terus sekolah sampai mencapai sukses!. Namun bagaimana bila orang tua tak sanggup lagi membiayai mereka sedangkan mereka masih jauh akan perjalanan tuntutan ilmunya. Mau tidak mau anak yang bersekolah itu turut membantu orang tuanya bekerja. Dan itu sudah banyak saya lihat di lingkungan kehidupan yang saya lewati.
Kebanyakan seorang anak seperti ini pada saat pulang sekolah selalu dinanti akan orang tuanya terutama Ibu untuk diberi kecupan manis, makan siang, kembali diajarkan les, atau tidur siang. Namun siapa sangka, banyak pula saat anak dibawah umur langsung bekerja saat begitu pulang sekolah! Dirumah tak ada makanan, tak ada orang tua yang menyambutnya (karena sedang bekerja), dan tak ada kata “tidur siang” bagi mereka. Ironis.

            Prinsipnya, kekuatan seorang manusia bukanlah datang dari tenaga kalori yang ia kumpulkan, ia bentuk hingga menjadi otot, dan kuat. Kekuatan dari niat yang besar, walau fisik yang dipandang lemah namun sebenarnya orang itu mempunyai kekuatan tak kalah dengan seorang binaragawan. Selama niatnya dalam menyambung hidup, yang juga dibumbui rasa tekad yang membara, rasa kuat yang timbul akan ikut membara. Pekerjaan seberat apapun juga akan terasa ringan dikerjakan.

AL..

Minggu, 26 Juli 2015

THANK YOU RIVAL





THANK YOU RIVAL
"disaster river"



story by : Al fathur Ridwan


“prrrriiiiiittttt.....!!!!!!“ suara pluit berbunyi, ditiup keras oleh sang wasit sepak bola. waktu pertandingan sudah selesai, namun score yang dihasilkan antara tim dari kelas XII-D multimedia dengan kelas XII-C IPS satu masih kosong-kosong. Kelas Multimedia dan kelas IPS tingkat XII adalah dua kelas kami yang dikenal mempunyai tim sepak Bola hebat, tak jarang kami menciptakan gelar juara di perlombaan antar sekolah dan membawa harum nama sekolah.
           
Oh ya, perkenalkan nama gue Randa. Gue adalah kapten sepak Bola dari kelas XII-D jurusan multimedia. Tim sepak bola dikelas gue, sudah dikenal paling berbakat dalam sparing pertandingan bola besar itu. Tapi ternyata gue gak sendirian dalam mempertahankan gelar juara disekolah, gue punya Rival berat yang susah buat dikalahin. Mereka dari kelas XII-C jurusan IPS satu. Kaptennya adalah Johan, umurnya masih seumuran gue – 17 tahun. tinggi badan kita sama, namun kulitnya lebih agak kecoklatan dari gue. Johan bukan hanya saingan berat antar kapten tim Sepak Bola gue, tapi dia juga musuh gue semenjak kelas XI tahun lalu. akibat kita sempat berkelahi gara-gara pertandingan Bola secara tidak sportif antara tim gue lawan tim johan pada acara Classmeet waktu itu. Rasa balas dendam kembali terkuak pada acara Classmeet hari ini, tim kita kembali bertemu tepat dalam babak Final akhir. Score kami masih sama kosong dibabak pertama, jadi masih ada harapan dalam satu babak lagi.

“waktu itu kita kalah sama kelas XII-C, sekarang kita gak boleh kalah lawan mereka lagi,” tegas gue buat teman teman satu Tim, mereka hanya bisa mengangguk ikut berharap bahwa kita menang. Pertandingan babak kedua akhirnya dimulai, detik demi detik berlalu, teman gue Eko cedera pada bagian pergelangan kaki yang sepertinya terkilir, namun kami tetap berusaha untuk mendapatkan juara pertama dalam ajang Classmeet ini mengalahkan sang pesaing. Benar saja tim gue menang, gue berhasil mencetak Gol ke gawang tim Johan, semua penonton bersorak sorai menggemuruh.

“hiiiuuhh...” – gue mengelap keringat dengan rasa puas dan bangga, sekilas gue melihat Johan yang berada di Garis Gelandang memasang wajah yang kesal penuh dendam.

“ hmmm, bakal ada Fighting lagi ni,“ gumam gue.

Semua penonton makin ramai bersorak, terutama kelas XII-D Multimedia. Teman-teman gue terutama anak perempuannya tak luput menyanyikan Yel-Yel mereka buat tim kami.

“Positif menang !!!“ teriak gue berlari menghampiri beberapa teman tim dan kita berpelukan bersama. waktu pertandingan sudah habis, peluit wasit sudah kembali dibunyikan dan Score stabil 1-0, – kami menang..!!
Walau kami sudah menjadi juara, itu bukan akhir dalam kepuasan gue pada hari ini. disaat panitia menyuruh sesama kapten, yaitu Gue dan Johan bersalaman tanda Sportifitas, benar apa yang gue fikir tadi, Johan mendorong gue. Gue hampir jatuh kebelakang dan untungnya teman gue menahan. Kejadian setahun yang lalu bakal terulang lagi nih, permusuhan antara gue dan Johan makin besar.
“Lu kenapa sih Jo? kalo udah kalah ya kalah aja !!“ tanya gue kesal.
“eh Randa, baru sekali menang aja udah norak banget, cengar-cengir segala kaya anak kampungan!!“ Balasnya geram.
“ loh.. wajar dong, namanya juga menang.“
“gue sering banget yang namanya menang tapi gue gak senorak elo ya Ran ??“ Ejeknya sambil mengunjuk tegas ke gue.
“Sombong lu..!!“ Gue mulai panas dengan perkataan Johan barusan, dengan sengaja gue balik mendorong badan Johan sampai hampir terjatuh karena ditahan pula oleh temannya dibelakang.
“ada juga elu tuh jangan Norak!!” Johan hendak balik mendorong gue.
Kita akhirnya bertengkar di tengah lapangan. Di sekitar para pengurus lomba seperti dewan Guru, teman-teman, pengurus Osis dan Panitia. Johan menindih dan sekali menonjok gue, rasanya agak sakit sih, tapi gue juga gak mau kalah. gue menghempas Johan kesamping dan kali ini gue berhasil balik menindih Johan menduduki perutnya dan memukul wajahnya. Dia meringis kesakitan karena gue yakin pukulan gue lebih keras.
“sudaahh...sudaahh..Stooopp..!!!“ tiba-tiba dari ramainya kerumunan orang-orang yang heboh melihat kami berkelahi. Pak Narto datang untuk melerai kami.

