Jumat, 30 Januari 2015

Jangan ambil peranku





“ JANGAN AMBIL PERANKU “
STORY BY : AL-FATHUR RIDWAN

1.
Graphyca Hight School  –  ya,  sekolah seniku ini terkenal keren dan mahal  didaerah 
bagian sudut Ibukota  negara, namun ada beberapa orang yang  bisa dibilang 
kurang mampu  berhasil masuk  kesekolah ini  karena kecerdasannya. Maksudku…, 
mereka mendapat beasiswa.  gedung  Graphyca  ini sangat mewah, memiliki lima 
lapangan untuk segala bidang olahraga, kecuali kolam renang. Entah kenapa kami 
harus membayar mahal sekolah ini tetapi tidak dibuatkan kolam renang. Aku juga 
bingung, tapi itu tidak penting.  
Sekarang sudah pertengahan Bulan November 2014, sebulan lagi, 
tepatnya ditanggal 21 Desember sekolahku itu  merayakan hari jadinya,  dan tahun 
2014 ini tepat menginjak tahun kelima setelah Reuni akbar sebelumnya.
Sekolahku  selalu mengadakan acara Reuni akbar selama lima tahun sekali, acara 
Reuni akbar memang bisa dibilang acara yang sangat mengesankan, semua 
angkatan dari tahun ketahun akan berkumpul, angkatan yang belum lulus  dengan 
beserta para  Osis  selalu mengadakan pertunjukan seperti opera, konser musik, 
dan bazar-bazar tempat mereka berjualan  –  Setahuku.  Namun entah dengan 
acara disekolahku nanti, karena memang aku belum pernah merasakan  yang 
namanya Reuni akbar sekolah, walau aku sudah kelas dua belas. Aku bisa 
membayangkan,  aku akan bertemu dengan para alumni disemua angkatan, 
mungkin diantara mereka ada yang sudah  bekerja, menikah, bahkan memiliki 
beberapa anak.
“ Senja  !! Cepatlah kita sarapan dulu. “  Teriak ibuku memanggilku. Aku  sigap
memakai sepatu dikamar dan berlari menuju meja makan. Sengaja aku tidak 
menyisir rambut  hitam  mengkilatku dengan sisir, hanya merapikannya dengan 
jari-jari tangan.  –  kupikir, rambut yang acak-acakan tidak disisir itu keren untuk 
seorang Cowok kan ?. 
pagi ini seperti biasanya, aku hanya  sarapan  sereal dengan susu full cream, entah 
mengapa perutku selalu sakit bila makan roti, nasi, dan telur. Sebenarnya sereal 
tidak begitu mengenyangkan, tapi untung saja porsi makanku selalu sedikit. Itulah 
mengapa  sebabnya  aku kurus.  Aku tidak memperdulikan badanku yang kurus ini, 
karena salah satu anggota tubuh yang aku banggakan adalah hidungku yang 
mancung dan sedikit melengkung terjal kebawah, seperti paruh Elang. Banyak 
teman-teman disekolah yang memuji hidungku, beberapa orang lain juga mengira 
aku keturunan Arab, Afganistan, dan Turki karena memiliki hidung yang mancung 
–  padahal aku bukan berdarah campuran dari Negara manapun. Memang aku 
menyadari  aku memiliki alis yang tebal dan hidung kebanggaanku ini  yang seperti 
paruh Elang, wajahku jadi seperti orang-orang timur tengah.
Aku sudah menyelesaikan sarapanku,  begitupun ayahku dan ibuku. Ayah selalu 
mengantarkanku kesekolah sebelum akhirnya  berlanjut kekantor, ia selalu 
cerewet kalau aku sedikit lama untuk masuk kemobil, karena ayahku sifatnya 
sangat disiplin  –  ia jarang sekali terlambat, tidak pernah menunda waktu untuk 
rapat dengan para karyawannya, ayahku adalah orang yang sangat sibuk. Ia 
bekerja sebagai direktur pengrevisi dokumen di perusahaan Majalah ternama kota 
ini. sesuai latar belakangnya, ayahku adalah penulis sejak kuliah, hobinya  itu 
dimulai sejak masih remaja -  dalam mengarang kata-katanya sangatlah luar biasa.
Setiap karya yang ditulis ayahku selalu disukai banyak orang. Bahkan, salah satu 
judul  Novelnya pernah diangkat menjadi sebuah Film layar lebar.  Yang lebih 
hebatnya lagi, ayahku adalah Alumni  Graphyca  tahun angkatan 1994 dan lulus 
diusia kedelapan belas tahun, sama sepertiku. Keren kan !!.
******
Lima belas menit sebelum bel masuk berbunyi, aku sudah sampai disekolah. Aku 
melihat Deris teman perempuanku sudah ada dikursinya dalam kelas. Ia terlihat 
asyik mengobrol dengan teman perempuannya yang lain. Deris  adalah cewek
tomboy, ia memiliki rambut yang lurus sebahu, dengan poni menyamping dan 
kedua anting bulat hitam yang menempel ditelinganya. Yang paling aku suka dari 
Deris saat ia tertawa, wajahnya terlihat jauh lebih manis karena gigi Gingsul 
disebelah kanan yang selalu menghiasi tawanya.  Kenapa aku sangat dekat dengan 
Deris ?, selain teman sekelas, Deris juga tetanggaku. Rumah kami hanya berjarak 
satu Blok. Terkadang aku  iri  sama Deris, orang tuanya selalu membebaskan dia 
untuk menggunakan motor  Vespanya kapan saja. Ya, Motor Vespa berwarna 
kuning cerah.  –  bahkan untuk pergi kesekolah  Deris rajin membawa Vespanya itu.
Sempat tempo hari ayahku tak bisa mengantarkanku kesekolah, dengan terpaksa 
aku menumpang  diVespa Deris. Sebagai anak laki-laki, aku merasa malu, tetapi 
ibuku juga memaksa. Jadi apa boleh buat, dari pada terlambat.
“ pagi Deris, “ Sapaku datar, menghampiri kursiku tepat disamping kursi Deris. Aku 
duduk seraya melepaskan ranselku.  Kursi kami dibarisan kedua dari belakang, 
sementara kursi dibelakang kami kosong.
“ hey Senja, tumben kau datang sebelum bel berbunyi ? “ sahutnya bersemangat.
“ ya, kau tau sendiri ayahku  seperti apa kalau aku lelet. “  Kataku lagi sambil 
mengeluarkan buku sastra Bahasa dan beberapa bolpoin. Memang, jam pelajaran 
pertama hari ini adalah Sastra Bahasa yang diajar oleh nyonya Laura.
“ kau tau tidak ? “ Tanya Deris lagi, menggeser kursinya lebih dekat kesampingku.
“ apa ? “
“ aku sempat bertemu nyonya Laura tadi pagi, katanya  sekolah  kita  mengadakan 
pentas Teather untuk acara Reuni akbar nanti.”
“owh.“  Jawabku singkat  tanpa menoleh ke Deris, sambil membalik-balikan 
halaman Buku cetak Sastra dimeja.
“ owh..??, kau cuma bilang Owh ?? “ Protes Deris. “ hey, kau ini kenapa sih ? “ 
“ tidak apa-apa, “ Kataku. “ aku hanya kurang semangat pagi ini.“
“ pasti karena kau kurang sarapan ya, kau hanya makan sereal dan susu  kan  ? “
Deris menebak,  dan  itu sungguh benar. Seperti kataku tadi, kami saling dekat 
sampai-sampai kebiasaanku dirumah hampir diketahuinya. Ya itulah tetangga. Aku 
tersenyum padanya karena tebakannya itu. “ ya, mungkin, tapi aku tidak akan 
kembali lapar sampai sore,  walau porsiku sedikit.”  jawabku  –  Memang aku cepat 
merasa kenyang, tapi karena aku hanya sarapan sereal, akibatnya aku kurang 
mendapatkan energi hingga begitu tak bersemangat.  Jadi kalau kau sering melihat 
iklan ditelevisi tentang sereal dan susu selalu bikin sema ngat dipagi hari, 
menurutku itu bohong besar. Tergantung dari kitanya juga sih,
Bel  dimulainya pelajaran  sudah berbunyi, nyonya Laura memasuki  kelas selalu 
tepat waktu. Beliau terlihat masih muda walau sudah memiliki seorang bayi, 
walaupun begitu tubuhnya tetap langsing dengan pakaian sopan khas seorang 
Guru, rambutnya disanggul serta memakai kacamata berbingkai coklat tua yang 
mengkilat karena cahaya lampu kelas.  Nyonya Laura datang dengan membawa 
setumpuk buku besar dan buku absen, buku-buku itu diletakan dimeja guru, 
sebelum akhirnya ia berdiri ditengah kelas dan mengumumkan sesuatu. Sesuatu 
yang akan menjadi penyebab hidupku ketakutan dihari-hari berikutnya.

