THANK YOU RIVAL
"disaster river"
story by : Al fathur Ridwan
“prrrriiiiiittttt.....!!!!!!“ suara pluit berbunyi,
ditiup keras oleh sang wasit sepak bola. waktu pertandingan sudah selesai,
namun score yang dihasilkan antara tim dari kelas XII-D multimedia dengan kelas
XII-C IPS satu masih kosong-kosong. Kelas Multimedia dan kelas IPS tingkat XII
adalah dua kelas kami yang dikenal mempunyai tim sepak Bola hebat, tak jarang
kami menciptakan gelar juara di perlombaan antar sekolah dan membawa harum nama
sekolah.
Oh ya, perkenalkan nama gue Randa. Gue adalah kapten
sepak Bola dari kelas XII-D jurusan multimedia. Tim sepak bola dikelas gue,
sudah dikenal paling berbakat dalam sparing pertandingan bola besar itu. Tapi
ternyata gue gak sendirian dalam mempertahankan gelar juara disekolah, gue
punya Rival berat yang susah buat dikalahin. Mereka dari kelas XII-C jurusan
IPS satu. Kaptennya adalah Johan, umurnya masih seumuran gue – 17 tahun. tinggi
badan kita sama, namun kulitnya lebih agak kecoklatan dari gue. Johan bukan
hanya saingan berat antar kapten tim Sepak Bola gue, tapi dia juga musuh gue
semenjak kelas XI tahun lalu. akibat kita sempat berkelahi gara-gara
pertandingan Bola secara tidak sportif antara tim gue lawan tim johan pada
acara Classmeet waktu itu. Rasa balas dendam kembali terkuak pada acara
Classmeet hari ini, tim kita kembali bertemu tepat dalam babak Final akhir.
Score kami masih sama kosong dibabak pertama, jadi masih ada harapan dalam satu
babak lagi.
“waktu itu kita kalah sama kelas XII-C, sekarang kita gak boleh
kalah lawan mereka lagi,” tegas gue buat teman teman satu Tim, mereka hanya
bisa mengangguk ikut berharap bahwa kita menang. Pertandingan babak kedua
akhirnya dimulai, detik demi detik berlalu, teman gue Eko cedera pada bagian
pergelangan kaki yang sepertinya terkilir, namun kami tetap berusaha untuk
mendapatkan juara pertama dalam ajang Classmeet ini mengalahkan sang pesaing.
Benar saja tim gue menang, gue berhasil mencetak Gol ke gawang tim Johan, semua
penonton bersorak sorai menggemuruh.
“hiiiuuhh...” – gue mengelap keringat dengan rasa puas dan
bangga, sekilas gue melihat Johan yang berada di Garis Gelandang memasang wajah
yang kesal penuh dendam.
“ hmmm, bakal ada Fighting lagi ni,“ gumam gue.
Semua penonton makin ramai bersorak, terutama kelas XII-D
Multimedia. Teman-teman gue terutama anak perempuannya tak luput menyanyikan
Yel-Yel mereka buat tim kami.
“Positif menang !!!“ teriak gue berlari menghampiri beberapa teman
tim dan kita berpelukan bersama. waktu pertandingan sudah habis, peluit wasit
sudah kembali dibunyikan dan Score stabil 1-0, – kami menang..!!
Walau kami sudah menjadi juara, itu bukan akhir dalam kepuasan
gue pada hari ini. disaat panitia menyuruh sesama kapten, yaitu Gue dan Johan bersalaman
tanda Sportifitas, benar apa yang gue fikir tadi, Johan mendorong gue. Gue
hampir jatuh kebelakang dan untungnya teman gue menahan. Kejadian setahun yang
lalu bakal terulang lagi nih, permusuhan antara gue dan Johan makin besar.
“Lu kenapa sih Jo? kalo udah kalah ya kalah aja !!“ tanya gue
kesal.
“eh Randa, baru sekali menang aja udah norak banget,
cengar-cengir segala kaya anak kampungan!!“ Balasnya geram.
“ loh.. wajar dong, namanya juga menang.“
“gue sering banget yang namanya menang tapi gue gak senorak elo
ya Ran ??“ Ejeknya sambil mengunjuk tegas ke gue.
“Sombong lu..!!“ Gue mulai panas dengan perkataan Johan barusan,
dengan sengaja gue balik mendorong badan Johan sampai hampir terjatuh karena
ditahan pula oleh temannya dibelakang.
“ada juga elu tuh jangan Norak!!” Johan hendak balik mendorong
gue.
Kita akhirnya bertengkar di tengah lapangan. Di sekitar para
pengurus lomba seperti dewan Guru, teman-teman, pengurus Osis dan Panitia.
Johan menindih dan sekali menonjok gue, rasanya agak sakit sih, tapi gue juga
gak mau kalah. gue menghempas Johan kesamping dan kali ini gue berhasil balik
menindih Johan menduduki perutnya dan memukul wajahnya. Dia meringis kesakitan
karena gue yakin pukulan gue lebih keras.
“sudaahh...sudaahh..Stooopp..!!!“ tiba-tiba dari ramainya
kerumunan orang-orang yang heboh melihat kami berkelahi. Pak Narto datang untuk
melerai kami.
Pak narto sendiri adalah Guru BP disekolah, beliau sendiri juga
sudah mengetahui bahwa gue dan Johan itu musuhan sejak dulu. Waktu gue dan
johan berkelahi seperti yang sekarang, pak Narto lah yang melerai kami dan
memberi hukuman kepada kami, waktu itu hukuman gue dan Johan hanya di Skors
selama 3 hari. Memang itu bukan hukuman berat buat gue, tapi gue habis
dimarahin Ayah dirumah. dan sekarang adalah yang ke dua kali pak Narto bakal
ngehukum gue sama Johan, gue gak tau dapet hukuman apalagi bareng si Johan.
Kalo diskors lagi, siap-siap telinga jadi panas mendengarkan Ayah ngomel besok.
Siang itu gue dan Johan dipanggil ke ruang BP untuk
kembali menjelaskan apa yang terjadi sehabis classmeet. Gue dan Johan gak ada
yang mau ngalah, kami saling egois dan cari cari alasan. Itulah yang membuat
kami susah untuk akur.
“memangnya ada apa siih, kalian berkelahi terus ? “ Tanya pak
Narto.
“Habisnya Johan duluan tuh pak yang ngedorong saya.“ Balas gue
dengan ketus.
“eh.. elu juga tadi Nonjok gue“ bentak johan tidak terima.
“elu juga nonjok gue..!!“
“sudah..sudah..cukup, ini ruang BP tau..??“ pak Narto memotong
perdebatan gue dan Johan, terlihat beliau mengambil sebuah surat dari dalam
laci mejanya. Surat itu ditunjukan kepada kami berdua.