Pak narto sendiri adalah Guru BP disekolah, beliau sendiri juga sudah mengetahui bahwa gue dan Johan itu musuhan sejak dulu. Waktu gue dan johan berkelahi seperti yang sekarang, pak Narto lah yang melerai kami dan memberi hukuman kepada kami, waktu itu hukuman gue dan Johan hanya di Skors selama 3 hari. Memang itu bukan hukuman berat buat gue, tapi gue habis dimarahin Ayah dirumah. dan sekarang adalah yang ke dua kali pak Narto bakal ngehukum gue sama Johan, gue gak tau dapet hukuman apalagi bareng si Johan. Kalo diskors lagi, siap-siap telinga jadi panas mendengarkan Ayah ngomel besok.

Siang itu gue dan Johan dipanggil ke ruang BP untuk kembali menjelaskan apa yang terjadi sehabis classmeet. Gue dan Johan gak ada yang mau ngalah, kami saling egois dan cari cari alasan. Itulah yang membuat kami susah untuk akur.
“memangnya ada apa siih, kalian berkelahi terus ? “ Tanya pak Narto.
“Habisnya Johan duluan tuh pak yang ngedorong saya.“ Balas gue dengan ketus.
“eh.. elu juga tadi Nonjok gue“ bentak johan tidak terima.
“elu juga nonjok gue..!!“
“sudah..sudah..cukup, ini ruang BP tau..??“ pak Narto memotong perdebatan gue dan Johan, terlihat beliau mengambil sebuah surat dari dalam laci mejanya. Surat itu ditunjukan kepada kami berdua.
“kebetulan bapak mendapatkan undangan dari pihak kelurahan daerah ini untuk mengajak 10 siswa dalam mengikuti anggota Tim Sars, membantu korban kecelakaan pesawat di Bogor.“ Pak narto membaca surat undangannya dengan tegas. Memang belum lama ini, gue lihat di Televisi sedang hebohnya terjadi kecelakaan pesawat jatuh ke area Hutan di daerah pelosok kota Bogor.
“terus apa hubungannya sama saya pak?“ Tanya Johan heran, gue sendiri  juga ikut heran dengan apa yang ditunjukan pak Narto.
“ kalian berdua bapak hukum, tapi bukan di skors. kebetulan siswa yang ingin berpastisipasi baru delapan orang, tinggal dua siswa lagi yang berkesempatan untuk ikut. bapak ingin kalian berdua ikut dalam kegiatan ini, menjadi anggota tim sars selama 2 hari dan berangkat ke Bogor untuk membantu korban pengungsian dari kecelakaan pesawat disan.,”
“ sama Johan? saya gak mau pak!“ sontak gue gak terima dengan keputusan hukuman gue dari pak Narto.
“Hissh..” Johan hanya menyeringai melihat gue sejenak dan memalingkan wajahnya.
“ini sudah keputusan resmi saya, dan pihak kepala sekolah, kalian harus terima hukuman ini, siapa suruh kalian berkelahi ?“ – Jelasnya. “orang tua kalian nanti saya hubungi lewat telefon, saya yakin mereka setuju.”

Gue hanya terdiam pasrah dengan hukuman kali ini. iya memang, gue gak bakal dimarahin ayah gue, tapi gue bakal mendadak jadi anggota tim sars – Apa gue sanggup? ditambah lagi gue harus bareng sama Johan, orang yang paling gue benci di sekolah. Mungkin apa yang gue pikirkan sekarang, sama dengan apa yang dipikirkan johan.
“iya deh pak, saya terima ikut anggota tim sars bareng Randa.“ Johan menerima hukuman itu.
“bagus!“ – sahut pak Narto. “bagaimana dengan kamu Randa?“ Tanya pak narto lagi ke gue.
“ Hmm..,” gue cuma ngangguk dengan senyuman kecil palsu pada pak Narto.

Pulang dari sekolah, gue harus siap siap buat besok. Gue dapet sedikit omelan lagi dari Ayah, sedangkan Ibu ngebantuin gue untuk melipat baju kedalam koper. Karena besok gue ikut organisasi kegiatan tim sars ke Bogor, jam setengah 7 harus sudah kumpul disekolah dengan pakaian bebas, membawa bekal, baju ganti, obat-obatan bila perlu, dan alat komunikasi. Iya.. ini udah kaya mau Kemping. lebih jelasnya, dalam 2 hari kita tanpa menyewa rumah dan kamar. Kita akan bangun tenda di tengah hutan, karena tragedi itu ada di pemukiman pelosok Hutan di Bogor – jauh dari kotanya.
Pagi ini, tepatnya jam setengah tujuh, gue dan kesembilan siswa lainnya termasuk Johan sudah berbaris di dalam gerbang sekolah untuk mendengarkan Instruksi dari kepala sekolah dan kepala kelurahan daerah setempat, kami berangkat dengan Mini Bus yang muatannya kurang lebih 20 orang, cukup untuk kami yang menjadi peserta ditambah 5 pembimbing dari sekolah termasuk pak Narto, sedangkan pihak kelurahan dan beberapa stafnya membawa mobil pribadi mereka.

Sebenarnya jarak antara sekolah gue ke kota Bogor gak sampai seharian, namun karena macet, sudah 2 jam kami masih di setengah perjalanan. Gue duduk bersebelahan dengan anak kelas XI-A – namanya Adam, mungkin kemarin Adam melihat gue berkelahi sama Johan, dia sempat membahas soal itu di Bus.
“eh bro, ada kak Johan tuh. gak ribut lagi? – ahaha“ canda si Adam
“ Berisik!!“ sahut gue dengan jutek.
“ yaelah ka Randa, gitu doang ngambek kaya cewek.“ candanya lagi dengan sedikit rayuan mengejek.
“ Bodo!“

Sudah hampir 4 jam dalam perjalanan, gue memandang ke arah luar jendela Bus. Sudah tampak pemandangan gunung-gunung secara samar dan persawahan luas. wahh ini sih udah bukan kaya di Jakarta, gue rasa sebentar lagi sampai ketujuan terjadinya kecelakaan pesawat. Sebenarnya sih sudah sampai di kota Bogor, tapi karena kita akan masuk hutan, jadi perjalanan untuk memasuki kawasan itu makan waktu lebih lama.
Gue melihat disekeliling Bus, semua anggota sudah tepar sebelum sampai. Wajahnya pucat bahkan ada satu siswi dibarisan terdepan yang muntah-muntah. Gue memperhatikan adik kelas gue disebelah gue tadi, si Adam – dia juga kelihatan pucat dan lemas. Adam memaksa gue untuk bersandar di bahu gue.