******

2.
Nyonya Laura mendehem, memberi isyarat agar seluruh murid dikelas segera 
tenang untuk mendengarkan pengumuman yang akan dibicarakannya.
“ akan kuberi tahu sekali lagi, karena mungkin diantara kalian ada yang   sudah 
kuberi tahu tadi pagi.”  tegasnya, melirik setiap sudut kelas seperti sedang 
berpidato. “  sekolah  kita  mengadakan sebuah pertunjukan  teather, dalam rangka 
hari ulang tahun Graphyca serta reuni akbar akhir Desember nanti. “
“ waah asyiik !! .“  Seru  beberapa temanku dibarisan depan, namun sebagian lagi 
merasa biasa saja karena  mereka sudah mendengarnya tadi pagi, sama seperti 
Deris.
“  cerita apa yang akan ditampilkan nyonya Laura ? “  Tanya seorang  anak  laki-laki 
yang berbadan gemuk. “ apakah ada kru-kru ? “
“ tentu saja, “  Jawab nyonya Laura mengangkat kedua alisnya. “ tidak semua  yang 
terpilih  menjadi peran, hanya beberapa  anak, dan sisanya  baru  menjadi kru, tapi 
masalahnya..”
“ apa masalahnya ? “ kata laki-laki gemuk itu lagi memotong pembicaraan.
“ sekolah belum menyiapkan cerita yang pasti, jadi kebetulan sekarang jam 
pelajaran sastra bahasa, kalian hanya aku tugaskan untuk mengarang sebuah 
cerita  kalian sendiri,  temanya  bebas, siapa diantara kalian yang ceritanya bagus, 
akan aku jadikan cerita itu sebagai cerita opera  yang akan kita perankan nanti.”
jelas nyonya Laura.  “ tapi ini bukan sekedar untuk siapa yang akan lebih bagus 
mengarang cerita.., ini juga tugas kalian, kalian bisa kerjakan sekarang dan 
dikumpulkan besok lusa, - kalau tidak nilai kalian kosong dibuku absen.”
“ ini tidak adil nyonya Laura!“  Protes seorang anak perempuan yang duduk paling 
depan. “ masa hanya kelas kami yang menjadikan cerita ini sebagai tugas juga? “
“ tenang saja amel, “ Sahut nyonya Laura menenangkannya, semua kelas akan aku 
beri tugas yang sama, terutama kelas dua belas seperti kalian.”
“ bagus. “  Fikirku  –  aku belum pernah mengarang cerita, aku tahu sebenarnya 
mudah sekali untuk itu. Ayahku kan seorang penulis handal, aku bisa memohon-mohon kepada ayahku agar dituliskan sebuah cerita.  Tapi itu mustahil, ayahku 
sangat sibuk, saking sibuknya aku pernah meminta diberikan seorang adik,   namun 
ibu tak kunjung hamil.   Makanya aku sampai sekarang adalah anak tunggal  -  
Bukannya apa-apa, itu karena ayahku memang sibuk, tidak ada waktu untuk 
membuatkanku seorang adik.  lagipula, ayah juga akan menolak karena tahu ini 
tugas sekolahku, jadi dia tidak akan mau bila tugasku bukan aku sendiri yang 
mengerjakan.
Aku mulai bingung memikirkan tugas ini, aku memutuskan untuk melanjutkannya 
dirumah. Bukan  melanjutkan sih sebenarnya, tapi baru mau memulai untuk 
menulis dirumah. Karena selama pelajaran sastra bahasa tadi aku tidur dikelas. 
Nyonya Laura meninggalkan kelas karena ada urusan lain, memberi pesan agar 
kelas kami tidak berisik selama jam pelajaran.  Benar saja, kelas kami sangat sunyi
dan tentram  –  karena sebagian kecil dari  kelas kami  serius dalam mengarang 
cerita, dan sebagian besar dari  kelas  kami memilih untuk menulis dirumah saja, 
termasuk aku. dan kami memilih tidur dikelas pada saat itu. Masih ada waktu Lusa 
ini – fikirku.
Selang waktu beberapa jam, waktunya untuk pulang. Aku terbiasa pulang naik Bus 
karena ayah atau ibu tak mungkin menjemputku, aku melihat teman-temanku 
dijemput supirnya, bahkan orang tuanya sendiri.
“ idih.., udah besar  masih dijemput.”  Gumamku geli, memperhatikan mobil 
mereka yang melewatiku. Tapi aku juga iri terhadap teman-temanku yang pulang 
pergi membawa motor mereka sendiri.  sesampainya  aku di  Halte yang tak jauh 
dari sekolah, menunggu Bus  tiba. Namun, dari arah sekolah Deris datang dengan 
Vespa kuningnya, berhenti tepat didepanku berdiri, dan membuka Helm vespa 
yang bulat dengan warna yang serasi dengan Vespanya itu.
“ Senja.., masih nunggu Bus ? “  Tanya Deris sembari merapikan rambutnya yang 
berantakan karena helm. Aku hanya mengangguk, aku tahu dia akan mengajakku 
pulang bersama, memberi tumpangan dijok belakang.
“ pulang denganku saja yuk !? “ Ajaknya. Benarkan kataku. Adegan-adegan seperti 
ini sudah sering kami  lakukan  disaat Deris melihatku sedang menunggu Bus  di 
Halte. 
“ hmm, tidak ah..” aku menolak.
“ kenapa ? “  Tanya Deris lagi, memicingkan matanya karena silau matahari. “ kau 
gengsi ya.., diboncengi perempuan ?  –  hahaha”  Tawanya mengejek. Tetapi aku 
biasa saja karena kata-kata itu juga sudah sering terdengar  ditelingaku.  “ tidak 
apa-apa Senja.., jaman kan memang sudah berubah, ayolah cepat !!, panas nih “
Deris terus memberi tawaran. Aku tetap diam, sesekali melirik keujung jalan untuk 
memastikan Busnya sudah datang atau belum. Ternyata belum.
“ ayo dong, aku  tidak enak bila ibumu melihat aku pulang tanpa mengajakmu  “
Mendengar rengekan  Deris, akhirnya aku menerima ajakannya, sayang sekali aku 
tidak bisa mengendarai Vespa. Aku hanya bisa mengendarai motor biasa, jika saja 
aku bisa  –  aku akan terus meminta pada  Deris biar aku saja yang menyetir 
Vespanya.
******
Kemana  ibu  ?,  -  dirumah tidak ada orang, apakah ibu  kesalon tetangga  ?. atau 
sedang membantu nyonya Sinta untuk berjualan kue ? – fikirku. Memang biasanya 
setiap aku pulang sekolah dan tidak ada ibu dirumah, ia selalu mengatakan setelah 
kembali kalau dirinya habis dari  Salon tetangga  atau dari toko kue diseberang 
jalan komplek untuk membantu nyonya sinta, sang pemilik toko kue.   Ibuku dan 
nyonya sinta memang begitu akrab.  Sembari menunggu ibuku pulang, aku hanya 
makan siang dengan roti selai dan susu, kuambil susu kotak dari kulkas  dan 
membawanya kemeja makan.  teringat kembali dengan tugas nyonya Laura tadi, 
aku menghela napas. “ tidak bisa  tidur siang  hari ini.  “  –  aku memutuskan. Atau 
nyonya Laura akan marah dan nilaiku Nol.
Setelah makan siang, aku mengambil beberapa kertas bergaris dilaci meja kamar 
orang tuaku. Kertas-kertas ini biasa dipakai untuk ayah bekerja dikantor, tapi 
kurasa ini hanya kertas-kertas yang tersisa, jadi tidak masalah bila aku 
memakainya.  Aku kembali kemeja makan membawa beberapa kertas bergaris itu 
dan sebuah pena. Aku harus menyelesaikan cerita karanganku, aku harus bisa 
mahir menulis, jangan mau kalah dengan ayah  –  gumamku. Mengetuk-ngetukan 
pensil ke  meja. Tapi  cerita apa yang akan kubuat, aku mengkerutkan dahi, 
menggigit bibir bawah, melirikan bola mata  kesegala arah, memutar otak untuk 
menemukan ide cerita yang akan kutulis.
“ aku tahu !! “  Seruku bersemangat, aku akan menulis cerita  tentang waktu 
liburanku bersama ayah dan ibu pergi kerumah kakek-nenek didesa.
“  tidak..tidak..tidak..,“  Aku menggelengkan kepala. Itu adalah cerita anak-anak TK,
lucu sekali diacara Reuni Akbar Hight School menampilkan teather tentang 
keluarga yang berkunjung kerumah kakek-nenek. “ pffft…,”.
Sebenarnya aku tak begitu mengharapkan ceritaku ini terpilih untuk dipentaskan, 
aku hanya ingin membuat cerita agar nilaiku tidak kosong dibuku absen  –  Hanya 
itu.  Aku terus berpikir, cerita apa yang akan kubuat. Manusia serigala.., 