“kebetulan bapak mendapatkan undangan dari pihak kelurahan
daerah ini untuk mengajak 10 siswa dalam mengikuti anggota Tim Sars, membantu
korban kecelakaan pesawat di Bogor.“ Pak narto membaca surat undangannya dengan
tegas. Memang belum lama ini, gue lihat di Televisi sedang hebohnya terjadi
kecelakaan pesawat jatuh ke area Hutan di daerah pelosok kota Bogor.
“terus apa hubungannya sama saya pak?“ Tanya Johan heran, gue
sendiri juga ikut heran dengan apa yang ditunjukan pak Narto.
“ kalian berdua bapak hukum, tapi bukan di skors. kebetulan
siswa yang ingin berpastisipasi baru delapan orang, tinggal dua siswa lagi yang
berkesempatan untuk ikut. bapak ingin kalian berdua ikut dalam kegiatan ini, menjadi
anggota tim sars selama 2 hari dan berangkat ke Bogor untuk membantu korban
pengungsian dari kecelakaan pesawat disan.,”
“ sama Johan? saya gak mau pak!“ sontak gue gak terima dengan
keputusan hukuman gue dari pak Narto.
“Hissh..” Johan hanya menyeringai melihat gue sejenak dan
memalingkan wajahnya.
“ini sudah keputusan resmi saya, dan pihak kepala sekolah,
kalian harus terima hukuman ini, siapa suruh kalian berkelahi ?“ – Jelasnya. “orang
tua kalian nanti saya hubungi lewat telefon, saya yakin mereka setuju.”
Gue hanya terdiam pasrah dengan hukuman kali ini. iya memang, gue
gak bakal dimarahin ayah gue, tapi gue bakal mendadak jadi anggota tim sars –
Apa gue sanggup? ditambah lagi gue harus bareng sama Johan, orang yang paling
gue benci di sekolah. Mungkin apa yang gue pikirkan sekarang, sama dengan apa
yang dipikirkan johan.
“iya deh pak, saya terima ikut anggota tim sars bareng Randa.“ Johan
menerima hukuman itu.
“bagus!“ – sahut pak Narto. “bagaimana dengan kamu Randa?“ Tanya
pak narto lagi ke gue.
“ Hmm..,” gue cuma ngangguk dengan senyuman kecil palsu pada pak
Narto.
Pulang dari sekolah, gue harus siap siap buat besok.
Gue dapet sedikit omelan lagi dari Ayah, sedangkan Ibu ngebantuin gue untuk
melipat baju kedalam koper. Karena besok gue ikut organisasi kegiatan tim sars
ke Bogor, jam setengah 7 harus sudah kumpul disekolah dengan pakaian bebas,
membawa bekal, baju ganti, obat-obatan bila perlu, dan alat komunikasi. Iya..
ini udah kaya mau Kemping. lebih jelasnya, dalam 2 hari kita tanpa menyewa
rumah dan kamar. Kita akan bangun tenda di tengah hutan, karena tragedi itu ada
di pemukiman pelosok Hutan di Bogor – jauh dari kotanya.
Pagi ini, tepatnya jam setengah tujuh, gue dan kesembilan siswa
lainnya termasuk Johan sudah berbaris di dalam gerbang sekolah untuk
mendengarkan Instruksi dari kepala sekolah dan kepala kelurahan daerah
setempat, kami berangkat dengan Mini Bus yang muatannya kurang lebih 20 orang,
cukup untuk kami yang menjadi peserta ditambah 5 pembimbing dari sekolah
termasuk pak Narto, sedangkan pihak kelurahan dan beberapa stafnya membawa
mobil pribadi mereka.
Sebenarnya jarak antara sekolah gue ke kota Bogor gak
sampai seharian, namun karena macet, sudah 2 jam kami masih di setengah
perjalanan. Gue duduk bersebelahan dengan anak kelas XI-A – namanya Adam,
mungkin kemarin Adam melihat gue berkelahi sama Johan, dia sempat membahas soal
itu di Bus.
“eh bro, ada kak Johan tuh. gak ribut lagi? – ahaha“ canda si Adam
“ Berisik!!“ sahut gue dengan jutek.
“ yaelah ka Randa, gitu doang ngambek kaya cewek.“ candanya lagi
dengan sedikit rayuan mengejek.
Sudah hampir 4 jam dalam perjalanan, gue memandang ke
arah luar jendela Bus. Sudah tampak pemandangan gunung-gunung secara samar dan persawahan
luas. wahh ini sih udah bukan kaya di Jakarta, gue rasa sebentar lagi sampai
ketujuan terjadinya kecelakaan pesawat. Sebenarnya sih sudah sampai di kota
Bogor, tapi karena kita akan masuk hutan, jadi perjalanan untuk memasuki
kawasan itu makan waktu lebih lama.
Gue melihat disekeliling Bus, semua anggota sudah tepar sebelum
sampai. Wajahnya pucat bahkan ada satu siswi dibarisan terdepan yang muntah-muntah.
Gue memperhatikan adik kelas gue disebelah gue tadi, si Adam – dia juga
kelihatan pucat dan lemas. Adam memaksa gue untuk bersandar di bahu gue.
“ ka Randa, gue senderan ya di bahu lu, kepala gue pusing banget,”
“iihh apaan sih enggak!!“ Tolak gue sembari mendorong kepala
Adam yang hendak bersender di Bahu gue.
“pliss broo, gue gak tahan lagi di bus ini, jalannya gonjang-ganjing
kaya gempa bumi, bikin perut gue eneg.“ Adam memelas dan hendak bersender lagi
ke bahu gue.
“ isshh, lu Homo ya?“ gue kembali berusaha mendorong kepala Adam
dari bahu gue tapi tetap nihil, Adam sudah terlanjur lemas dan tertidur dengan
cepatnya dibahu gue. Yaah apa boleh buat, asalkan dia gak berfikiran yang
aneh-aneh, asalkan dia gak Muntah, gue cuma bisa nahan kesel sama si Adam.
Pengen gue jitak tapi kasihan.
Aahh, akhirnya. sudah sekian lama menempuh perjalanan
yang membosankan, gue turun juga dari Mini Bus yang sumpek ini. Udaranya
berubah 100 persen berbeda disaat gue keluar bersama rombongan yang lain, di
sini sejuk. Maklum, namanya juga pemandangan alam daerah hutan-hutan pelosok gitu.
Gue menghirup udara sedalam-dalamnya untuk menghilangkan rasa mual akibat aroma
muntah dicampur bau minyak kayu putih di mini bus tadi. Sesampai di tempat,
Instruktur kembali menyampaikan peraturan apa yang harus dijalani, disusul pak
Narto yang mengumumkan salah satu dari 10 siswa yang akan menjadi ketua tim
sars.