“ ka Randa, gue senderan ya di bahu lu, kepala gue pusing banget,”
“iihh apaan sih enggak!!“ Tolak gue sembari mendorong kepala Adam yang hendak bersender di Bahu gue.
“pliss broo, gue gak tahan lagi di bus ini, jalannya gonjang-ganjing kaya gempa bumi, bikin perut gue eneg.“ Adam memelas dan hendak bersender lagi ke bahu gue.
“ isshh, lu Homo ya?“ gue kembali berusaha mendorong kepala Adam dari bahu gue tapi tetap nihil, Adam sudah terlanjur lemas dan tertidur dengan cepatnya dibahu gue. Yaah apa boleh buat, asalkan dia gak berfikiran yang aneh-aneh, asalkan dia gak Muntah, gue cuma bisa nahan kesel sama si Adam. Pengen gue jitak tapi kasihan.

******

Aahh, akhirnya. sudah sekian lama menempuh perjalanan yang membosankan, gue turun juga dari Mini Bus yang sumpek ini. Udaranya berubah 100 persen berbeda disaat gue keluar bersama rombongan yang lain, di sini sejuk. Maklum, namanya juga pemandangan alam daerah hutan-hutan pelosok gitu. Gue menghirup udara sedalam-dalamnya untuk menghilangkan rasa mual akibat aroma muntah dicampur bau minyak kayu putih di mini bus tadi. Sesampai di tempat, Instruktur kembali menyampaikan peraturan apa yang harus dijalani, disusul pak Narto yang mengumumkan salah satu dari 10 siswa yang akan menjadi ketua tim sars.
“saya akan memilih Johan sebagai ketua tim sars, dan yang menjadi wakil ketua adalah Randa.” tegas pak Narto didepan para siswa yang berbaris rapih.
“What!! – kenapa harus gue sih yang jadi wakilnya? kalo ketuanya yang lain sih gak apa-apa,” fikir gue gak terima, kayaknya pak Narto sengaja deh buat kesempatan biar gue sama Johan kerja sama, habis itu kita berdamai, Owh tidak Bisa.
Pak Narto kembali melanjutkan pengumumannya. “siswa perempuan disini kan hanya 4 orang. tugas untuk anak perempuan, kalian bantu tim medis dalam menyiapkan makanan serta obat-obatan di tenda pengungsian ya!!“
“oh iya Baik pak!“ jawab salah satu siswi dengan sigap.
“dan untuk yang Laki-laki, kalian ikut membantu tim Evakuasi dalam mencari korban yang masih hilang. serta untuk penginapan, kita sudah menyewa tenda kecil, satu tenda cukup 2 orang,” Jelas pak Narto.
“untuk kamu Johan, sebagai ketua tim sars pihak sekolah, kamu satu tenda dengan wakil kamu. Randa“
“haahh – gak mau pak, gak ada anak lain yang setenda sama saya??“ Tolak Johan pada pak Narto, gue melihat matanya ngelirik sinis gitu ke gue.
“hey, siapa juga yang mau setenda sama lo?? mending gue tidur sama monyet dari pada sama lo!!“ balas gue kasar.
“sialan lo!!“ Johan hendak nyamperin gue dengan kepalan tangan, kayanya sih dia mau nyoba nonjok gue lagi. Gue udah siap-siap buat nangkis tonjokan Johan kalau dia beneran nyamperin gue. Tapi pak Narto keburu menahan niat Johan itu.
“ Johan!! kamu disini sudah menjadi ketua, harusnya kamu bersikap sopan dan disiplin, terutama sama Randa. awas kalo kalian berdua berkelahi disini, gak cuma bapak yang akan ngehukum kalian tapi juga pihak Kelurahan. paham!? – bikin malu aja.” Bentak pak Narto kepada kami.

“ hmm iya pak, maaf.“ Sesal gue dan Johan.

Hari sudah menjelang sore tepatnya pukul 15.40, setelah kami Sholat Ashar berjama’ah pada suatu ruangan berpetak yang hanya dihalangi oleh tirai berwarna biru di tempat pengungsian korban yang berhasil selamat, kami dipersilahkan istirahat sampai esok pagi.
“arrgghhh males banget gue harus setenda sama tuh orang. bisa-bisa main bunuh-bunuhan kali di sana, hahhaah,” gue menggerutu sendiri pada saat waktu makan sore bersama pihak dari tim sars senior di tempat pengungsian.
Tiba-tiba Johan datang menghampiri gue dengan membawa dua tumpuk selimut dari panitia tim sars.
“ehh Randa,“
“hmmmh?“ sahut gue jutek sambil melanjutkan makan nasi kotak.
“nih ada 2 selimut dari panitia, buat di tenda kita. lu pilih tuh mau yang mana?“
“lu aja yang pilih duluan, gak liat gue lagi makan?“
“masih nyolot aja sih, kalo bukan disini udah gue hajar lu,” ancamnya pelan.
Gue cuek aja nanggepin ancaman si Johan yang gak penting. mending gue cepet abisin makanan, terus gue langsung pergi ketenda buat istirahat.

Sudah gak terasa malam pun tiba, teman-teman cewek masih sibuk ngebantu tim medis di tenda pengungsian buat ngobatin korban disana, memang kurang Fair sih – anak cowoknya diharuskan tidur pada jam 9 malam karena di pagi buta besok tim evakuasi sudah menjalani tugasnya ke berbagai lokasi kecelakaan di 3 titik tempat kejadian, sedangkan anak ceweknya tidak boleh tidur sampai larut malam, karena sibuk dalam mengobati korban yang terkena penyakit dan terluka. Tapi menurut gue sih, ini sah-sah aja. karena walaupun anak cowok harus tidur pada jam sembilan, tapi tugas besok bisa jauh lebih memacu adrenalin.

“tendanya sempit,“ gue mulai rebahan di dalam tenda bersama johan yang sedang serius bermain Handphone.
“namanya juga tenda, kalo mau lega sana di hotel.“ jawab Johan nyolot, namun matanya tetap terpaku pada layar Handphone.
“apa sih lu?? udah ya ketua tim sars. gua lagi males berdebat sama lu.. ini sudah malam. gue capek, ngantuk, mau tidur, oke..!!“ Gue pun berbaring tidur dengan membelakangi Johan. Namun Johan masih ingin mengobrol sama gue, entah apa yang pengen dia bicarain tapi gue penasaran apa yang ingin dia katakan.
“eh Randa?“
“apa lagi ?? “
“lu inget kan waktu gue ngedorong lu pas kita selesai Classmeet Bola?“ tanyanya santai.
“iya gua inget, kenapa emang – lu mau dorong gue lagi ke Jurang besok?“ sahut gue masih dalam posisi tidur membelakangi Johan.
“eehh gua serius!“
“yaudah kenapa ??“ Balas gue kesal.
“lu mikir gak sih? selama kita musuhan, selama kita adalah rival di tim sepak Bola sekolah, Pak narto sampai ngasih hukuman kaya gini, segala daftarin kita ke program tim sars?“
“maksud lu?“ gue terdiam dan masih gak ngerti dengan apa yang di katakan rival gue ini.
“ya aneh aja. biasanya kalo kita berantem, pak Narto selalu skorsing kita – tapi sekarang dia malah nyuruh kita ikut program beginian, tujuannya apa coba?“
“ya mungkin aja alasannya pengen kita damai.“
“ahahaha, gua damai sama lu ?? sory. apa kata tim sepak bola gue nanti?” gumamnya, memang benar apa yang difikirkan Johan itu sama gue. masih terasa tabu jikalau kita berdamai. Sifat kita sama-sama egois, masih ada rasa dendam pada diri kita masing-masing, apalagi soal tim sepak Bola.
“ yaudah siih, lagian diluar dari kegiatan ini, gua juga ogah kerja sama bareng lu.”
Johan hanya terdiam dengan kata-kata gue barusan, ia merebahkan badannya untuk tidur dan kita saling membelakangi. Kami tertidur pulas sampai pagi menjelang.