Pengembala Domba.., kehidupan planet Mars, atau manusia serigala  yang 
mengembala domba di planet Mars ?. ide buruk.
Aku bingung  –  apakah aku bisa menulis cerita yang panjang sampai besok Lusa ?. 
Kertas-kertas ini masih bersih tanpa coretan pena.  Aku tidak bisa seperti ayahku, 
memang aku tidak berminat untuk mengikuti jejak ayah  menjadi seorang penulis, 
aku lebih bercita-cita ingin menjadi seorang Fotographer.
“  waah  iya,“  Seruku lagi. “ kenapa tidak kepikiran dari tadi.”  aku ingat ibu 
menyimpan Koran-koran dan majalah tua digudang belakang. Sebagian dari 
majalah itu tersimpan cerita-cerita untuk anak remaja sepertiku. Aku sempat 
melihat-lihat majalah itu tempo hari. Bagaimana kalau aku menyalin saj a  cerita 
dari majalah tua itu.”  ya, ide bagus!  ”  –  kataku bersemangat. Aku tahu ini curang, 
tapi aku memang tak mengharapkan ceritaku terpilih untuk dikonteskan, sekali 
lagi.., aku hanya ingin nilai sastraku terisi. 
Greek !!,  -  suara pintu Gudang belakang  yang sudah tua, berderit disaat aku 
membukanya. Pintu itu terbuat dari kayu dengan engsel yang sudah berkarat. 
Ruangan gudang dirumahku ini jarang dimasuki oleh kami, keluarga kami. Kecuali 
bila ayah ada libur, ia selalu kegudang ini untuk mengambil beberapa barang 
bekas dan alat-alat tukang untuk membuat sesuatu, entah apa yang dibuatnya. 
Walau ayahku seorang penulis dan bekerja dikantor, dia juga berbakat menjadi 
kuli bangunan loh.., *lagi-lagi ayahku.
Aku mencari dimana majalah-majalah itu diletakan, gudang ini sungguh pengap, 
ruangnya remang-remang karena hanya disinari oleh satu bohlam kecil bercahaya 
kuning, disini juga banyak sekali debu, beberapa kali aku bersin sampai hidungku 
merah. Aku semakin kedalam  menelusuri beberapa Lemari reot untuk 
menemukan setumpuk majalah tua. “ nah, ini dia !! “ aku menemukannya.
Beberapa majalah kubuka dari halaman kehalaman lain, aku belum menemukan 
cerita yang kumaksud. Disini hanya ada gambar-gambar bangunan mewah dan 
beberapa selebritis saja. “ dimana sih ceritanya  ?? “  –  aku mulai kesal. Aku sudah 
berulang-ulang membuka halaman-halaman ini, aku juga lupa majalah apa yang 
dulu pernah kubaca. Cerita anak remaja itu.
Aku menyerah, tidak kutemukan, aku juga tidak tahan berlama -lama digudang ini. 
Begitu gerah, panas, debu-debu  yang berterbangan membuat hidungku semakin 
gatal, mataku juga sesekali terkena debu. “  aku harus bagaimana ?  ”  –  rintihku.
Sekali lagi aku mencari majalah lain, aku menemukan satu majalah dibawah lemari 
reot ini. Sepertinya ini Tabloid, - “ Baguus !! “ Biasanya Tabloid menyimpan banyak 
cerpen-cerpen karya anak muda. Aku akan menyalin salah satu ceritanya.  Begitu 
aku hendak mengambil tabloid itu, seekor tikus besar bercicit dan melompat tepat 
ke wajahku.
“ uwaaa !!! “  Aku  sangat terkejut, yang aku pegang adalah seekor tikus yang 
sedang berada dipinggir tabloid itu. tikus itu mecakar pipiku, untungnya tidak 
berdarah, tapi kagetnya minta ampun, aku melangkah mundur  karena panik, 
kakiku terpeleset debu dilantai dan jatuh kebelakang menghantam lemari reot 
yang lain  –  akibatnya, beberapa berkas-berkas, serta buku-buku tua terjatuh dari 
susunannya menimpa diriku. tikus itu pergi,  secepat kilat ia berlari kesudut yang 
lebih gelap.
“ haduuuh,”  keluhku, seraya membersihkan debu-debu yang menempel dirambut 
dan bajuku. “ dasar tikus brengsek!”
Aku hendak bangkit dari posisi jatuhku ini, ingin mengambil Tabloid itu. Namun 
sebuah berkas tumpukan kertas yang terjilid rapi jatuh  dari pangkuanku pada saat 
aku berdiri.  Aku memperhatikan buku yang dijilid itu,  buku itu masih bersih dan 
rapi, seperti masih baru dijilid.  aku mengambilnya  –  cover jilid berwarna hijau, 
hanya ada sekitar tiga puluh lembar.
“ ini seperti naskah  yang dicetak..,”  kataku. membuka cover hijaunya, ada tulisan 
besar di halaman utama.
-  TUGAS NASKAH TEATHER GRAPHYCA HIGHT SCHOOL. 21-DESEMBER-1994 
“KESATRIA ELANG DAN SINYORITA”. By : Angkasa Surrayhan. Kls : XII-D
“ woow !!,”  aku tak percaya. Ini naksah cerita teather milik ayahku.  Angkasa 
Surrayhan  adalah nama ayahku. Ternyata dia pernah menjadi seorang penulis 
naskah  untuk pertunjukan teather di acara Reuni akbar,  tahun dimana ayahku 
masih kelas dua belas.  Aku membaca sedikit cerita ayahku ini tentang kesatria 
elang, ceritanya sangat menarik,  tentang kesatria elang yang membela kebenaran
terhadap para perampok yang selalu mengganggu perdesaan.  Ia bertopeng 
dengan jubah merahnya.  Kesatria itu jatuh cinta terhadap seorang wanita 
bernama  Sinyorita. Namun ternyata  Sinyorita  itu adalah putri semata wayang si 
raja dari  anggota  perampok itu, padahal mereka sudah sangat saling mencintai, 
namun si raja rampok tidak mengizinkan mereka berhubungan. Satu syarat agar si 
raja rampok itu merestui cinta mereka  adalah, kesatria elang harus berhenti 
mencegahnya merampok desa,  bahkan kesatria elang harus menjadi anggota 
rampok tersebut. – dan seterusnya. 
“ ayah.., kau memang luar  biasa dalam mengarang cerita..”  gumamku kagum, 
mengingat wajah ayahku dikepala.  Aku akan menyalin ceritamu ini. ya, sekedar 
nilai sastra saja. Tapi masalahnya, apakah aku mampu menyalin sebanyak tiga 
puluh lembar sampai besok lusa.  Tidak, aku akan menyalin yang pentingnya saja. 
Kata nyonya Laura, semua mengarang cerita jangan terlalu panjang. Kecuali kalau 
cerita itu terpilih untuk dipentaskan, barulah diubah kembali menjadi naskah yang 
begitu panjang,  sampai akhirnya dipentaskan  di auditorium sekolah.  Mungkin, 
dulu ayahku juga mengarang cerita ini begitu singkat, tetapi karena cerita ayahku
yang terpilih,  ia diminta harus kembali merevisi ceritanya menjadi sebuah naskah 
dalam beberapa minggu – aku rasa begitu.
Keputusanku sudah bulat, aku benar-benar akan merangkum kembali cerita 
ayahku ini. Nyonya Laura tidak akan tahu, karena cerita ini sudah rampung sejak 
tahun 94’.  Aku lupa akan tabloid yang hendakku ambil, biarkan saja. Tabloid itu 
jadi mainan para tikus.
Sebelum aku keluar dari gudang ini, aku harus membereskan dulu buku -buku yang 
berjatuhan akibatku tadi. Ayah bisa marah kalau tahu gudang ini berantakan 
karena aku. Aku merunduk mengambil buku-buku yang berserakan, tapi aku 
terdiam, menahan napas dengan yang baru saja terjadi, aku melihat bayangan 
hitam yang menghampiriku dari belakang. Bayangan itu memantul didepan 
pandanganku. Aku tak  bergerak, mataku membelalak, terpaku menatap bayangan 
itu semakin besar, semakin medekat, suara langkah kaki juga terdengar jelas 
ditelingaku.
“ itu siapa ? “  Tanyaku cemas dalam hati. Ternyata aku tidak sendirian digudang 
ini. Jantungku berdegup kencang, menunggu apa yang dia lakukan dibelakangku.
Aku semakin takut melihat bayangan itu semakin dekat. Ia sudah berdiri 
dibelakangku, tangannya mencengkram bahuku.  Cepat-cepat aku membalikan 
badan dan dia memperhatikanku dengan marah.  Wajahnya penuh lendir kental 
berwarna putih, matanya melotot. “ Waah !! “ Teriakku. 