“saya akan memilih Johan sebagai ketua tim sars, dan yang
menjadi wakil ketua adalah Randa.” tegas pak Narto didepan para siswa yang
berbaris rapih.
“What!! – kenapa harus gue sih yang jadi wakilnya? kalo ketuanya
yang lain sih gak apa-apa,” fikir gue gak terima, kayaknya pak Narto sengaja
deh buat kesempatan biar gue sama Johan kerja sama, habis itu kita berdamai,
Owh tidak Bisa.
Pak Narto kembali melanjutkan pengumumannya. “siswa perempuan
disini kan hanya 4 orang. tugas untuk anak perempuan, kalian bantu tim medis
dalam menyiapkan makanan serta obat-obatan di tenda pengungsian ya!!“
“oh iya Baik pak!“ jawab salah satu siswi dengan sigap.
“dan untuk yang Laki-laki, kalian ikut membantu tim Evakuasi
dalam mencari korban yang masih hilang. serta untuk penginapan, kita sudah
menyewa tenda kecil, satu tenda cukup 2 orang,” Jelas pak Narto.
“untuk kamu Johan, sebagai ketua tim sars pihak sekolah, kamu
satu tenda dengan wakil kamu. Randa“
“haahh – gak mau pak, gak ada anak lain yang setenda sama
saya??“ Tolak Johan pada pak Narto, gue melihat matanya ngelirik sinis gitu ke
gue.
“hey, siapa juga yang mau setenda sama lo?? mending gue tidur
sama monyet dari pada sama lo!!“ balas gue kasar.
“sialan lo!!“ Johan hendak nyamperin gue dengan kepalan tangan,
kayanya sih dia mau nyoba nonjok gue lagi. Gue udah siap-siap buat nangkis
tonjokan Johan kalau dia beneran nyamperin gue. Tapi pak Narto keburu menahan
niat Johan itu.
“ Johan!! kamu disini sudah menjadi ketua, harusnya kamu
bersikap sopan dan disiplin, terutama sama Randa. awas kalo kalian berdua berkelahi
disini, gak cuma bapak yang akan ngehukum kalian tapi juga pihak Kelurahan.
paham!? – bikin malu aja.” Bentak pak Narto kepada kami.
“ hmm iya pak, maaf.“ Sesal gue dan Johan.
Hari sudah menjelang sore tepatnya pukul 15.40,
setelah kami Sholat Ashar berjama’ah pada suatu ruangan berpetak yang hanya
dihalangi oleh tirai berwarna biru di tempat pengungsian korban yang berhasil
selamat, kami dipersilahkan istirahat sampai esok pagi.
“arrgghhh males banget gue harus setenda sama tuh orang.
bisa-bisa main bunuh-bunuhan kali di sana, hahhaah,” gue menggerutu sendiri
pada saat waktu makan sore bersama pihak dari tim sars senior di tempat
pengungsian.
Tiba-tiba Johan datang menghampiri gue dengan membawa dua tumpuk
selimut dari panitia tim sars.
“hmmmh?“ sahut gue jutek sambil melanjutkan makan nasi kotak.
“nih ada 2 selimut dari panitia, buat di tenda kita. lu pilih
tuh mau yang mana?“
“lu aja yang pilih duluan, gak liat gue lagi makan?“
“masih nyolot aja sih, kalo bukan disini udah gue hajar lu,”
ancamnya pelan.
Gue cuek aja nanggepin ancaman si Johan yang gak penting.
mending gue cepet abisin makanan, terus gue langsung pergi ketenda buat
istirahat.
Sudah gak terasa malam pun tiba, teman-teman cewek
masih sibuk ngebantu tim medis di tenda pengungsian buat ngobatin korban
disana, memang kurang Fair sih – anak cowoknya diharuskan
tidur pada jam 9 malam karena di pagi buta besok tim evakuasi sudah menjalani
tugasnya ke berbagai lokasi kecelakaan di 3 titik tempat kejadian, sedangkan
anak ceweknya tidak boleh tidur sampai larut malam, karena sibuk dalam
mengobati korban yang terkena penyakit dan terluka. Tapi menurut gue sih, ini
sah-sah aja. karena walaupun anak cowok harus tidur pada jam sembilan, tapi
tugas besok bisa jauh lebih memacu adrenalin.
“tendanya sempit,“ gue mulai rebahan di dalam tenda bersama
johan yang sedang serius bermain Handphone.
“namanya juga tenda, kalo mau lega sana di hotel.“ jawab Johan
nyolot, namun matanya tetap terpaku pada layar Handphone.
“apa sih lu?? udah ya ketua tim sars. gua lagi males berdebat
sama lu.. ini sudah malam. gue capek, ngantuk, mau tidur, oke..!!“ Gue pun
berbaring tidur dengan membelakangi Johan. Namun Johan masih ingin mengobrol
sama gue, entah apa yang pengen dia bicarain tapi gue penasaran apa yang ingin
dia katakan.
“lu inget kan waktu gue ngedorong lu pas kita selesai Classmeet
Bola?“ tanyanya santai.
“iya gua inget, kenapa emang – lu mau dorong gue lagi ke Jurang
besok?“ sahut gue masih dalam posisi tidur membelakangi Johan.
“yaudah kenapa ??“ Balas gue kesal.
“lu mikir gak sih? selama kita musuhan, selama kita adalah rival
di tim sepak Bola sekolah, Pak narto sampai ngasih hukuman kaya gini, segala
daftarin kita ke program tim sars?“
“maksud lu?“ gue terdiam dan masih gak ngerti dengan apa yang di
katakan rival gue ini.
“ya aneh aja. biasanya kalo kita berantem, pak Narto selalu
skorsing kita – tapi sekarang dia malah nyuruh kita ikut program beginian,
tujuannya apa coba?“
“ya mungkin aja alasannya pengen kita damai.“
“ahahaha, gua damai sama lu ?? sory. apa kata tim sepak bola gue
nanti?” gumamnya, memang benar apa yang difikirkan Johan itu sama gue. masih
terasa tabu jikalau kita berdamai. Sifat kita sama-sama egois, masih ada rasa
dendam pada diri kita masing-masing, apalagi soal tim sepak Bola.
“ yaudah siih, lagian diluar dari kegiatan ini, gua juga ogah
kerja sama bareng lu.”
Johan hanya terdiam dengan kata-kata gue barusan, ia merebahkan
badannya untuk tidur dan kita saling membelakangi. Kami tertidur pulas sampai
pagi menjelang.