******

“Harap untuk anggota tim sars, persatuan dari pihak Kota Bogor, anggota dari sekolah maupun kelurahan daerah kota, bersiap-siap kumpul di luar tenda. kita akan berangkat dala setengah jam lagi untuk membantu anggota tim sars melanjutkan evakuasi korban di tiga titik tempat...!!!“

Gue mendengar suara panitia dari luar tenda, mereka sudah sibuk membangunkan kami semua dengan menggunakan toa, gue melihat jam di Handphone masih tepat pukul empat pagi. Johan sendiri sudah tidak ada di samping gue – oh iya, dia kan ketua tim sars dari perwakilan sekolah, jadi harus gesit buat ngebimbing kita disini.

Gue sendiri bergegas keluar dari tenda, mencari toilet tapi gue lupa kalau ini kawasan Hutan, mana ada Toilet disini. Gue mencoba bertanya pada salah satu panitia yang berteriak dengan Toa tadi.
“hmm maaf mas, kalo mau mandi ataupun buang air dimana ya?“
“owh di sungai kecil di sebelah sana dik kalo Mau mandi, kalau buang air kami sudah mencari tempat saluran air dekat tenda Panitia ke arah utara, disitu juga ada keran buatan untuk berwudhu kalo ade mau sholat Subuh.“ jelas panitia itu sejelas-jelasnya.
“owwh gitu yah, makasih ya mas!“ jawab gue, masih dalam keadaan ngantuk sambil menggaruk-garuk kepala. Lebih baik gue sholat subuh aja deh, gak usah mandi. Gila kalo harus mandi berendam di sungai kecil itu pagi-pagi buta begini, suasana masih gelap, ditambah gerimis yang membuat udara semakin super dingin, kalau cuma sholat subuh kan wajah bisa kebantu seger pas lagi berwhudu. Sehabis itu sikat gigi dan pake farfum maskulin serta deodoran khusus “Man” yang gue bawa dari rumah, hehe..,

Setelah sholat subuh dan sarapan, dari tadi kok gue gak ngeliat Johan ya, gue baru ketemu sama pak Narto serta anak-anak lain, sedangkan Johan belum kelihatan batang hidungnya dari gue bangun tidur.
“aah, kenapa gue jadi nyariin dia sih? gak penting amat. entar juga ketemu pas lagi evakuasi.“ pikir gue sambil sarapan nasi Kotak.

Semua persiapan sudah kelar. kini kita berdoa untuk keselamatan. Anak-anak cewek sudah terlihat sibuk kembali dalam memasak dan membantu meracik obat di dapur pengungsian, ternyata dari tadi Johan sedang di beri instruksi oleh kepala kelurahan dalam memegang kepemimpinan di pihak sekolah, sedangkan gue sebagai wakilnya bakal diberi intruksi secara tidak langsung lewat Johan. Ah yang ada dia malah ngejek gue lagi di lokasi.

“Randa, lu kan wakil gue – kata kepala kelurahan kita ditempatkan ke lokasi kecelakaan titik rendah, adanya di tanjakan terjal hutan sana,“ Johan menghampiri gue dan siswa lainnya untuk rapat sejenak.
“masa kita doang sih Joh?“ jawab salah satu siswa kelas XI.
“ya enggak lah. kita dipandu sama sebagian panitia tim sars, lagian mana bisa kita ngevakuasi korban?“
“ terus untuk panitia yang lain gimana?“ tanya gue.
“keseluruhan panitia serta guru-guru dan pihak kelurahan setempat, bakal ada di titik lokasi menengah dan atas, yaitu di area kawah dan Jurang, serta kaki gunung. sebelum kita sampai sana, kita harus melewati sungai besar dulu, panitia bakal ngasih kita Pelampung dan sudah ada tali tambang di area sungai untuk kita menyebrang,“ jelasnya lagi dengan tegas.
“owwh gitu. terus kalo disungai nanti ada buaya, anaconda, atau ikan piranha gimana Joh?“ tanya gue lagi.
“lu kawinin aja tuh binatang disana!!“ Johan kesal, sedangkan siswa yang lain malah tertawa dengan ocehannya.
“ya kan gue nanya Joh ??“
“ya kalo nanya yang berbobot sedikit kenapa – di sungai yang arusnya deras mana ada Buaya sama anaconda? di Bogor mana ada piranha? serius dong. ini program tim sars, kita kesini buat membantu mereka dalam menolong orang, bukan piknik atau lagi travelling,” jelas Johan dengan nada marah pada gue.
Gila, ini beneran Johan? gue heran dengan cara bicaranya yang mendadak dermawan bakh pemimpin sars aslinya. Baru juga sekali dapat pelatihan dan instruktur dari kepala tim sars. Apa mungkin Johan terbawa suasana?. Gue cuma bisa terdiam menyesali candaan gue tadi, bener juga sih kata-katanya barusan,  mau bilang maaf sama Johan tapi gengsi banget.  ih bodo amat, yang jelas apapun yang dilakukan Johan pasti gue gak suka. – Itu wajar buat orang yang sudah saling benci kan?

“Randa, lu wakil gue. posisi lu harus sama gue, begitupun dengan yang lain, lu semua harus mendengarkan instruksi dari gue dan Randa oke!!“
oke, siap..!!” sigap semua siswa. Gue cuma bisa terima instruktur dari Johan, karena posisi disini dialah sang ketua, tapi tidak untuk disekolah.
“hebat juga lu Joh,” puji gue dengan suara pelan.
“ ini Cuma untuk 2 hari ya, kita kerja sama walau terpaksa. Bisiknya lagi. “ tapi kalau disekolah, kita tetap Rival..!! “ gue cuma memasang wajah bengis, diam mendengarkan omongan kecilnya.
Oke, saatnya berangkat evakuasi. Semua anggota tim sars dari berbagai pihak sudah mulai jalan berbaris menelusuri licinnya rumput dan tanah yang becek karena gerimis yang belum juga berhenti, justru menandakan akan turun hujan lebat. Gue Johan serta yang lain langsung menuju lokasi titik rendah dan harus melewati sungai terlebih dahulu. Suara arusnya sudah terdengar dari kejauhan, sungai ini pastinya besar banget, lebarnya seperti jalan tol yang ada di Kota-kota, airnya sedikit keruh namun sangat dingin. Ditambah efek gerimis yang semakin besar, sudah seperti ada di adegan film-film perang Mandarin.