******

3.
“ Senja, kau sedang apa!? “  Ibuku baru saja pulang entah dari mana. Tapi masker 
putih yang berlendir diwajahnya  serta bandana  jingga  yang dipakainya  itu 
memperjelas bahwa ibuku habis dari Salon tetangga.  Aku menghela napas lega 
sekaligus gugup harus bilang apa ke ibuku.
“ ibu, bikin kaget saja, “  Kataku sedikit bergetar. “ kenapa ibu menyelinap 
kegudang tanpa memanggilku sih? ”
“ ibu  hanya memastikan itu kau,  ibu  dari  salon tetangga, hanya  ingin  maskeran 
wajah, tapi  ibu ingat sekarang sudah siang, ibu sadar kau akan pulang sekolah.”
Jelasnya seraya meratakan kembali cairan kental masker yang melekat diseluruh 
wajahnya.
“ tadinya ibu ingin kekamar mandi  untuk membersihkan masker ini  tetapi ibu 
melihat pintu gudang terbuka, langsung saja ibu kesini, dan ternyata kau –  sedang 
apa kau disini? “ desaknya lagi.
Aku memutar bola mataku, mencari alasan yang tepat untuk tidak ketahuan kalau 
aku akan menyalin cerita orang untuk tugas karanganku. Percuma bila  aku jujur, 
ibuku banyak tanya. Bila tahu, ia akan melapor ke nyonya Laura kalau cerita  yang 
aku tulis bukanlah karangannya. Tega sekali  bukan, untuk peran seorang ibu, 
tetapi aku paham, maksud ibuku hanya untuk anakanya mandiri dalam tugas, 
tidak curang dalam melakukan apapun untuk dirinya sendiri. Tapi untuk kali ini 
aku khilaf.
“ tadi disekolah,  guru memberi tugas untuk membuat soal dari buku ujian bu,”
Aku mulai mendapatkan alasan yang tepat.  “ aku kegudang hanya ingin mencari 
buku ujian lamaku ini, dan aku mendapatkannya”  Maksudnya, buku jilid naskah 
ayahku yang aku peluk erat, sengaja  untuk tidak memperlihatkan judul naskah itu 
– aku bilang ini adalah buku ujian lamaku.
“  hmm,  bagus, “  ibu tak curiga sama sekali, ia langsung percaya dan mengajaku 
keluar dari gudang.
Aku mulai merangkum beberapa adegan penting dari cerita Kesatria elang  ini
dikamar, kurasa aku akan selesai tepat tengah malam, Jadi besok aku bebas dalam 
tugas menulis. Jangan sampai ayah tahu  kalau karyanya ada yang menjiplak, dan 
dia adalah putranya sendiri, hihihi…, aku cekikikan tanpa bersuara.
******
Sudah saatnya aku  dan yang lain mengumpulkan hasil karangan kami masing-masing. Aku sedikit merasa bersalah kepada ayahku dan diriku sendiri, tetapi aku 
mencoba untuk tidak memperdulikan itu, lagipula  cerita ini hanya sekedar 
dikumpulkan, aku sangat  yakin bahwa cerita karanganku, maksudku karangan 
ayahku itu tidak akan terpilih,  karena sebenarnya aku juga kurang pandai dalam 
merangkum. Hmmm.. hebat ya,
“ aku berani taruhan,“  Kata Deris mencondongkan badannya mendekatiku. “ 
cerita Dodi yang akan terpilih. “
“ kau yakin ? “  Jawabku kurang percaya “ menurutku cerita Amelia ya ng akan 
dipilis untuk teather .“
“ hey, Amelia hanya jago membuat puisi ,“  Deris menyangkal. “ aku yakin, cerita 
Dodi yang akan terpilih, dia itu memang bakat menjadi penulis,  dia juga selalu 
menang kalau  ada lomba menulis. “  Aku hanya diam, tidak menghiraukan 
omongan Deris lagi ketika ia bicara soal Dodi  –  Dodi  itu  adalah teman sekelas 
kami, dia begitu sombong dan merasa dirinya  paling hebat, terutama dalam 
bakatnya menulis.  Memang  sih, Dodi sudah tiga kali ikut perlombaan mengarang 
dan selalu mendapat juara,  tapi  aku,  Deris  dan  beberapa teman yang lain  sedikit 
sebal padanya,  sampai-sampai dia jarang sekali bergaul. Tempat  Dodi berada 
dibarisan ketiga dari depan, tepat dibarisan kami. Tinggi badanya sama denganku, 
hidungnya gak kalah mancung namun pipinya lebih tirus, dia juga memiliki tahi 
lalat kecil di bibir bagian kanan bawah. Yang paling aku dan Deris tidak suka saat 
dia melirik orang, matanya selalu bergerak dari kepala sampai kaki orang yang 
diliriknya. Ya, dengan mata angkuhnya, Dodi itu memiliki sifat pendendam.
“ sudah kumpulkan semua ? “  Tanya nyonya Laura. Mengangkat tangannya yang 
memegang beberapa kertas hasil karangan para murid.
“ sudah nyonya, “ Jawab kami serempak.
“ bagus .“  –  nyonya Laura memeriksa hasil karangan kami, membaca satu-persatu 
dari semuanya. Ia memang memiliki keahlian dalam membaca ribuan kata-kata 
dengan waktu yang singkat, asal dalam keadaan sunyi. Makanya  kami sekelas 
disuruh untuk  diam, menunggu nyonya Laura selesai membaca semua. Ini benar-benar membosankan.
Aku melipat kedua tanganku dimeja, meletakan kepalaku untuk tiduran. 
Menunggu nyonya Laura selesai mengoreksi tugas-tugas kami. Beberapa anak lain 
melakukan hal yang sama denganku. Deris memainkan rambutnya  dan sesekali 
menciumnya.  bosan.., bosan.., bosan.., benakku. Sangat sunyi,  hanya terdengar 
jarum jam berdetak dan gurauan murid-murid kelas lain disebelah.
“ Senja,”  tiba-tiba nyonya Laura menoleh kearahku, memanggilku. Sontak aku 
bangkit dari sandaran kepalaku dimeja. Tanganya melambai-lambai memanggilku 
untuk maju kedepan, seluruh mata dikelas ini melirik kearahku.
“ ada apa ya ? “  Aku bertanya  pada Deris, namun ia hanya mengangkat bahu.   Aku 
maju menghampiri nyonya Laura yang duduk sigap ditempatnya,  memegang 
kertas karangan milikku itu. “ ada apa nyonya memanggil saya ? “ Kataku gugup. 
“ ini milikmu kan ? “ Nyonya Laura mengunjukan kertas itu didepan wajahku.
“ i.. iya, itu tugasku .“  Aku semakin gugup, kenapa hanya aku yang ditanya seperti 
itu, padahal tugasku ini bukanlah yang pertama untuk diperiksa. Apakah nyonya 
Laura tahu kalau itu adalah cerita karangan ayahku  ?, apakah nyonya Laura tahu 
kalau aku sudah berbuat curang ?, matilah  aku. nilaiku akan kosong, ayah dan ibu 
akan  tahu, mereka akan  marah dan menghukumku. Tidak,  -  aku melirik keseluruh 
sudut kelas. Semua mata menatapku, Deris,  bahkan Dodi yang menatapku paling 
tajam. Memperhatikanku dari ujung kepala sampai kaki.
“ Kisah  tentang Kesatria elang dan Sinyorita,”  nyonya Laura membaca judul itu 
dengan keras, suaranya sangat jelas sampai keseluruh ruang. “ ini  karya dari 
teman kalian Senja Surrayhan, “  Matanya sekilas meliriku. “    ceritanya ini sangat 
menarik, aku sudah memutuskan karya dari Senja yang kupilih, ceritanya akan 
segera kita pentaskan.”
“ apa !!? “  aku terkejut. Semua bertepuk tangan, Deris  bertepuk tangan sambil 
berdiri. Kulihat Dodi  diam saja,  semakin memandangku sinis. Nyonya Laura 
mendekatiku, merangkul bahuku penuh bangga.
“ aku suka karanganmu, kau mewakili kelas ini sebagai penulis teather  ditahun ini, 
aku minta  kau kembangkan lagi karanganmu ini menjadi sebuah naskah,” 
Jelasnya. “ Naskah yang panjang, kuberi kau waktu  beberapa hari  untuk 
menyelesaikannya, bagaimana ?”
“ terimakasih nyonya Laura, aku bisa “ Aku bergurau.
Nyonya Laura kembali berdiri ditengah kelas, seperti ingin mengumumkan 
sesuatu. “ cerita ini akan  dibuatkan naskahnya oleh senja, dan  aku  sudah 
menentukan, dialah yang akan menjadi pemeran utama diceritanya.”
Semuanya bersorak, kembali bertepuk tangan akan diriku yang langsung terpilih 
menjadi peran utama. Ya, si kesatria elang itu. Kembali kulirik Dodi memasang 
wajah yang  semakin benci padaku, ia menggretakan giginya –  seolah tidak terima, 
dia pikir, harusnya karangan dia yang terpilih . Sifat sombong dan sok hebatnya 
kambuh, menatapku penuh dendam.
Aku sendiri semakin bingung dan panik. “ kenapa harus aku nyonya ?? “ Protesku.
“ karena ini karanganmu kan ? ” balasnya. “ kurasa tokoh utama diceritamu sangat 
cocok denganmu, kau memiliki hidung seperti paruh elang. “ Canda Nyonya Laura, 
menyentuh-nyentuh hidungnya.
“ tapi, aku takut tidak bisa “. Kataku kembali gugup.
“  Hahaha.., kau aneh senja, kalau cerita ini karanganmu,  harusnya kau sudah bisa 
menjiwai setiap karakter diceritamu, apa jangan-jangan ini  bukan karyamu  ? “
Wajah nyonya Laura berubah curiga. Memicingkan matanya padaku.
“ oh tidak, ini karyaku kok, iya aku pastinya bisa berperan sebagai kesatria elang, 
mungkin aku hanya gugup tadi. “ Kataku penuh alasan.
Aku semakin merasa bersalah  –  Ini bukanlah karyaku, ayah memang benar -benar 
hebat sebagai penulis. Padahal aku tidak begitu bagus  merangkum ceritanya, 
tetapi dengan sinopsisnya yang menarik, tetap saja terpilih. Yang jadi masalah, 
bagaimana bila ayah tahu saat ia menonton pertunjukan itu ?, pastinya. Ayahku 
juga alumni Graphyca,  ia  akan datang saat acara reuni akbar nanti.  Aku tidak bisa 
membayangkan betapa kacaunya aku disaat ayahku tahu, disaat teman-teman 
seangkatan ayahku juga menontonnya, lalu mereka tidak terima, mereka protes 
kepada nyonya Laura sebagai guru sastra, dan nyonya Laura tidak akan pernah 
memaafkanku.  Aku harus tenang, itu tidak akan terjadi. Semoga saja.
******
Untung buku naskah berjilid hijau ini tidak aku kembalikan kegudang, aku 
menyimpannya didalam laci meja belajarku  –  jadi aku tidak usah repot-repot 
kembali kegudang untuk mengambilnya. Aku sudah punya rencana, kali ini aku 
tidak  akan menyalin cerita  ini.  Aku ingat  perintah nyonya Laura  tadi pagi, cerita 
yang terpilih kembali ditulis menjadi sebuah naskah. Ya.., menjabarkan setiap 
adegan yang kami rangkum.  Aku akan membawa buku jilid ini langsung ke nyonya 
Laura, halaman depannya kusobek  perlahan - yang tertulis nama ayahku itu. Tidak 
akan  ada yang tahu  kalau naskah itu sudah bertahun-tahun karena keadaan 
kertasnya yang masih bagus.  Aku meyakinkan diri, tidak ada yang akan menuntut, 
aku baru ingat kalau ayah pernah cerita bahwa sebagian besar teman-teman Hight 
schoolnya pindah keluar kota setelah mereka menikah, bahkan banyak juga yang 
keluar negri. Jadi kemungkinan besar angkatan ayahku tidak datang  keseluruhan
diacara reuni akbar. Huuuhh, sedikit lega rasanya.
Aku mencoba untuk lebih memahami ceritanya, agar nyonya Laura lebih yakin 
bahwa cerita ini adalah karanganku.  Agar aku bisa menjiwai peranku sebagai 
tokoh utama.  Halaman demi halaman kubaca pelan-pelan, kupahami  dengan 
serius, sampai aku tak sadar kalau  jendela kamarku terbuka,  angin  malam  yang 
masuk mengibarkan tirai  jendela kamar. Sesosok bayangan  hitam dengan kedua 
mata yang menyala terang, menatapku marah dari luar jendela.
Siapakah dia ??, mau apa dia ??.