“Harap untuk anggota tim sars, persatuan dari pihak
Kota Bogor, anggota dari sekolah maupun kelurahan daerah kota, bersiap-siap
kumpul di luar tenda. kita akan berangkat dala setengah jam lagi untuk membantu
anggota tim sars melanjutkan evakuasi korban di tiga titik tempat...!!!“
Gue mendengar suara panitia dari luar tenda, mereka sudah sibuk
membangunkan kami semua dengan menggunakan toa, gue melihat jam di Handphone
masih tepat pukul empat pagi. Johan sendiri sudah tidak ada di samping gue – oh
iya, dia kan ketua tim sars dari perwakilan sekolah, jadi harus gesit buat
ngebimbing kita disini.
Gue sendiri bergegas keluar dari tenda, mencari toilet tapi gue
lupa kalau ini kawasan Hutan, mana ada Toilet disini. Gue mencoba bertanya pada
salah satu panitia yang berteriak dengan Toa tadi.
“hmm maaf mas, kalo mau mandi ataupun buang air dimana ya?“
“owh di sungai kecil di sebelah sana dik kalo Mau mandi, kalau
buang air kami sudah mencari tempat saluran air dekat tenda Panitia ke arah
utara, disitu juga ada keran buatan untuk berwudhu kalo ade mau sholat Subuh.“
jelas panitia itu sejelas-jelasnya.
“owwh gitu yah, makasih ya mas!“ jawab gue, masih dalam keadaan
ngantuk sambil menggaruk-garuk kepala. Lebih baik gue sholat subuh aja deh, gak
usah mandi. Gila kalo harus mandi berendam di sungai kecil itu pagi-pagi buta
begini, suasana masih gelap, ditambah gerimis yang membuat udara semakin super
dingin, kalau cuma sholat subuh kan wajah bisa kebantu seger pas lagi berwhudu.
Sehabis itu sikat gigi dan pake farfum maskulin serta deodoran khusus “Man” yang
gue bawa dari rumah, hehe..,
Setelah sholat subuh dan sarapan, dari tadi kok gue
gak ngeliat Johan ya, gue baru ketemu sama pak Narto serta anak-anak lain,
sedangkan Johan belum kelihatan batang hidungnya dari gue bangun tidur.
“aah, kenapa gue jadi nyariin dia sih? gak penting amat. entar
juga ketemu pas lagi evakuasi.“ pikir gue sambil sarapan nasi Kotak.
Semua persiapan sudah kelar. kini kita berdoa untuk keselamatan.
Anak-anak cewek sudah terlihat sibuk kembali dalam memasak dan membantu meracik
obat di dapur pengungsian, ternyata dari tadi Johan sedang di beri instruksi
oleh kepala kelurahan dalam memegang kepemimpinan di pihak sekolah, sedangkan
gue sebagai wakilnya bakal diberi intruksi secara tidak langsung lewat Johan.
Ah yang ada dia malah ngejek gue lagi di lokasi.
“Randa, lu kan wakil gue – kata kepala kelurahan kita
ditempatkan ke lokasi kecelakaan titik rendah, adanya di tanjakan terjal hutan
sana,“ Johan menghampiri gue dan siswa lainnya untuk rapat sejenak.
“masa kita doang sih Joh?“ jawab salah satu siswa kelas XI.
“ya enggak lah. kita dipandu sama sebagian panitia tim sars,
lagian mana bisa kita ngevakuasi korban?“
“ terus untuk panitia yang lain gimana?“ tanya gue.
“keseluruhan panitia serta guru-guru dan pihak kelurahan
setempat, bakal ada di titik lokasi menengah dan atas, yaitu di area kawah dan
Jurang, serta kaki gunung. sebelum kita sampai sana, kita harus melewati sungai
besar dulu, panitia bakal ngasih kita Pelampung dan sudah ada tali tambang di
area sungai untuk kita menyebrang,“ jelasnya lagi dengan tegas.
“owwh gitu. terus kalo disungai nanti ada buaya, anaconda, atau
ikan piranha gimana Joh?“ tanya gue lagi.
“lu kawinin aja tuh binatang disana!!“ Johan kesal, sedangkan
siswa yang lain malah tertawa dengan ocehannya.
“ya kan gue nanya Joh ??“
“ya kalo nanya yang berbobot sedikit kenapa – di sungai yang
arusnya deras mana ada Buaya sama anaconda? di Bogor mana ada piranha? serius
dong. ini program tim sars, kita kesini buat membantu mereka dalam menolong
orang, bukan piknik atau lagi travelling,” jelas Johan dengan nada marah pada
gue.
Gila, ini beneran Johan? gue heran dengan cara bicaranya yang
mendadak dermawan bakh pemimpin sars aslinya. Baru juga sekali dapat pelatihan dan
instruktur dari kepala tim sars. Apa mungkin Johan terbawa suasana?. Gue cuma
bisa terdiam menyesali candaan gue tadi, bener juga sih kata-katanya barusan,
mau bilang maaf sama Johan tapi gengsi banget. ih bodo amat, yang
jelas apapun yang dilakukan Johan pasti gue gak suka. – Itu wajar buat orang
yang sudah saling benci kan?
“Randa, lu wakil gue. posisi lu harus sama gue, begitupun dengan
yang lain, lu semua harus mendengarkan instruksi dari gue dan Randa oke!!“
oke, siap..!!” sigap semua siswa. Gue cuma bisa terima
instruktur dari Johan, karena posisi disini dialah sang ketua, tapi tidak untuk
disekolah.
“hebat juga lu Joh,” puji gue dengan suara pelan.
“ ini Cuma untuk 2 hari ya, kita kerja sama walau terpaksa.
Bisiknya lagi. “ tapi kalau disekolah, kita tetap Rival..!! “ gue cuma memasang
wajah bengis, diam mendengarkan omongan kecilnya.
Oke, saatnya berangkat evakuasi. Semua anggota tim sars dari
berbagai pihak sudah mulai jalan berbaris menelusuri licinnya rumput dan tanah
yang becek karena gerimis yang belum juga berhenti, justru menandakan akan
turun hujan lebat. Gue Johan serta yang lain langsung menuju lokasi titik
rendah dan harus melewati sungai terlebih dahulu. Suara arusnya sudah terdengar
dari kejauhan, sungai ini pastinya besar banget, lebarnya seperti jalan tol
yang ada di Kota-kota, airnya sedikit keruh namun sangat dingin. Ditambah efek
gerimis yang semakin besar, sudah seperti ada di adegan film-film perang Mandarin.