“nih kalian pake pelampung dan Helm kalian, disana ada tambang untuk kita menyebrang sungai. dalamnya sungai sih gak terlalu, hanya sekitar dada sampai leher kalian. tapi arusnya sangat deras – jadi, berdoa dan hati-hati,“ jelas salah satu panitia tim sars sambil membagikan helm berwarna kuning dengan lampu senter diatasnya dan pelampung berwarna Oranye yang dengan otomatis mengembang cepat disaat seutas tali disisinya kita tarik. Seperti pelampung darurat yang ada di pesawat jika hendak jatuh ke laut.
“kalian yang dari pihak sekolah. karena kalian belum berpengalaman, kami posisikan ke titik area yang tidak begitu berbahaya, tugas kalian juga hanya mencari benda-benda berharga milik korban atau bagian bagian pesawat yang hancur untuk diteliti lebih lanjut, serta sebagai petunjuk kami dalam mengevakuasi,“ kata sang Panitia itu lagi.
“namun jikalau salah satu dari kalian menemukan korban yang hilang ataupun mayat, jangan takut dan langsung informasikan kepada kami lewat pembimbing kalian disana nanti. paham!!?”
“paham..!!!“ kami serentak menjawab tegas.

Kami mulai berbaris untuk menyebrangi sungai itu, dibarisan depan adalah Ketua besar dari segala ketua tim sars serta kelompok evakuasi di titik level atas, yaitu area evakuasi paling beresiko tepatnya di kaki gunung yang jadi titik pusat awal jatuhnya pesawat itu terjadi, gue cukup kagum dengan mereka semua yang sudah sangat profesional tentunya, tidak pantang menyerah, berani ambil resiko, hanya untuk membantu korban jiwa walau memang tidak mendapat upah sepersen pun. Tapi gue rasa sih – mereka bakal dapet penghargaan besar dari pemerintah nanti, lihat saja.

Dibarisan kedua adalah kelompok kami dari pihak sekolah yang masih belum tau apa-apa mengenai kegiatan ini, tapi tentu saja ada bimbingan dari beberapa tim sars yang profesional untuk mengawasi kami di area titik rendah yang berada di tanjakan terjal hutan ini, dekat dengan sungai. Lalu, yang berada di barisan terakhir dalam penyebrangan ke sungai adalah beberapa staf pihak kelurahan serta dewan guru pembimbing dari sekolah, mungkin mereka sudah sedikit berpengalaman dalam melakukan aksi ini, jadi mereka dikelompokan dalam tim evakuasi di titik menengah yang berada di area kawah jurang.
“Kenapa harus segala hujan sih?“ keluh gue sambil memegang erat tambang yang melintang kuat di sepanjang hamparan sungai. Airnya dingin banget, arus yang sangat deras dengan memaksa seperti ingin membawa kami terhanyut jauh entah kemana. Percikan hujan membuat mata kami perih dan pandangan menjadi kabur karena embun dari hujan itu. Selangkah demi selangkah kami berjalan menapak dasar sungai, banyak sesuatu yang tersangkut di badan gue seperti dahan pohon yang hanyut, sesekali gue sibuk untuk melepaskan dahan-dahan yang tersangkut di badan gue, begitupun dengan Johan dan yang lain.

“ Perhatian..!! jika ada benda besar yang hanyut dan ingin mengarah ke kita jangan panik, tetap pegang erat pada tambang besar ini dengan cara memeluk dengan lengan kalian. lalu tangan yang satu untuk menahan benda itu, melindungi badan dan kepala kalian agar tidak mudah terhempas..!!” jelas panitia tim sars yang berada didepan, walaupun suaranya keras, namun tetap aja gue kurang mendengar apa yang dia katakan. Suaranya tersamarkan oleh gemuruh derasnya hujan, dan ributnya suara arus air di sungai.

Yeess! – sampai juga ke seberang sungai, tanpa ada kendala barang besar yang hanyut dan menerpa, fikir gue berlaga keren. Langsung saja Johan, gue dan yang lain mendaki terjalan hutan didepan, banyak pepohonan besar yang tumbuh menjulang keatas, semak-semak basah karena hujan, dan akar-akar pohon yang timbul selalu membuat kami tersandung.
“disini adalah titik area tim evakuasi level rendah, tepat diarea terjalan hutan tepi sungai, menurut informasi dari tim penyelidik di helikopter kemarin, disini masih banyak bagian-bagian kapal yang berserakan dan benda-benda korban.” panitia itu kembali memberi instruktur khusus untuk yang tim evakuasi level rendah kaya gue dan Johan. “Kalian hati-hati disini, jangan sampai terpeleset. Bisa-bisa kalian jatuh dan tercebur kesungai oke selamat bertugas, good luck!”

“Joh, kita harus mulai darimana?“ tanya gue sambil membenarkan helm gue yang agak miring.
“mana gue tau, tanya gih sama panitia!!“ celaknya
“kan lu ketuanya ??“
“ya gue lagi ada kesibukan lain kali. kan lu wakil gue, lu aja sana.“
“Huuurrrggh..!!” gue menggeram kesal, pergi meninggalkan Johan yang sibuk mengeluarkan sebuah barang seperti alat penggali untuk mencari benda-benda di pendaman tanah.
Dalam beberapa saat gue terpaksa kembali ke Johan, panitia nyuruh gue buat bantuin dia, sedangkan anggota lain juga sedang sibuk mengevakuasi ke sudut lain membantu para panitia.
“lu kok balik lagi?“ tanya Johan sambil sibuk menyasak semak-semak lebat yang menghalangi jalan dengan pengarit.
“gue disuruh bantuin lo sama panitia. tapi gua bingung mau ngapain?“

“haha – duduk manis aja disitu, jagain kalo ada ular yang mau nerkam gue ya!”

“sialan, lu pikir gue bodyguard lu. enak aja, sini biar gue yang motongin semak-semak” gue merebut pengarit dari johan.
“ehhh, reseh lu.. gak liat gua lagi serius?“ mendadak johan ngebentak gue saat pengaritnya gue ambil. Tapi gue gak merespond, gue terus mengarit semak-semak yang ada didepan gue.
“Randa..!!! bener-bener lu ya!! sini pengarit gue, lu ngapain kek pakai alat lu sendiri. enggak dikasih sama panitia ??” lanjutnya kesal, Johan terus ngikutin gue yang asyik menebas semak-semak belukar. Gue tetap tak acuh dengan ocehannya, mungkin ini membuatnya geram dan langsung merebut pengarit itu dari gue.