******

4.
Angin yang masuk lewat jendela kamarku membuatku merinding. Hendak ingin 
menutup jendela, aku mendadak diam terpaku ditempat. Aku melihat sosok hitam 
itu, matanya menyala kuning terang, wajahnya gelap  – semuanya gelap. Tetapi dia 
tetap menatapku, rasanya aku ingin lari keluar kamar tapi aku juga penasaran, 
siapa yang sedang menatapku itu. Aku melangkah maju perlahan-lahan, 
mendekatinya.
“ hey.., siapa kau ? “  Kataku memberanikan  diri, semakin aku mendekatinya, 
kakiku semakin bergetar, dia terus menatapku  –  tanpa berkedip, tanpa bergerak 
sekalipun. Awalnya kupikir itu adalah sebuah benda atau pohon. Tapi aku yaki n itu 
manusia, sesuatu yang bentuknya benar-benar seperti manusia,
tapi siapa ?.
aku  semakin dekat dengan jendela, wajahnya masih saja gelap.  kuperhatikan 
bahunya perlahan naik turun  –  itu karena dia sedang bernapas, menderu-deru 
napasnya dengan cepat.
“ Deris, apa kau Deris ?? “ Kataku lagi. “ jangan bercanda Deris, ini gak lucu “ Ia tak 
menjawab, mata yang bersinar masih menatapku.  Angin kembali berhembus dari 
luar membuatku menggigil. Angin itu semakin kencang.., kencang dan bertambah 
kencang. Beberapa helai daun sampai terbang memasuki kamarku, deru 
hembusan angin semakin terdengar ditelinga seperti akan muncul badai.  Kamarku 
perlahan bergoncang, lampu yang menempel diatap, bingkai foto, serta  semua 
benda dikamarku bergetar, ini gempa bumi ??. Aku panik.
Sosok bayangan hitam itu masih terus menatapku, kali ini ia hendak berbicara, 
goncangan gempa membuatku sulit untuk menyeimbangkan tubuh, aku terduduk 
dikasur  –  masih merasakan getaran ini. Sulit rasanya aku lari keluar kamar. Sulit 
rasanya aku berteriak  minta tolong, suaraku seperti terkunci,  begitu  paniknya 
melihat sosok bayangan itu.
“ Jangan  pernah kau menjadi  tokoh utama selain aku,”.  Sekarang dia benar-benar 
mulai bicara.  Suaranya berat dan serak, seperti seseorang yang sedang sakit 
tenggorokan. “ jangan pernah !! “ Ulangnya lagi mengancam. 
“  apa maksudmu  ??, “  Perlahan-lahan aku mulai bisa bicara.  Seraya melindungi 
mataku dari debu dan daun kering yang melayang masuk kedalam kamar karena 
angin. “ apa yang salah, kau ini siapa ? “
Sosok itu  tak menjawab lagi, getaran gempa masih menggoyahkan isi kamarku. 
Aku meringkuk diatas kasur, memejamkan mata  -  menahan diri dari semua yang 
sedang terjadi.  Namun perlahan semuanya berhenti, tidak ada lagi getaran, tidak 
ada lagi angin yang berhembus masuk kekamar.  Aku menenangkan diri, tidak ada 
lagi sosok bayangan itu diluar   jendela, semua kembali normal, tetapi kamarku 
seperti kapal pecah. Benda berjatuhan, daun-daun kering berserakan  dilantai.
Sampai ibuku masuk kekamar, dan melihat semua kekacauan ini.
“  Senja, kau bicara dengan siapa ?,  apa-apaan ini ? “  Bentak ibuku membelalakan 
mata. melirik seluruh sudut kamarku.
“ ibu, tadi ada angin kencang disini, masuk kejendelaku,”  jelasku sambil 
memunguti daun-daun kering dilantai. “ tadi ada gempa bu !!”
“ gempa ?, ibu tidak merasakan ada gempa ? “ Sahut ibuku keheranan.
“ sungguh bu, dikamarku ada gempa, diluar ada seseorang yang misterius,  aku 
habis berbicara dengannya,  ”  aku menyangkal, meyakinkan ibuku. Namun ibu 
hanya menggelengkan kepala, melihat keluar jendela dan tidak apa siapapun 
diluar. Ibuku tak percaya, bertahun-tahun kami tinggal dirumah ini tapi belum
pernah ada kejadian misterius. Apalagi hantu.
“ bereskan  kamarmu,  dan cepatlah tidur sebelum ayahmu pulang “. Perintahnya. 
Sebelum ia kembali keluar dari kamarku.
Aku masih ketakutan, kakiku belum berhenti bergetar,  aku mencoba untuk cepat 
melupakan kejadian tadi, aku sadar ini bukan mimpi. Setelah  selesai 
membereskan kamarku seperti semula. Aku ingin cepat tidur lelap  tapi tidak bisa, 
aku membolak-balikan badanku dibawah selimut, merasa gelisah siapa  yang 
berdiri diluar jendela. ia berkata jangan pentaskan cerita itu tanpaku, jangan 
pernah  jadi pemeran utama selain aku,  -  maksudnya apa ?..,  siapa dia ?, mengapa 
dia berani-beraninya berdiri didepan jendela kamarku, mengundang gempa dan 
angin kencang.  Apakah seorang tukang sihir ?, lalu kenapa tukang sihir 
melarangku memerankan tokoh utama diceritaku itu. Tidak masuk akal,
Akupun  tidak habis pikir, terus menanyakan dalam benakku siapa dia ?. aku 
berpikir dan berpikir, adakah orang yang tidak suka jika ceritaku terpilih ?., atau 
tidak suka bila aku menjadi tokoh utamanya ?.
Sepertinya aku tahu. Aku bangkit  dari posisi tidurku, punggungku bersandar  pada 
dua tumpuk bantal dibelakangku.
“ Dodi,”  dia terlihat sangat membenciku disaat ceritaku terpilih, disaat aku 
menjadi tokoh utamanya.  Sebenarnya aku tidak ingin berperasangka buruk dulu 
terhadap Dodi, tapi selama ini dia terlihat  sangat membenciku, hanya dia.  Tapi, 
bagaimana bisa dia berdiri diluar jendela dengan mata menyala, menciptakan 
gempa dan angin  ribut ?. apakah Dodi membayar seorang Dukun untuk 
mencelakaiku ?.