“nih kalian pake pelampung dan Helm kalian, disana ada tambang
untuk kita menyebrang sungai. dalamnya sungai sih gak terlalu, hanya sekitar
dada sampai leher kalian. tapi arusnya sangat deras – jadi, berdoa dan
hati-hati,“ jelas salah satu panitia tim sars sambil membagikan helm berwarna
kuning dengan lampu senter diatasnya dan pelampung berwarna Oranye yang dengan
otomatis mengembang cepat disaat seutas tali disisinya kita tarik. Seperti
pelampung darurat yang ada di pesawat jika hendak jatuh ke laut.
“kalian yang dari pihak sekolah. karena kalian belum
berpengalaman, kami posisikan ke titik area yang tidak begitu berbahaya, tugas
kalian juga hanya mencari benda-benda berharga milik korban atau bagian bagian
pesawat yang hancur untuk diteliti lebih lanjut, serta sebagai petunjuk kami
dalam mengevakuasi,“ kata sang Panitia itu lagi.
“namun jikalau salah satu dari kalian menemukan korban yang
hilang ataupun mayat, jangan takut dan langsung informasikan kepada kami lewat
pembimbing kalian disana nanti. paham!!?”
“paham..!!!“ kami serentak menjawab tegas.
Kami mulai berbaris untuk menyebrangi sungai itu,
dibarisan depan adalah Ketua besar dari segala ketua tim sars serta kelompok
evakuasi di titik level atas, yaitu area evakuasi paling beresiko tepatnya di
kaki gunung yang jadi titik pusat awal jatuhnya pesawat itu terjadi, gue cukup
kagum dengan mereka semua yang sudah sangat profesional tentunya, tidak pantang
menyerah, berani ambil resiko, hanya untuk membantu korban jiwa walau memang
tidak mendapat upah sepersen pun. Tapi gue rasa sih – mereka bakal dapet
penghargaan besar dari pemerintah nanti, lihat saja.
Dibarisan kedua adalah kelompok kami dari pihak sekolah yang
masih belum tau apa-apa mengenai kegiatan ini, tapi tentu saja ada bimbingan
dari beberapa tim sars yang profesional untuk mengawasi kami di area titik
rendah yang berada di tanjakan terjal hutan ini, dekat dengan sungai. Lalu,
yang berada di barisan terakhir dalam penyebrangan ke sungai adalah beberapa
staf pihak kelurahan serta dewan guru pembimbing dari sekolah, mungkin mereka
sudah sedikit berpengalaman dalam melakukan aksi ini, jadi mereka dikelompokan
dalam tim evakuasi di titik menengah yang berada di area kawah jurang.
“Kenapa harus segala hujan sih?“ keluh gue sambil memegang erat
tambang yang melintang kuat di sepanjang hamparan sungai. Airnya dingin banget,
arus yang sangat deras dengan memaksa seperti ingin membawa kami terhanyut jauh
entah kemana. Percikan hujan membuat mata kami perih dan pandangan menjadi
kabur karena embun dari hujan itu. Selangkah demi selangkah kami berjalan
menapak dasar sungai, banyak sesuatu yang tersangkut di badan gue seperti dahan
pohon yang hanyut, sesekali gue sibuk untuk melepaskan dahan-dahan yang
tersangkut di badan gue, begitupun dengan Johan dan yang lain.
“ Perhatian..!! jika ada benda besar yang hanyut dan ingin
mengarah ke kita jangan panik, tetap pegang erat pada tambang besar ini dengan
cara memeluk dengan lengan kalian. lalu tangan yang satu untuk menahan benda
itu, melindungi badan dan kepala kalian agar tidak mudah terhempas..!!” jelas
panitia tim sars yang berada didepan, walaupun suaranya keras, namun tetap aja
gue kurang mendengar apa yang dia katakan. Suaranya tersamarkan oleh gemuruh
derasnya hujan, dan ributnya suara arus air di sungai.
Yeess! – sampai juga ke seberang sungai, tanpa ada kendala
barang besar yang hanyut dan menerpa, fikir gue berlaga keren. Langsung saja
Johan, gue dan yang lain mendaki terjalan hutan didepan, banyak pepohonan besar
yang tumbuh menjulang keatas, semak-semak basah karena hujan, dan akar-akar
pohon yang timbul selalu membuat kami tersandung.
“disini adalah titik area tim evakuasi level rendah, tepat diarea
terjalan hutan tepi sungai, menurut informasi dari tim penyelidik di helikopter
kemarin, disini masih banyak bagian-bagian kapal yang berserakan dan
benda-benda korban.” panitia itu kembali memberi instruktur khusus untuk yang
tim evakuasi level rendah kaya gue dan Johan. “Kalian hati-hati disini, jangan
sampai terpeleset. Bisa-bisa kalian jatuh dan tercebur kesungai oke selamat
bertugas, good luck!”
“Joh, kita harus mulai darimana?“ tanya gue sambil membenarkan
helm gue yang agak miring.
“mana gue tau, tanya gih sama panitia!!“ celaknya
“ya gue lagi ada kesibukan lain kali. kan lu wakil gue, lu aja sana.“
“Huuurrrggh..!!” gue menggeram kesal, pergi meninggalkan Johan
yang sibuk mengeluarkan sebuah barang seperti alat penggali untuk mencari
benda-benda di pendaman tanah.
Dalam beberapa saat gue terpaksa kembali ke Johan, panitia
nyuruh gue buat bantuin dia, sedangkan anggota lain juga sedang sibuk mengevakuasi
ke sudut lain membantu para panitia.
“lu kok balik lagi?“ tanya Johan sambil sibuk menyasak
semak-semak lebat yang menghalangi jalan dengan pengarit.
“gue disuruh bantuin lo sama panitia. tapi gua bingung mau
ngapain?“
“haha – duduk manis aja disitu, jagain kalo ada ular yang mau
nerkam gue ya!”
“sialan, lu pikir gue bodyguard lu. enak aja, sini biar gue yang
motongin semak-semak” gue merebut pengarit dari johan.
“ehhh, reseh lu.. gak liat gua lagi serius?“ mendadak johan
ngebentak gue saat pengaritnya gue ambil. Tapi gue gak merespond, gue terus
mengarit semak-semak yang ada didepan gue.
“Randa..!!! bener-bener lu ya!! sini pengarit gue, lu ngapain
kek pakai alat lu sendiri. enggak dikasih sama panitia ??” lanjutnya kesal, Johan
terus ngikutin gue yang asyik menebas semak-semak belukar. Gue tetap tak acuh
dengan ocehannya, mungkin ini membuatnya geram dan langsung merebut pengarit
itu dari gue.
Aahh, sial. Pengarit itu terlempar jauh di antara semak-semak
yang lebat secara liar, untung gak jatuh kebawah – terus nyebur. Bisa-bisa gue
dan Johan kena masalah sama anggota tim.