“ sini gak..!!! “

Aahh, sial. Pengarit itu terlempar jauh di antara semak-semak yang lebat secara liar, untung gak jatuh kebawah – terus nyebur. Bisa-bisa gue dan Johan kena masalah sama anggota tim.

“arrgghhh kaann. lu sih Ran, dasar sial, bodoh, otak lu dimana siih ?? lihat, pengaritnya kelempar kaan..!! kita bisa dimarahin kalo panitia sampe tau, kalo pengarit itu hilang..!!!”

Beraninya Johan marah-marahin gue, ngebentak gue dengan wajah yang penuh kesal terhadap gue, gue cuma bisa diam dengan perkataan Johan barusan, walau emang kita sering berantem secara fisik, tapi baru kali ini Johan ngatain gue sampai segitunya. dan gue baru tau, ternyata lebih sakit dihina seperti itu dengan mulutnya, dari pada ditonjok langsung. Lebih nusuk ke hati.
“ehh Joh, lantang ya marahin gue. gue tau lu rival gue, gue tau disini lu ketua tim sars gue, tapi jangan seenaknya lu ngatain gue semena-mena gitu doong!! kita langsung cari sama-sama sampai ketemu, apa susahnya siih? Haah!“ balik gue ngebentak.
“ya tapi gimana? kalo kita nyari pengarit itu sampe ketemu, evakuasi kita jadi makan waktu.“ balasnya lagi dengan wajah yang sudah terlihat stres, “disini gue sebagai ketua, pasti gue kena omelan. ini tanggung jawab gue Ran, kalo gue tau bakal kaya gini – gua gak bakal mau ikut.”
Johan memegang kepalanya dengan kedua tangan, menandakan dia sedang kebingungan.

“pengecut lu Joh! yaudah, lu lanjutin aja ngevakuasi. biar gue yang cari sendiri. emang ini salah gue. Puas lo?” gue menelusuri semak-semak liar dan lebat di depan gue tanpa alat apapun. Sejenak gue melirik ke arah Johan, dia masih berdiri kebingungan sambil merhatiin gue dengan wajah penuh gelisah. Gue melirik lebih jauh kebelakang, sepertinya jarak gue dan Johan dengan anggota lainnya sudah sangat jauh, pada kemana yang lain? atau mungkin tempat gue dan Johan sudah kejauhan dari mereka gara-gara kita rebutan pengarit tadi?.

Gue berjongkok dan merabakan kedua tangan gue untuk menemukan alat Pengarit itu, yang gue ambil selalu akar pohon dan ada satu barang yang mencurigaan tersentuh tangan gue, barang itu keras, berbentuk kotak dan besar. Gue penasaran menarik benda itu, agak keras untuk diambil karena sebagiannya terpendam tanah yang sudah hampir membatu.

“iiikkhh..!!“ sekuat tenaga gue mengambil benda itu.
“ketemu Ran, pengaritnya?” tanya Johan kepada gue.
“udah sana, lu ngevakuasi aja gue bilang, biar nanti gue yang cari sampe ketemu.“
“oke. kalo itu mau lu.“ Johan berbalik arah ninggalin gue sendirian. Gue terus menarik benda itu dan akhirnya berhasil, benda kotak yang besar ditumbuhi lumut dan jamur pada tanah yang menempel di alasnya. Ternyata ini Koper!! . gue terkejut karena menemukan benda dari korban kecelakaan pesawat.
Hujan masih saja lebat, airnya makin banyak yang mengalir dari atas tanjakan terjal area hutan ini, airnya bercampur tanah dan sampai ke sungai, mungkin ini penyebab kenapa sungai besar itu menjadi sangat keruh. Tiba-tiba tanah di area ini bergetar secara keseluruhan, namun gue gak begitu perduli karena masih shock dengan koper temuan gue ini. Gue masih bisa ngeliat Johan yang sepertinya sedang was-was dengan apa yang terjadi, mungkin karena getaran yang ditimbulkan oleh tanah.

“perhatian untuk tim evakuasi titik rendah...!!! cepat tinggalkan tempat ini, menghindar ke arah timur sekarang!” tiba-tiba dengan panik, salah satu pembimbing tim evakuasi diarea titik rendah memberi pengumuman dengan toa, bahwa area kami dalam bahaya, tim evakuasi yang berada di kaki gunung memberi sebuah tanda bahaya kepada tim evakuasi di area kami.
“sekali lagi, kita dalam bahaya di area ini. cepat ke arah timur sekarang dan berkumpul, ada tanah Longsor yang turun dari kaki gunung menuju area kita!!” suara toa itu tidak terlalu kedengaran dari kejauhan, entah panitia itu berada dimana, dan sedang bicara apa. Getaran tanah semakin kencang, aliran air Hujan yang deras semakin membanjiri tanjakan hutan ini, namun bodohnya gue gak terlalu perduli dengan tanda bencana tersebut, karena saking senangnya gue nemuin koper dalam evakuasi.

“wooii Johan..!!!“ gue berteriak kepadanya yang masih terlihat sangat dekat jaraknya dari gue. Kayanya dia lagi susah payah, berjalan luntang-lantung untuk melangkah ke arah timur, menyeimbangkan diri agar tidak terpeleset.
“ Randa, cepet pergi dari tempat!! ikutin gue, kalo lu mau selamat..!!“ teriaknya
“apa? gua gak denger..!!“ balas gue teriak, karena kurang jelas mendengar perintah Johan barusan. Suaranya samar karena gemuruhnya hujan deras. Johan membalikan badannya dan kembali menghampiri gue, dengan wajah yang penuh rasa takut,
“lo kenapa sih Joh ??“ gue makin heran ngelihat ni anak. Mukanya aneh begitu. - “Joh, lihat Joh. gue nemu Koper, kita langsung lapor ke panitia yuuk!! “ dengan senangnya gue menunjukan koper temuan gue.

“yasudah cepet ikutin gue. kita pergi dari sini, bakal ada longsor..!!, gak ada waktu buat Norak..!!“ Johan kembali balik arah untuk menyelamatkan diri, dalam beberapa langkah jarak yang semakin jauh dari gue.