******

5.
Hari ini aku kepagian, karena ayah kedatangan tamu  dari luar negri dikantornya. 
aku sampai disekolah setengah jam sebelum bel masuk berbunyi. Belum ada 
banyak murid-murid yang datang, hanya beberapa  –  masih bisa kuhitung jumlah 
mereka dikoridor. Aku langsung menuju kekelas, teman-temanku belum datang 
semua, termasuk Deris. Mungkin, sebentar lagi juga ramai.., kataku.  tetapi aku 
melihat seorang laki-laki  berbaju garis merah dan hitam  sedang duduk melamun 
dikursi paling belakang, 
Siapa dia ?, gumamku. Menghampiri orang tersebut.
“permisi,”  sapaku,  membuyarkan lamunannya. Ia menoleh kearahku dan 
tersenyum.
“ hmm.., kau murid kelas ini ya ? “. balasnya sangat ramah.
“ iya benar, kau anak baru disini ?”. tanyaku lagi
“ ya, namaku Ali  Fathir,  aku pindahan dari kota seberang, mulai hari ini aku 
sekolah disini .“  Katanya, seraya mengulurkan tangan untuk berjabat denganku. 
Aku membalasnya.
“ aku Senja Surrayhan, apa kau sudah bertemu dengan guru-guru lain disini?”
“ ya, tadi pagi nyonya Laura yang mengantarkanku ke kelas ini, dia menempatiku 
dikursi paling belakang karena memang hanya kursi  ini  yang masih kosong. “
Jelasnya.
“ bagus, “  Kataku. sambil meletakan ransel dikursiku. “ ini dia kursiku, tepat 
didepanmu, dan teman sebangkuku adalah Deris, dia temanku yang paling baik, 
dia juga anak perempuan yang manis”.
“ oh ya ?, bisakah kau memperkenalkan Deris padaku nanti ? “ Pintanya.
“ tentu saja,  kami semua disini sangat ramah,  kecuali  satu anak yang bernama…”
Aku berhenti bicara.
“ siapa ?” tanya Ali penasaran, matanya sangat serius menunggu jawabanku.
“ Dodi,”  bisikku mendekati telinga Ali. “ ia duduk di barisan  ini, barisan ketiga dari 
depan,  dia itu sombong, sok hebat, bahkan kita saling  membenci –  dia juga sudah 
mulai berani untuk mencelakaiku.  ”  ya ampun, sebenarnya apa yang aku lakukan 
itu tidak baik, mengajak orang lain untuk  membenci seseorang yang sama sekali 
belum bertemu. Tapi aku sudah terlanjur membenci Dodi, teringat kejadian 
malam itu, beraninya ia membayar dukun hanya untuk menyingkirkanku dari 
pentas teather.
“ memangnya, kau dengan Dodi bermusuhan ? ” tanya Ali padaku.
Aku mengangguk perlahan. Mengangguk penuh penyesalan, karena awalnya aku 
tidak ingin punya musuh disekolah. Tapi apa yang Dodi rencanakan ini sudah 
kelewatan.
Sambil menunggu yang lain datang. Aku berbincang-bincang sedikit  dengan Ali, 
ternyata dia mempunyai selera humor  yang tinggi, baru beberapa menit kami 
berkenalan, perutku sudah sakit dibuatnya tertawa terus-menerus.  Ali seumuran 
denganku, ia memiliki telinga yang agak lebar, hidung mancung dan lesung pipi 
yang terlihat  manis  disaat ia tersenyum, aku sedikit iri dengan gaya rambutnya  –
hitam lurus kedepan dengan jambul yang sedikit mencuat dibagian dahinya. Ali 
masih memakai pakaian bebas, sweater  panjang  belang-belang  antara warna 
Merah dan hitam, celana jeans belel hitam dengan empat saku di sekitarnya, serta 
sepatu kets biasa yang banyak dijual dipasaran.
“ jadi kapan kau mendapatkan  seragam sekolahmu ? “ tanyaku,  memperhatikan 
pakaian Ali.
“ kata nyonya Laura, persediaan seragam sudah habis di tata usaha, perlu waktu 
sebulan untuk memesannya kembali.”
“ berarti, selama sebulan kau memakai baju bebas disekolah ini ?, kenapa tidak 
kau pakai saja seragam sekolah lamamu ? “ Usulku – Ali menggelengkan kepala.
“ sudah sempit, mau tak mau aku akan memakai baju bebas selama sebulan disini, 
tak peduli bila ada orang yang mengganggu “.
Beberapa menit berlalu satu-persatu temanku mulai masuk kelas. Kelasku  mulai 
ramai, Ali sudah berkenalan dengan Deris serta yang lainnya.  Aku menunggu Dodi 
datang dan ingin sekali melabraknya. Aku sudah menceritakan kejadian ini pada 
Deris juga. tapi sayang sekali, Dodi absen hari ini, entah karena apa dia tiba-tiba 
tak masuk sekolah,
Sebenarnya  jam pelajaran pertama hari ini adalah matematika , dibawah 
bimbingan Tuan Samuel, tetapi nyonya Laura meminta izin padanya  –  mengambil 
sedikit waktu untuk mengumumkan siapa yang akan menjadi peran Sinyorita, 
Deris.., ya, dialah yang memerankan tokoh Sinyorita itu. Aku sangat bahagia, 
karena teman dekatku itu  menjadi peran yang sangat dekat pula dengan tokoh 
utamanya.  Namun sepertinya Deris kurang menerima kenyataan, wajar saja.., dia 
adalah  cewek  tomboy, lebih tertarik dengan cerita perang-perangan dari  pada 
cerita dongeng, lebih suka dunia otomotif terutama  Vespa dari  pada Vasion.  Aku 
juga tak mengerti mengapa nyonya Laura memilih Deris sebagai Sinyorita. 
Ada dua kemungkinan.., yang pertama  –  karena nyonya Laura tahu Deris adalah 
teman dekat sekaligus tetanggaku, jadi supaya kami berlatih peran dengan 
mudah,  atau yang kedua  –  nyonya Laura ingin melihat Deris berlagak seperti 
seorang putri yang feminim.  aku tak tahu, apapun alasannya aku sangat senang. 
Hampir saja Deris protes untuk perannya itu tapi aku mencegahnya, karena aku 
sendiri sudah lama ingin sekali melihat Deris memakai kostum yang anggun.
Begitupun tokoh-tokoh yang lainnya, sudah ada yang memerankan dari kelas lain. 
Dikelasku adalah murid terbanyak yang ditunjuk sebagai kru, mereka ditugaskan 
untuk mengoperasikan kamera video dan foto untuk dokumentasi, menata lampu,
penata musik,  dekorasi background dan benda yang diperlukan, serta pencari 
kostum dan tukang make-up.  Ali  juga  dipilih oleh nyonya Laura sebagai penata 
lampu  membantu Dimas, dan dua orang lagi dikelas sebelah.  dengan senang hati 
Ali menerima tugasnya itu.
“ Dodi, dimana Dodi  ? “  Tanya nyonya Laura, melayangkan pandangannya 
kesegala arah.
“ Dodi absen nyonya Laura. “ Kata salah satu murid didepannya berdiri. 
“ sayang sekali,”  gumam nyonya Laura. “  padahal aku menugaskan dia sebagai 
pembawa acara dipentas, lagipula aneh sekali tiba-tiba ia tidak masuk hari ini.”
“ kenapa aneh ?” sambung Deris
“  ya, baru semalam aku bertemu dengannya   bersama seorang kakek tua yang 
agak aneh,  dijalan bukit blok-B, ia memakai jaket berkapucong serta semua 
pakaian berwarna hitam,”  jelasnya. “ ketika aku menyapanya, ia menjawab  baru 
saja pulang  dari rumah  saudara mereka  yang tinggal dijalan itu,  apa Dodi 
mendadak sakit ?” tanya nyonya Laura lagi, beberapa murid mengangkat bahu.
Yang  benar saja, aku memekik  kaget dengan pernyataan nyonya Laura tentang 
Dodi. Baru saja  dia berkata semalam bertemu Dodi dengan pakaian serba hitam, 
dengan kepala yang ditutupi kapucong jaketnya, ia bersama seorang  kakek tua 
yang tampangnya aneh  –  bicara pada nyonya Laura  kalau  mereka dari rumah 
saudaranya yang tinggal di jalan bukit blok-B.
Ya ampun.., jalan bukit blok-B itu kan jalan menuju arah rumahku.

******

6.
Jadi, yang semalam telah menakut-nakuti aku adalah Dodi ?, ia berpakaian serba 
hitam,  mata yang menyala serta gempa dan angin kencang itu perbuatan makhluk 
halus peliharaan seorang kakek yang telah bersamanya,  dan kakek itulah 
Dukunnya. Keterlaluan, aku tidak boleh diam saja, tapi aku harus apa ?.
Aku harus melaporkan ini ke nyonya Laura,  atau aku mengalah, mengundurkan 
diri ?. Tidak, itu bisa,  Aku tidak mau nyonya Laura merasa curiga sedikitpun 
tentang kecuranganku.  Nyonya Laura  sangat peka terhadap pikirian setiap orang, 
dan aku tidak akan mampu  untuk menganalisa alasan-alasanku sendiri.  Lebih baik 
aku memohon pada Deris dan Ali agar membantuku melawan semua ini, 
menghentikan aksi Dodi  yang sudah berani bermain dengan dukun dan hantu-hantu peliharaannya. Ya, aku tidak akan kalah,  aku harus lebih waspada  -kejahatan tidak akan pernah menang.
Sepulang sekolah, semua murid yang mendapatkan peran cerita itu beserta para 
kru diwajibkan berkumpul di ruang Auditorium, tempat dimana pentas itu akan 
diselenggarakan. Seperti ruang Auditorium pada umumnya, begitu kami membuka 
pintu kaca ruangan ini,  kami mendadak menggigil  –  karena beberapa AC disetiap 
sudut ruang dinyalakan, tempat ini redup karena memang sedang tidak dipakai. 
Yang terang hanyalah bagian panggungnya. Panggung itu  besar berlantai kayu 
dengan tirai merah raksasa yang menutupi sebagian latarnya. Lampu-lampu 
panggung menggantung diatas  dan kursi-kursi penonton yang empuk berwarna 
merah tua berjejer didepannya. Kursi ini seperti tribun  berkapasitas tiga ratus 
orang, sama persis disaat kita pergi kebioskop,
Kami semua duduk di barisan kursi penonton, paling depan tentunya. Nyonya 
Laura berdiri didepan kami untuk memberikan sebuah instruksi sebelum latihan 
pertama dimulai.
“ kalian wajib latihan setelah pulang sekolah, kecuali hari kamis dan Jumat, pihak 
sekolah akan menyiapkan  semua  alat dekorasi dan artistiknya, kalian hanya
tinggal bekerja dan berlatih, mengerti ? “
“ mengerti nyonya Laura!“ Jawab kami serempak.
“ siapapun tolong beri kabar ini kepada Dodi ya,” lanjut nyonya Laura. “ karena dia 
sudah aku tentukan sebagai pembawa acara bersama Rossa.”  nyonya Laura 
melirik ke  Rossa. Perempuan bermata lentik itu hanya tersenyum dan 
mengangguk.  “ kita hanya punya waktu latihan  dua minggu,  sisanya persiapan 
proposal untuk bazar dan game,  aku mau kali ini teather di acara ulang tahun 
Graphyca begitu spektakuler.., jangan mau kalah dengan senior-senior kalian, 
apalagi tahun ini juga tahun Reuni  akbar, jangan kecewakan saya, “ Tegasnya. “ 
kalian paham ? “
Semua sepakat menyetujui, termasuk  aku.  tapi ingatan tentang Dodi yang akan 
mencelakaiku tidak hilang, raut wajahku tak begitu semangat seperti yang lain.
“ kau harus siap menjadi feminim Deris. “  Kata Ali menggoda Deris, kami duduk 
berdekatan dikursi auditorium.
“ apa sih, kau  tahu apa tentangku ?  ”  balas Deris  jengkel.  Aku sedikit tertawa 
melihat tingkah mereka berdua.
******
Hari ini begitu melelahkan,  pulang sekolah sangat sore karena latihan pertamaku 
sebagai kesatria elang.  Aku terbenam dalam selimut menatap langit-langit  yang 
membentang diatasku. Sunyi, hanya itu yang aku rasakan dikamar ini. Ayah dan 
ibuku sudah tidur lelap. Aku melirik jendela, jendela itu sudah kutut up rapat –  aku 
hanya memastikan tak ada lagi sosok bayangan yang berdiri diluarnya.
Semua aman..,
Mataku  mulai berat, rasa kantuk ini sudah tidak bisa kutahan lagi. Aku
memadamkan lampu,  memeluk guling dan hendak tertidur.  Merasakan ada 
desiran angin melewati leherku, aku mengusapnya  karena  dingin. Kurasakan bulu 
kudukku berdiri. Kenapa tiba-tiba aku merinding begini sih ?, pikirku.
Sedikit hatiku mulai gelisah, mataku tetap terpejam namun belum terlelap. Aku 
mendengar suara-suara bisikan yang pelan dan sangat lembut, suara bisikan dekat 
sekali dengan telingaku. Semakin jelas, semakin terdengar,
Suara itu memanggil-manggil namaku. 
Aku membuka mata, tetapi tak berani bergerak  dari posisi tidurku. Kupasang 
telinga untuk menegaskan suara itu, masih ada, masih berbisik dekat ditelingaku, 
jelas namun samar-samar  –  nada bisikannya seperti orang yang sedang 
menghasut.
“ ~senjaa.., jangan pernah  menjadi tokoh utama selain aku,”  bisikan itu terus 
berkata. “ jangan ambil peranku.., jangan pentaskan cerita itu tanpaku senja ..,”
Aku bergidik ngeri mendengar kata-kata itu muncul lagi. Kurasakan sesosok hitam 
sudah berada di sampingku, diatas kasurku. Aku tak berani bergerak, aku terus 
memeluk guling membelakanginya. Suara itu terus memanggil-manggil namaku. 
Aku memberanikan diri, perlahan-lahan aku menoleh kebelakang. aku melihat 
wajah sosok itu.
“ Dodi..!!? “  Itu Dodi dengan pakaian serba hitam, namun wajahnya pucat. 
Matanya menyala.  Bagaimana bisa Dodi menjadi seperti hantu,  ini semua karena 
bantuan Dukunnya.  “  Dodii.., apa yang kau lakukan, kau ingin membunuhku ?, 
cukup sudah !! “ Bentakku.
tatapan kami sangat dekat,  Dodi  menggeram seperti harimau yang menangkap 
mangsanya. Aku hendak berteriak tapi dia sudah mencekik leherku, sangat 
kencang, mataku melotot, mulutku menganga mencari napa s – namun sia-sia. Aku 
berontak  ingin melepaskan diri,  Dodi  sangat kuat mencekik leherku, tangannya 
sangat dingin. 
Sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi, aku pasrah.., aku merasakan darahku akan 
berhenti mengalir, denyut nadi dileherku seperti akan meledak karena tertahan 
oleh cekikannya. Pandangan mataku mulai gelap, jantung dan pernapasanku 
melemah, sangat terasa – sepertinya nyawaku sudah sampai tenggorokan.
Dodi  masih terus mencekikku, seraya berkata “  harusnya aku yang memerankan 
tokoh utama, bukan kau senjaa !!, bukan kau !! “.   Aku  sudah tidak mampu 
melawan, sekujur tubuhku terasa tidak berfungsi lagi. 
Aku mati..,