“arrgghhh kaann. lu sih Ran, dasar sial, bodoh, otak lu dimana
siih ?? lihat, pengaritnya kelempar kaan..!! kita bisa dimarahin kalo panitia
sampe tau, kalo pengarit itu hilang..!!!”
Beraninya Johan marah-marahin gue, ngebentak gue dengan wajah
yang penuh kesal terhadap gue, gue cuma bisa diam dengan perkataan Johan
barusan, walau emang kita sering berantem secara fisik, tapi baru kali ini Johan
ngatain gue sampai segitunya. dan gue baru tau, ternyata lebih sakit dihina
seperti itu dengan mulutnya, dari pada ditonjok langsung. Lebih nusuk ke hati.
“ehh Joh, lantang ya marahin gue. gue tau lu rival gue, gue tau
disini lu ketua tim sars gue, tapi jangan seenaknya lu ngatain gue semena-mena gitu
doong!! kita langsung cari sama-sama sampai ketemu, apa susahnya siih? Haah!“
balik gue ngebentak.
“ya tapi gimana? kalo kita nyari pengarit itu sampe ketemu, evakuasi
kita jadi makan waktu.“ balasnya lagi dengan wajah yang sudah terlihat stres,
“disini gue sebagai ketua, pasti gue kena omelan. ini tanggung jawab gue Ran,
kalo gue tau bakal kaya gini – gua gak bakal mau ikut.”
Johan memegang kepalanya dengan kedua tangan, menandakan dia
sedang kebingungan.
“pengecut lu Joh! yaudah, lu lanjutin aja ngevakuasi. biar gue
yang cari sendiri. emang ini salah gue. Puas lo?” gue menelusuri semak-semak
liar dan lebat di depan gue tanpa alat apapun. Sejenak gue melirik ke arah
Johan, dia masih berdiri kebingungan sambil merhatiin gue dengan wajah penuh
gelisah. Gue melirik lebih jauh kebelakang, sepertinya jarak gue dan Johan
dengan anggota lainnya sudah sangat jauh, pada kemana yang lain? atau mungkin
tempat gue dan Johan sudah kejauhan dari mereka gara-gara kita rebutan pengarit
tadi?.
Gue berjongkok dan merabakan kedua tangan gue untuk menemukan
alat Pengarit itu, yang gue ambil selalu akar pohon dan ada satu barang yang
mencurigaan tersentuh tangan gue, barang itu keras, berbentuk kotak dan besar.
Gue penasaran menarik benda itu, agak keras untuk diambil karena sebagiannya
terpendam tanah yang sudah hampir membatu.
“iiikkhh..!!“ sekuat tenaga gue mengambil benda itu.
“ketemu Ran, pengaritnya?” tanya Johan kepada gue.
“udah sana, lu ngevakuasi aja gue bilang, biar nanti gue yang
cari sampe ketemu.“
“oke. kalo itu mau lu.“ Johan berbalik arah ninggalin gue
sendirian. Gue terus menarik benda itu dan akhirnya berhasil, benda kotak yang
besar ditumbuhi lumut dan jamur pada tanah yang menempel di alasnya. Ternyata
ini Koper!! . gue terkejut karena menemukan benda dari korban kecelakaan
pesawat.
Hujan masih saja lebat, airnya makin banyak yang mengalir dari
atas tanjakan terjal area hutan ini, airnya bercampur tanah dan sampai ke
sungai, mungkin ini penyebab kenapa sungai besar itu menjadi sangat keruh.
Tiba-tiba tanah di area ini bergetar secara keseluruhan, namun gue gak begitu
perduli karena masih shock dengan koper temuan gue ini. Gue masih bisa ngeliat
Johan yang sepertinya sedang was-was dengan apa yang terjadi, mungkin karena getaran
yang ditimbulkan oleh tanah.
“perhatian untuk tim evakuasi titik rendah...!!! cepat
tinggalkan tempat ini, menghindar ke arah timur sekarang!” tiba-tiba dengan
panik, salah satu pembimbing tim evakuasi diarea titik rendah memberi
pengumuman dengan toa, bahwa area kami dalam bahaya, tim evakuasi yang berada
di kaki gunung memberi sebuah tanda bahaya kepada tim evakuasi di area kami.
“sekali lagi, kita dalam bahaya di area ini. cepat ke arah timur
sekarang dan berkumpul, ada tanah Longsor yang turun dari kaki gunung menuju
area kita!!” suara toa itu tidak terlalu kedengaran dari kejauhan, entah
panitia itu berada dimana, dan sedang bicara apa. Getaran tanah semakin
kencang, aliran air Hujan yang deras semakin membanjiri tanjakan hutan ini,
namun bodohnya gue gak terlalu perduli dengan tanda bencana tersebut, karena
saking senangnya gue nemuin koper dalam evakuasi.
“wooii Johan..!!!“ gue berteriak kepadanya yang masih terlihat
sangat dekat jaraknya dari gue. Kayanya dia lagi susah payah, berjalan
luntang-lantung untuk melangkah ke arah timur, menyeimbangkan diri agar tidak
terpeleset.
“ Randa, cepet pergi dari tempat!! ikutin gue, kalo lu mau
selamat..!!“ teriaknya
“apa? gua gak denger..!!“ balas gue teriak, karena kurang jelas
mendengar perintah Johan barusan. Suaranya samar karena gemuruhnya hujan deras.
Johan membalikan badannya dan kembali menghampiri gue, dengan wajah yang penuh
rasa takut,
“lo kenapa sih Joh ??“ gue makin heran ngelihat ni anak. Mukanya
aneh begitu. - “Joh, lihat Joh. gue nemu Koper, kita langsung lapor ke panitia
yuuk!! “ dengan senangnya gue menunjukan koper temuan gue.
“yasudah cepet ikutin gue. kita pergi dari sini, bakal ada
longsor..!!, gak ada waktu buat Norak..!!“ Johan kembali balik arah untuk
menyelamatkan diri, dalam beberapa langkah jarak yang semakin jauh dari gue.
“hhaaaahh longsor ?? Johan, tungguin gue!!“
Gue baru sadar kalau getaran tanah ini bukanlah efek dari hujan
yang deras dan mengaliri air dari atas, namun akan datangnya tanah longsor
karena ambles oleh hujan deras. Johan terus berjalan cepat, sesekali dia hampir
terpeleset dan gak nungguin gue, bagus! – namanya juga orang egois. Gue menyusul
dibelakang. memang benar, jalannya jadi sangat licin saat aliran air dari atas
sana mengalir ke sungai. Niatnya gue pengen membalap Johan, gue pengen
ngeduluin dia sampai ke tempat perlindungan, tapi karena saking terburu-buru,
gue terpeleset dan jatuh ditempat, untung saja gak terpelanting kebawah.