“hhaaaahh longsor ?? Johan, tungguin gue!!“
Gue baru sadar kalau getaran tanah ini bukanlah efek dari hujan yang deras dan mengaliri air dari atas, namun akan datangnya tanah longsor karena ambles oleh hujan deras. Johan terus berjalan cepat, sesekali dia hampir terpeleset dan gak nungguin gue, bagus! – namanya juga orang egois. Gue menyusul dibelakang. memang benar, jalannya jadi sangat licin saat aliran air dari atas sana mengalir ke sungai. Niatnya gue pengen membalap Johan, gue pengen ngeduluin dia sampai ke tempat perlindungan, tapi karena saking terburu-buru, gue terpeleset dan jatuh ditempat, untung saja gak terpelanting kebawah.
“aww..!!!“ rintih gue sambil mengelus-elus bokong yang terbentur akar pohon, seluruh badan gue jadi kotor terkena tanah. Gue mencoba membersihkan tanah-tanah ini dari badan dan tangan gue.

- GUSRAAK !!

Pohon cemara di atas tanjakan terjal runtuh karena tanahnya habis terkikis air yang mengalir, akar-akarnya tidak kuat lagi menahan bobot pohon itu, dan terdorong oleh tanah longsor. tumbanglah pohon cemara itu, meluncur kebawah tepat kearah gue. Gue tidak sadar ada pohon yang meluncur  dari atas, gue masih sibuk membersihkan tanah yang melumuri badan gue. Gue kira suara gusrakan itu adalah arus sungai yang semakin lama semakin deras dan dalam.

“Randaa, awaaasss...!!!” teriak Johan, yang kembali berusaha menghampiri gue. Otomatis gue kaget, celingak-celinguk mencari tahu apa yang terjadi. Pada saat gue menoleh keatas, pohon cemara itu sudah dekat jaraknya untuk menghantam gue ke bawah.

Bruuaakk !!! – pohon cemara itu benar menghantam gue, kepala gue terbentur keras dan ikut terperosok kebawah menuju sungai.
“aarrgghh!“ sadar tidak sadar gue terguling ke bawah, merasakan sakit pada bagian kepala. Gue udah pasrah, mungkin ini adalah akhir hidup gue. Gue bakal jatuh kebawah, tercebur ke sungai, dan mati karena hanyut tenggelam. Namun Takdir berkata lain, gue melihat Johan secepat kilat merosot kebawah untuk menolong gue sebelum tanah longsor itu sampai duluan ke sungai. Gue berhenti tepat di tepi sungai, ini karena Johan yang tepat waktu menarik gue dari belakang ketika gue hampir tercebur.

“Randa, lu gak apa-apa ??“ kata Johan panik begitu ia memegang kedua bahu gue. Gue hanya diam meringis menahan rasa sakit dibagian Dahi gue yang berdarah karena hantaman pohon cemara yang terbawa longsor tadi.

“yasudah, sekarang kita ke tempat aman. Sekarang! sebelum longsornya datang.” namun ini sudah terlambat, disaat Johan ingin merangkul gue, serpihan tanah longsor itu keburu sampai kebawah. Johan terkena hemburan tanah-tanah itu dan tercebur kesungai, sedangkan gue terlindungi oleh pohon cemara yang runtuh tadi karena tanah longsor yang ke arah gue itu tertahan di Pohon.

“ Johaaannn...!!!“

rasa panik langsung menguasai gue, gue gak tau harus ngapain ngelihat Johan tercebur dan hanyut! dengan susah payah gue mendekati Johan yang berpegangan pada tambang penyebrangan tadi.
“pegangan tambang itu Jooh, tahan..!! gue bakal nolongin lu.“ Jujur, saking takutnya gue, gue pun menangis. wajah gue yang sudah sangat kotor terkena air hujan, tanah serta darah yang mengalir dari dahi gue. Gak kebayang kalau gue bakal mati, atau Johan yang bakal mati, atau kami berdua yang bakal mati disini.
“Raan, tolongin gue Raan..!! gue udah gak kuat nahan arus, sungainya udah dalem banget, gak kaya tadi.“ Johan memelas meminta pertolongan gue, tangannya masih berpegangan erat pada tambang.

“tahan Jooh, ayo pegang tangan gue..!!“ Gue mengulurkan tangan untuk menolong Johan. “toloong! ketua tim sars, teman-teman?”

menyelingi aksi gue dalam membantu johan, gue mencoba berteriak minta tolong kepada yang lain, namun tidak ada satupun yang datang. mungkin mereka sudah aman disana, tidak mendengar suara teriakan gue karena suara gue kependam oleh gemuruh hujan disertai petir yang mulai menyeruak.
“Joohh buruan, raih tangan gue. Johaan..!!” Johan perlahan mendekati tepian dan meraih tangan gue. dengan sekuat tenaga, gue menarik Johan sampai ke pinggir.
“berenang Jooh, biar gue gampang narik luu.“ perintah gue
“susah Randa. gue gak bisa nepak ke dasar sungai, ini udah dalem banget, gue gak kuat nahan arus!” balasnya dengan nafas yang terengah-engah. Gue rasa dia udah pasrah, namun tetap gue harus nolongin musuh serta rival gue ini. Biar bagaimanapun, dia kan manusia juga yang sedang diambang kematian. Gue juga masih punya hati nurani dan prikemanusiaan, walau yang gue tolong adalah orang yang paling gue benci.

“cepat Jooh, sedikit lagi, terus pegangan tangan gue!“ tangan kiri Johan berpegangan dengan tangan gue, sedangkan yang kanan masih berpegangan dengan tali tambang.

“ iyaa ini lagi usaha!“ jawab Johan.

Oh tidak, ada sebatang Pohon besar terhanyut menghampiri Johan, pohon itu juga tumbang karena tanah longsor kemudian tercebur dan terbawa arus. Hantaman pohon itu memutuskan tambang penyebrangan. Gue dan Johan semakin panik, karena licinnya tangan kita berdua, johan yang tidak kuat lagi menahan arus.

Brruuuaakkk.. – Johan terhantam dahan pohon yang hanyut itu, dia terlepas dari genggaman tangan gue, terbawa arus dan tenggelam.
“Johaan...!!!“ Gue berteriak amat sangat panik, gue menangis sembari mengejar kemana arah Johan itu terbawa arus di tepain sungai. Johan tak terlihat lagi, gue jatuh tersandung sebuah batu yang ada ditepi, wajah gue menghantam lumpur. Johan tak terlihat lagi. Gue hanya bisa menangis berlutut di tepian sungai dengan wajah yang penuh lumpur.

“Johan maafin gue, Johaann!“ disini gue gak tau harus bagaimana lagi, harus ngelakuan apa lagi, gue sudah dikuasai oleh rasa bersalah gue.
rival gue sudah tenggelam entah kemana. Gue memukul mukul lutut gue merasa bersalah dengan semua ini. Johan, kalau emang lo udah gak selamat, gue mohon maafin gue, tapi gue berharap lu masih selamat Johan. Gue janji, gue mau damai sama lu.