******

7.
Ponselku  berdering,  aku terbangun karena kaget. Seluruh tubuhku berkeringat, 
jantungku berdebar kencang, aku melirik jam dinding masih menunjukan pukul 
dua dini hari, - aku baru saja mimpi buruk.
“ siapa sih yang mengirim pesan malam-malam begini ? “  Kataku kesal, seraya 
mengucek-ucekan mataku menatap  layar ponselku. Hanya Operator , mereka 
berpesan untuk segera isi ulang pulsa. ah biarkan saja,  pesan ini sudah sering 
kubaca. aku adalah tipe orang yang jarang membawa ponselku kemana-mana, jadi 
aku sudah tidak lagi membeli pulsa. aku lebih sering menggunakan telepon 
rumahku untuk menerima atau menghubungi teman-temanku dan saudaraku.
Kalau disekolah, aku selalu mengirim pesan kepada  ibuku lewat  telepon sekolah, 
ponsel Deris atau teman-temanku yang lain. Ya, dikelas aku terkenal selalu 
“Numpang pulsa”. bahkan Deris pernah dimarahi ayahnya karena pulsanya yang 
boros, itu salahku.., Deris lupa memakai paket kartu  ponselnya, tapi aku telah 
meminjam pulsanya untuk menghubungi ibuku agar mengantarkan  seragam
olahraga yang tertinggal dirumah – Sampai pulsanya habis.
Biasanya aku selalu tertawa sendiri setiap ada pesan dari operator untuk segera isi 
ulang, selalu  teringat disaat Deris kesal denganku karena pulsanya kuhabiskan.
Tapi kali ini berbeda, aku tak merasa itu  lucu, bahkan aku merasa ketakutan akan 
mimpiku barusan. Dodi, kenapa dia datang dimimpiku, mencoba untuk 
mencekikku, ini semua akibat aku memikirkan Dodi seharian, jadi terbawa m impi. 
Ya, itu benar..,
******
Hari  kedua  latihan,  berlatih  dengan mencoba memakai kostum.  aku  mulai  sedikit 
lihai dalam menjiwai peranku, aku terlihat gagah dengan jubah merah dan Topeng 
kesatria elang ini  –  topengnya  tidak menutup wajahku seluruhnya, hanya bagian 
kepala sampai hidung. sedangkan  mulut, dagu dan sebagian kecil pipiku tetap 
terlihat. Begitupun Deris yang memerankan tokoh Sinyorita, hari ini dia tampak 
berbeda sekali dengan sifat yang memperagakan  perannya. Ia memakai gaun 
coklat muda dengan bagian rok yang mengembang. Rambutnya dikepang teruntai 
kedepan bahunya, serta hiasan bunga-bunga yang melingkar dikepala.
“ kau  ini  benar-benar Deris ? “  Kataku,  pangling  saat melihatnya dari dekat.  Baru 
kali ini aku  melihat Deris memakai gaun, biasanya kalau dirumah tidak pernah 
yang namanya memakai rok.
“ jangan ngeledek deh! “ Cetusnya.
“ aku serius, kau cantik bila didandani seperti ini.”  balasku terpukau. Deris hanya 
tersenyum  ge’er. Aku bisa melihatnya, pipinya  berubah merah merona disaat aku 
mengatakan dia cantik. Ternyata cewek tomboy bisa juga merasa tersanjung,  -gumamku dalam hati.
“ chiee.., “  Ali menggodaku dan Deris, ia datang dan berdiri dibawah panggung 
memperhatikan kami, kedua tangannya  memegang  gulungan  kabel dan 
mengulurkannya kembali.
“ Ali, apaan sih ? “ Kata Deris.
“ tidak apa-apa,” Balasnya “ yasudah, kenapa kalian memperhatikanku, sana 
lanjutkan, haha…,”  Ali mengatur kabel-kabel lampu  itu  kembali  menuju kearah 
sudut samping panggung. 
Rencananya aku akan menceritakan mimpiku semalam kepada Deris dan Ali, kami 
akan pergi kerumah Deris begitu latihan selesai. aku  sudah  bilang pada nyonya 
Laura tentang masalahku dengan Dodi, dia ingin mencelakaiku, hanya karena tidak 
suka aku menjadi peran  utama.    tadinya aku  ingin sekali melabrak Dodi tapi hari 
ini Dodi tak masuk lagi, nyonya Laura juga tidak percaya tentang apa yang aku 
katakan  –  ia bilang, Dodi  merasa biasa  saja  tidak ditunjuk sebagai tokoh utama. 
aah…, omong kosong,  dia bicara seperti  itu hanya didepan nyonya Laura  –  fikirku. 
Buktinya mana, sudah dua hari Dodi tak masuk sekolah dan ikut latihan tanpa ada 
keterangan, hanya Rossa sendirian yang berlatih membawakan acara. pasti dia 
tahu aku akan melabraknya atau  dia  sedang mempersiapkan rencana lain untuk 
menggangguku.
Separah  itukah Dodi dendam denganku ?, memang itulah sifat buruknya.  Aku 
tidak akan mundur, Deris dan nyonya Laura juga pasti akan kecewa bila aku 
mundur.
“ ayo mulai lagi! “ Perintah nyonya Laura.
Aku dan Deris bersiap-siap  dalam posisi kami, masing-masing memegang naskah 
yang sudah dicopy untuk berlagak dan berdialog.
“ Sinyorita, aku tak menyangka kau adalah gadis dari raja rampok itu. “  Kataku 
dengan nada yang dramatis,
“ aku, tahu kau cinta padaku,”  balas Deris memperagakan tokoh Sinyorita. “  aku 
juga begitu denganmu, tapi lebih baik kita berpisah saja, aku tidak mau kau
menjadi anggota rampok ayahku, kau harus tetap berbuat baik, elang.”
Aku  terdiam, tidak melanjutkan dialogku untuk menimpali Deris, pandanganku 
terpaku kearah barisan kursi penonton. Deris heran melihatku, ia melirik kearah 
dimana aku memperhatikan itu – lalu kembali menatapku.
“ cuut !!, “  Teriak nyonya Laura, membuyar lamunanku. “ kenapa senja ?, kau 
masih ada beberapa bait, jangan melamun! ” 
“ iya, maaf nyonya .“ sesalku
Selang waktu  sesudahnya,  latihan kami hari ini selesai, aku cukup  bangga  karena 
baru dua hari, acting kami sudah meningkat.    Aku ingat dengan sosok hitam  yang 
terus memperhatikanku dari tadi, dia masih disana,  menatapku dengan mata 
menyala terang.  Semua sudah bergegas pulang, nyonya Laura sudah keluar dari 
ruangan ini. aku masih penasaran dengan sosok itu.
“ hey Senja.., yuk pulang,  katanya mau kerumahku “. Deris sudah melepas kostum
perannya,  mengajakku  datang  kerumahnya bersama Ali.  “ tapi aku tidak melihat 
Ali, dimana sih anak itu ? “
Aku tak merespon  apa yang dikatakan Deris. Aku tetap memperhatikan sosok itu 
dari kejauhan, kupicingkan mata dalam pandangan kegelapan  auditorium. Aku 
yakin itu Dodi, dia sedang memata-mataiku. Ya itu Dodi..,
“ hey Dodi..!! “  Aku  sigap menghampiri dia, ke arah pojok belakang kursi-kursi 
penonton. 
“ Dodi ?, dimana Dodi ? “  Kata Deris keheranan melihatku.  Tapi aku tidak 
memperdulikannya.  sosok itu masih berdiri disana,  ingin  rasanya  kupukul  dan 
kulabrak habis-habisan jika sudah dihadapannya.
“ Dodii !!, tertangkap kau !!”