“aww..!!!“ rintih gue sambil mengelus-elus bokong yang terbentur
akar pohon, seluruh badan gue jadi kotor terkena tanah. Gue mencoba
membersihkan tanah-tanah ini dari badan dan tangan gue.
Pohon cemara di atas tanjakan terjal runtuh karena
tanahnya habis terkikis air yang mengalir, akar-akarnya tidak kuat lagi menahan
bobot pohon itu, dan terdorong oleh tanah longsor. tumbanglah pohon cemara itu,
meluncur kebawah tepat kearah gue. Gue tidak sadar ada pohon yang
meluncur dari atas, gue masih sibuk membersihkan tanah yang melumuri
badan gue. Gue kira suara gusrakan itu adalah arus sungai yang semakin lama semakin
deras dan dalam.
“Randaa, awaaasss...!!!” teriak Johan, yang kembali berusaha
menghampiri gue. Otomatis gue kaget, celingak-celinguk mencari tahu apa yang
terjadi. Pada saat gue menoleh keatas, pohon cemara itu sudah dekat jaraknya
untuk menghantam gue ke bawah.
Bruuaakk !!! – pohon cemara itu benar menghantam gue, kepala gue
terbentur keras dan ikut terperosok kebawah menuju sungai.
“aarrgghh!“ sadar tidak sadar gue terguling ke bawah, merasakan
sakit pada bagian kepala. Gue udah pasrah, mungkin ini adalah akhir hidup gue.
Gue bakal jatuh kebawah, tercebur ke sungai, dan mati karena hanyut tenggelam.
Namun Takdir berkata lain, gue melihat Johan secepat kilat merosot kebawah
untuk menolong gue sebelum tanah longsor itu sampai duluan ke sungai. Gue berhenti
tepat di tepi sungai, ini karena Johan yang tepat waktu menarik gue dari
belakang ketika gue hampir tercebur.
“Randa, lu gak apa-apa ??“ kata Johan panik begitu ia memegang
kedua bahu gue. Gue hanya diam meringis menahan rasa sakit dibagian Dahi gue
yang berdarah karena hantaman pohon cemara yang terbawa longsor tadi.
“yasudah, sekarang kita ke tempat aman. Sekarang! sebelum
longsornya datang.” namun ini sudah terlambat, disaat Johan ingin merangkul
gue, serpihan tanah longsor itu keburu sampai kebawah. Johan terkena hemburan
tanah-tanah itu dan tercebur kesungai, sedangkan gue terlindungi oleh pohon
cemara yang runtuh tadi karena tanah longsor yang ke arah gue itu tertahan di
Pohon.
rasa panik langsung menguasai gue, gue gak tau harus ngapain
ngelihat Johan tercebur dan hanyut! dengan susah payah gue mendekati Johan yang
berpegangan pada tambang penyebrangan tadi.
“pegangan tambang itu Jooh, tahan..!! gue bakal nolongin lu.“
Jujur, saking takutnya gue, gue pun menangis. wajah gue yang sudah sangat kotor
terkena air hujan, tanah serta darah yang mengalir dari dahi gue. Gak kebayang
kalau gue bakal mati, atau Johan yang bakal mati, atau kami berdua yang bakal
mati disini.
“Raan, tolongin gue Raan..!! gue udah gak kuat nahan arus,
sungainya udah dalem banget, gak kaya tadi.“ Johan memelas meminta pertolongan gue,
tangannya masih berpegangan erat pada tambang.
“tahan Jooh, ayo pegang tangan gue..!!“ Gue mengulurkan tangan
untuk menolong Johan. “toloong! ketua tim sars, teman-teman?”
menyelingi aksi gue dalam membantu johan, gue mencoba berteriak
minta tolong kepada yang lain, namun tidak ada satupun yang datang. mungkin
mereka sudah aman disana, tidak mendengar suara teriakan gue karena suara gue
kependam oleh gemuruh hujan disertai petir yang mulai menyeruak.
“Joohh buruan, raih tangan gue. Johaan..!!” Johan perlahan
mendekati tepian dan meraih tangan gue. dengan sekuat tenaga, gue menarik Johan
sampai ke pinggir.
“berenang Jooh, biar gue gampang narik luu.“ perintah gue
“susah Randa. gue gak bisa nepak ke dasar sungai, ini udah dalem
banget, gue gak kuat nahan arus!” balasnya dengan nafas yang terengah-engah. Gue
rasa dia udah pasrah, namun tetap gue harus nolongin musuh serta rival gue ini.
Biar bagaimanapun, dia kan manusia juga yang sedang diambang kematian. Gue juga
masih punya hati nurani dan prikemanusiaan, walau yang gue tolong adalah orang
yang paling gue benci.
“cepat Jooh, sedikit lagi, terus pegangan tangan gue!“ tangan
kiri Johan berpegangan dengan tangan gue, sedangkan yang kanan masih
berpegangan dengan tali tambang.
“ iyaa ini lagi usaha!“ jawab Johan.
Oh tidak, ada sebatang Pohon besar terhanyut menghampiri Johan,
pohon itu juga tumbang karena tanah longsor kemudian tercebur dan terbawa arus.
Hantaman pohon itu memutuskan tambang penyebrangan. Gue dan Johan semakin
panik, karena licinnya tangan kita berdua, johan yang tidak kuat lagi menahan
arus.
Brruuuaakkk.. – Johan terhantam dahan pohon yang hanyut itu, dia
terlepas dari genggaman tangan gue, terbawa arus dan tenggelam.
“Johaan...!!!“ Gue berteriak amat sangat panik, gue menangis
sembari mengejar kemana arah Johan itu terbawa arus di tepain sungai. Johan tak
terlihat lagi, gue jatuh tersandung sebuah batu yang ada ditepi, wajah gue
menghantam lumpur. Johan tak terlihat lagi. Gue hanya bisa menangis berlutut di
tepian sungai dengan wajah yang penuh lumpur.
“Johan maafin gue, Johaann!“ disini gue gak tau harus bagaimana
lagi, harus ngelakuan apa lagi, gue sudah dikuasai oleh rasa bersalah gue.
rival gue sudah tenggelam entah kemana. Gue memukul mukul lutut
gue merasa bersalah dengan semua ini. Johan, kalau emang lo udah gak selamat,
gue mohon maafin gue, tapi gue berharap lu masih selamat Johan. Gue janji, gue
mau damai sama lu.
Beberapa detik setelah itu. terlihat dari arah timur beberapa
panitia datang menghampiri gue. Gue menyipitkan mata gue, fokus dengan siapa
yang berada disana.