Beberapa detik setelah itu. terlihat dari arah timur beberapa panitia datang menghampiri gue. Gue menyipitkan mata gue, fokus dengan siapa yang berada disana.
“heeyy, kamu diam saja disitu, kami akan datang!“ panitia tim sars menolong gue dengan membawa banyak peralatan.
“kamu gak apa-apa kan?“ tanya salah satu dari tim.
“mas, tolong temen saya Johan, dia kebawa arus. saya mohon mas!”
“yang benar kamu? “ semua tim panitia panik.
“saya serius maas, tolongin teman saya!“ gue gak kuasa menangis tersedu-sedu dihadapan para panitia tim sars. Badan gue menggigil, luka didahi gue semakin perih ditambah rasa takut yang amat sangat membuat gue stres.

“harap lapor, kepada seluruh ketua tim sars, kita hentikan dulu evakuasi hari ini, karena ada salah satu anggota di titik level rendah yang hanyut terbawa arus sungai! – bhhiipp“ panitia itu berbicara kepada seluruh anggota lewat media wireless.
“nama kamu siapa?“ tanya panitia itu
“ra.. randa, mas.“
“yasudah randa, kamu gak usah khawatir. tim evakuasi level tinggi akan segera membantu bersama tim penyelidik untuk mencari teman kamu, doakan saja semoga temanmu selamat.“ panitia itu mencoba untuk nenangin gue, tapi tetap saja gue gelisah.
“ ma..makasih, mas.“ jawabku menggigil.

Hari sudah sore. Gue sudah berada di tenda pengungsian untuk diobati. Semua anggota tim sars, guru, staf kelurahan serta teman-teman gue yang lain sudah duluan sampai ke tenda ternyata. Begitu gue datang bersama panitia yang menolong gue tadi. Semua perhatian tertuju pada gue, termasuk pak Narto yang memeluk gue dalam keadaan gelisah dan takut. Cedera didahi gue akhirnya diperban, gue melihat disekeliling sudah banyak berjejer kantung mayat. Ternyata banyak juga mayat-mayat korban yang berhasil ditemukan. Sejenak gue teringat dengan koper yang gue temuin, tapi koper itu sudah hilang entah kemana disaat gue jatuh terperosok. Yang terpenting adalah Johan – tanpa dia, mungkin gue yang sudah mati tenggelam terbawa arus. Johan udah nolongin gue, tapi malah dia yang jadi korban.

Beberapa anggota Tim sars kembali bersiap-siap untuk mencari keberadaan Johan, hati gue dan yang lain sedikit agak lega karena informasi dari tim penyelidik helikopter sudah menemukan Johan yang tidak sadar terdampar di tepi sungai ketika arus mulai pelan dan sungai mulai dangkal kembali. Gue lebih berharap lagi, kalau Johan masih hidup.

Sudah tak terasa waktu sudah maghrib, tim Sars belum juga datang membawa Johan. Sembari gue menunggu, biar hati gue tenang, gue ikut Sholat maghrib berjama’ah walaupun kaki gue masih sakit karena sedikit agak terkilir. Singkat saja, gue berdo’a sehabis Sholat. Gue memohon kepada Tuhan agar Johan dapat ditemukan dengan selamat. Gak tau kenapa gue menangis lagi didalam do’a, apa mungkin gue merasa ini adalah kesalahan gue, baru kali ini gue ngerasain gelisah yang amat sangat bagaikan orang tua yang anaknya hilang, padahal kan Johan laki-laki, udah gitu dia musuh gue, tapi rasa kasihan dan gelisah akhirnya muncul juga dibenak gue buat Johan. Sejam setelah gue beres-beres di tenda, banyak anggota lain heboh dan berlarian menuju ujung pusat tenda, gue penasaran apa yang mereka ingin lihat. Otomatis gue ikut kesana, dan gue terkejut bercapur senang karena Johan berhasil diselamatkan. Tuhan mendengar dan mengabulkan do’a gue.

“Johaann..!!!“ gue menerobos kerumunan orang-orang, menghampiri Johan yang sedang berbaring lemas di tanah dan basah kuyub. - “Johan, sory haan. gara-gara gue lu jadi kaya gini. gue takut kalo sampe elu beneran mati kelelep di sungai.“
Johan tersenyum lemas menatap gue dan menoyor kepala gue.
“ hehe, anak sial perduli juga sama gue – haha“
“ kamvret lu, ngatain gue anak sial. mending gue ninggalin lu pas lu kecebur tadi,” gue bergurau. “ya jelas lah Jooh peduli. makasih ya, elu kan nolongin gue pas gue kena pohon, eh malah elu yang nganyut” lanjut ocehan gue.
“hehe, iya Ran. Sama-sama, makasih juga ya udah nge-cemasin gue, Love you“ Johan bergurau.
“idiiihh, gak pake kata Love you berapa sih? dasar Maho !!“
“yaellah gue becanda, sensi amat lu, emang kata Love you itu buat yang pacaran doing?, kita kan teman.”
“ apa, lu bilang kita teman.. yakiin ??“  ledek gue.
“ hmm.. jujur aja lah, gua rasa sih gak masuk akal banget kalo kita udah saling menolong mati-matian, tapi masih musuhan,“ Johan mulai serius. Gue cuma bisa tersenyum haru.

“sebenernya gue capek Ran, berantem terus sama lu, suka kena hukuman sama pak Narto juga, kita jadi Rival yang baik aja deh,”
“iya Jooh. gua juga sama, sory buat selama ini, gue yakin kok tim sepak bola kita juga sama, capek sama yang namanya ribut. mereka juga kepengen damai,” – terlihat Johan yang balik tersenyum haru.

Keesokan paginya pihak dari sekolah dipulangkan, dan tidak diizinkan untuk lanjut membantu tim evakuasi dalam mengoprasi korban, sebabnya ya karena bencana yang dialami gue dan Johan kemarin. Semua pihak gak mau ada resiko lagi yang seperti itu. Cukup sampai disini, dan kita pulang dengan selamat.

Setelah dari kejadian itu. gue dan Johan, serta tim sepak bola kami gak pernah lagi yang namanya ribut, justru terkadang kita nongkrong bareng di kantin ataupun diluar sekolah, dan bermain Futsal bersama. Lumayan.. bisa lebih banyak patungan buat bayar sewa Lapangan. Namun, kami tetaplah dianggap rival disekolah mengenai tim sepak Bola terhebat! tapi ya gitu, bersaing secara sehat. Dari kejadian tolong menolong diambang kematian saat itu.  akhirnya gue sadar.. sebagai manusia kita harus menolong seseorang yang terkena musibah, tidak boleh memandang mereka itu siapa, termasuk musuh bebuyutan. 

~ THE END