“heeyy, kamu diam saja disitu, kami akan datang!“ panitia tim
sars menolong gue dengan membawa banyak peralatan.
“kamu gak apa-apa kan?“ tanya salah satu dari tim.
“mas, tolong temen saya Johan, dia kebawa arus. saya mohon mas!”
“yang benar kamu? “ semua tim panitia panik.
“saya serius maas, tolongin teman saya!“ gue gak kuasa menangis
tersedu-sedu dihadapan para panitia tim sars. Badan gue menggigil, luka didahi
gue semakin perih ditambah rasa takut yang amat sangat membuat gue stres.
“harap lapor, kepada seluruh ketua tim sars, kita hentikan dulu
evakuasi hari ini, karena ada salah satu anggota di titik level rendah yang
hanyut terbawa arus sungai! – bhhiipp“ panitia itu berbicara kepada
seluruh anggota lewat media wireless.
“nama kamu siapa?“ tanya panitia itu
“yasudah randa, kamu gak usah khawatir. tim evakuasi level
tinggi akan segera membantu bersama tim penyelidik untuk mencari teman kamu,
doakan saja semoga temanmu selamat.“ panitia itu mencoba untuk nenangin gue,
tapi tetap saja gue gelisah.
“ ma..makasih, mas.“ jawabku menggigil.
Hari sudah sore. Gue sudah berada di tenda pengungsian
untuk diobati. Semua anggota tim sars, guru, staf kelurahan serta teman-teman
gue yang lain sudah duluan sampai ke tenda ternyata. Begitu gue datang bersama
panitia yang menolong gue tadi. Semua perhatian tertuju pada gue, termasuk pak
Narto yang memeluk gue dalam keadaan gelisah dan takut. Cedera didahi gue
akhirnya diperban, gue melihat disekeliling sudah banyak berjejer kantung
mayat. Ternyata banyak juga mayat-mayat korban yang berhasil ditemukan. Sejenak
gue teringat dengan koper yang gue temuin, tapi koper itu sudah hilang entah
kemana disaat gue jatuh terperosok. Yang terpenting adalah Johan – tanpa dia,
mungkin gue yang sudah mati tenggelam terbawa arus. Johan udah nolongin gue,
tapi malah dia yang jadi korban.
Beberapa anggota Tim sars kembali bersiap-siap untuk mencari
keberadaan Johan, hati gue dan yang lain sedikit agak lega karena informasi
dari tim penyelidik helikopter sudah menemukan Johan yang tidak sadar terdampar
di tepi sungai ketika arus mulai pelan dan sungai mulai dangkal kembali. Gue
lebih berharap lagi, kalau Johan masih hidup.
Sudah tak terasa waktu sudah maghrib, tim Sars belum juga datang
membawa Johan. Sembari gue menunggu, biar hati gue tenang, gue ikut Sholat
maghrib berjama’ah walaupun kaki gue masih sakit karena sedikit agak terkilir. Singkat
saja, gue berdo’a sehabis Sholat. Gue memohon kepada Tuhan agar Johan dapat
ditemukan dengan selamat. Gak tau kenapa gue menangis lagi didalam do’a, apa
mungkin gue merasa ini adalah kesalahan gue, baru kali ini gue ngerasain
gelisah yang amat sangat bagaikan orang tua yang anaknya hilang, padahal kan
Johan laki-laki, udah gitu dia musuh gue, tapi rasa kasihan dan gelisah
akhirnya muncul juga dibenak gue buat Johan. Sejam setelah gue beres-beres di
tenda, banyak anggota lain heboh dan berlarian menuju ujung pusat tenda, gue
penasaran apa yang mereka ingin lihat. Otomatis gue ikut kesana, dan gue
terkejut bercapur senang karena Johan berhasil diselamatkan. Tuhan mendengar
dan mengabulkan do’a gue.
“Johaann..!!!“ gue menerobos kerumunan orang-orang, menghampiri
Johan yang sedang berbaring lemas di tanah dan basah kuyub. - “Johan, sory
haan. gara-gara gue lu jadi kaya gini. gue takut kalo sampe elu beneran mati
kelelep di sungai.“
Johan tersenyum lemas menatap gue dan menoyor kepala gue.
“ hehe, anak sial perduli juga sama gue – haha“
“ kamvret lu, ngatain gue anak sial. mending gue ninggalin lu
pas lu kecebur tadi,” gue bergurau. “ya jelas lah Jooh peduli. makasih ya, elu
kan nolongin gue pas gue kena pohon, eh malah elu yang nganyut” lanjut ocehan
gue.
“hehe, iya Ran. Sama-sama, makasih juga ya udah nge-cemasin gue,
Love you“ Johan bergurau.
“idiiihh, gak pake kata Love you berapa sih? dasar Maho !!“
“yaellah gue becanda, sensi amat lu, emang kata Love you itu
buat yang pacaran doing?, kita kan teman.”
“ apa, lu bilang kita teman.. yakiin ??“ ledek gue.
“ hmm.. jujur aja lah, gua rasa sih gak masuk akal banget kalo
kita udah saling menolong mati-matian, tapi masih musuhan,“ Johan mulai serius.
Gue cuma bisa tersenyum haru.
“sebenernya gue capek Ran, berantem terus sama lu, suka kena
hukuman sama pak Narto juga, kita jadi Rival yang baik aja deh,”
“iya Jooh. gua juga sama, sory buat selama ini, gue yakin kok
tim sepak bola kita juga sama, capek sama yang namanya ribut. mereka juga
kepengen damai,” – terlihat Johan yang balik tersenyum haru.
Keesokan paginya pihak dari sekolah dipulangkan, dan tidak
diizinkan untuk lanjut membantu tim evakuasi dalam mengoprasi korban, sebabnya
ya karena bencana yang dialami gue dan Johan kemarin. Semua pihak gak mau ada
resiko lagi yang seperti itu. Cukup sampai disini, dan kita pulang dengan
selamat.
Setelah dari kejadian itu. gue dan Johan, serta tim
sepak bola kami gak pernah lagi yang namanya ribut, justru terkadang kita
nongkrong bareng di kantin ataupun diluar sekolah, dan bermain Futsal bersama.
Lumayan.. bisa lebih banyak patungan buat bayar sewa Lapangan. Namun, kami
tetaplah dianggap rival disekolah mengenai tim sepak Bola terhebat! tapi ya
gitu, bersaing secara sehat. Dari kejadian tolong menolong diambang kematian saat
itu. akhirnya gue sadar.. sebagai manusia kita harus menolong seseorang
yang terkena musibah, tidak boleh memandang mereka itu siapa, termasuk musuh
bebuyutan.