******

8.
Itu bukan Dodi, itu bukan hantu, itu adalah patung busana. Aku merasa kacau, tapi 
aku yakin disini ada sosok hitam itu, apakah  aku mulai berhalusinasi tentang Dodi
– aku merebahkan diri dikursi penonton didekatku. Aku bingung. 
“  Senjaa.., “  Deris menghampiri. “ kenapa sih kau ini, dimana Dodi ? “  aku 
menunggu napasku tenang kembali, bersandar dikursi penonton. Tanganku 
mengunjuk ke patung busana itu.
“ kau berhalusinasi senja, aku paham kok, tentang sosok yang kau bilang itu Dodi.“
Kata Deris. “ lagipula, siapa sih yang meletakan patung busana disini ? ”
“ siapa lagi kalau bukan anak kostum. “ Jawabku. “ tapi aku yakin, dia berdiri tepat 
didepan patung ini, menghalangi patung ini, matanya menyala.”
“ yasudah, sekarang kita cari Ali, setelah itu langsung kerumahku .“  Ajak Deris 
menarik tanganku keluar auditorium. Sekali lagi aku sangat yakin kalau tadi benar-benar sosok yang pernah berdiri diluar jendelaku, yang datang dimimpiku dan 
mencekikku, yang ternyata itu Dodi  –  gumamku.  Dia hilang disaat aku 
mendekatinya. Dan aku mulai sadar, sosok itu telah mengikutiku kemana saja.
Sebelum pulang kami  mencari Ali dulu, aku mengajaknya kerumah Deris untuk 
berlatih memperdalam dialog  kami, sekalian ingin menceritakan ke  mereka 
tentang mimpiku semalam. sementara  Deris mencari Ali kekelas, aku pamit 
ketoilet karena ingin buang air kecil, wajahku meringis merasakan air seniku 
mengalir.  dari tadi aku tidak sadar kalau aku sudah kebelet, saking hebohnya 
dengan sosok yang menatapku dan menghilang ditengah kegelapan.
Lagi-lagi  aku merasakan ada yang perlahan mendekatiku tanpa membuka pintu 
toilet.  Apa-apaan sih.., sampai ditoiletpun aku tetap diikuti  –  fikirku.  Aku diam 
sejenak, menunggu  langkah  itu semakin dekat. Tak ada suara,  hanya langkah kaki 
yang perlahan menghampiriku.
Sebenarnya aku takut, tapi kali ini aku mencoba untuk tenang. Begitu dia mulai 
mencengkram bahuku, aku  harus cepat berbalik untuk  kembali  mencekram 
bahunya.
“ kena kau Dodi !! “  Geramku. Ternyata itu Ali, dia berteriak ketakutan sedangkan 
aku berteriak kaget karena dia berteriak. Kita sama-sama berteriak. 
“  Ali !!? “  aku langsung melepaskan cengkramanku dibahunya. “ kau bikin  panik
saja!”
“ yaah.., tadinya aku ingin mengagetkanmu dari belakang, tapi kau sudah tahu 
duluan. “ Katanya kecewa.
“ jelas saja aku tahu, aku mendengar langkah kakimu, “  Bentaku kesal. “ tapi sejak 
kapan kau masuk ketoilet ? “
“  sejak  tadi, “  Jawabnya nyengir. “ saat kalian masih latihan, perutku sakit sekali, 
sudah tiga kali aku  mondar-mandir ke WC.  baru saja  aku selesai, lalu  aku 
melihatmu sedang buang air kecil. “
“ owh.., “ Jawabku jutek.
“ makanya jangan terlalu banyak melamun, dari tadi ku perhatikan kau bertingkah 
aneh, “  Serunya lagi.  “ dan ngomong-ngomong, punyamu besar juga  yah!  ”  ali 
melirik kecelanaku, ia tertawa terbahak-bahak.
Ya ampun, aku lupa menutup resleting, dan membiarkan isinya  mencuat keluar 
dari  celana. Aku lupa kalau aku habis buang air kecil. rasa kesalku berubah 
menjadi malu, untung saja Ali yang melihat ini – bukan Deris.
“ owh.., maaf !! “  Kataku, cepat-cepat membetulkan celanaku. “ yasudah cepat 
kita kerumah Deris, kasihan dia mencarimu kemana-mana. “
“ baiklah.., hahaha “ Ali masih saja tertawa.
“ tidak Lucu !!”.
******
Kami sampai juga dirumah Deris, aku dan  Ali naik Bus berdua karena Deris 
mengendarai Vespanya dan sampai duluan. Deris mempersilahkan kami masuk 
dan duduk disofa ruang tamu,
“ aku akan membuatkan teh dan mengambil beberapa kue..,”. kata Deris 
kepadaku dan Ali. “ sebentar ya! “
Sebenarnya Deris mempunyai seorang asisten rumah tangga, tapi  ia jarang 
menyuruhnya macam-macam, Deris adalah perempuan yang mandiri. Asisten 
rumah tangganya hanya sibuk merawat adik laki-laki Deris yang masih berusia 
delapan bulan  selama orang tuanya  bekerja, nama  adiknya  Taufan.  –  terkadang 
aku suka bermain kerumah Deris hanya untuk bercanda dengan Taufan, ia sudah 
kuanggap sebagai adikku sendiri. Seperti yang sudah kubilang, aku ingin sekali 
memiliki adik tapi ayah  terlalu sibuk,  tak ada waktu untuk berbulan madu  dengan 
ibu.
“ dimana Taufan? “  Tanyaku, saat Deris kembali membawa nampan dengan 
kaleng kue kecil dan tiga gelas berisi jus jeruk.
“ dia  sedang mandi bersama bibi una. “  Jawabnya  seraya meletakan gelas-gelas 
dan kaleng kue -  bibi Una.., nama asisten rumahnya itu.
“silahkan diminum,”  Tawar Deris. Mengabil minumannya dan duduk disampingku. 
“ setelah itu ceritakan tentang mimpimu semalam, Senja.”
“ baiklah, kurasa kita tidak perlu berlatih dialog lagi, kita kan sudah bisa.”  kataku 
pada Deris,  ia mengangguk dan menunggu ceritaku.  Sedangkan Ali sibuk 
mengunyah kue kecil, sudah lebih dari tiga kue ditelannya.
Sebelum aku menceritakan mimpiku, Deris melirik Ali dan bergurau dengannya.
“ hey Ali, kuenya enak ya ? “  Ali hanya mengangguk, mengacungkan jempolnya 
karena mulutnya tak bisa bicara – penuh dengan kue. 
“ ngomong-ngomong, kau selalu memakai sweater bergaris merah hitam. “  Tanya 
Deris lagi pada Ali.  aku ikut melirik pakaiannya.  “ aku tahu kau belum memiliki 
seragam, tapi kenapa kau suka sekali memakai sweatermu itu ? “
Ali mencoba untuk menelan cepat semua kue yang dikunyah. “ aku punya sweater 
ini selusin, semuanya sama persis  dan aku memakai sweater yang sama setiap 
hari, kenapa.., kau ingin membelinya ? ”
“ tidak.., “ Tolak Deris. “ aku hanya ingin bertanya.”
Aku tertawa dengan celotehan Ali, dia memang orang yang humoris. Candaannya 
selalu membuatku tertawa. “ jadi gak nih ceritanya? “ Kataku.
“ yasudah cepat! “ Sahut Deris
Aku menghela napas, suasana menjadi serius. “ aku bermimpi buruk,  Dodi datang 
dan mencekikku, dia berkata kalau aku tak boleh menjadi pemeran utama 
diteather, kalau tidak dia akan terus mencelakaiku, aku  sudah bilang ini kenyonya 
Laura  tapi ia tak percaya.  “  Aku melirik kedua temanku.  mereka  tampak bingung, 
dan berfikir.
“ mungkin, Dodi main dukun atau semacamnya? “ Kata Ali. aku hanya mengangkat 
bahu.
“  kita kan  tahu sejak dulu, Dodi adalah orang yang sok hebat dan sombong, 
sekalinya tidak terpilih menjadi apa yang dia inginkan, malah berbuat yang tidak-tidak. “ Gumam Deris.
“ lalu aku harus bagaimana? “  Kataku memelas. “ dia mengirim makhluk halus 
untuk terus mengikutiku, memata-mataiku, apa aku mundur saja ? “
“ jangan bodoh Senja, nyonya Laura pasti akan sangat kecewa, “  Deris 
mendesakku. “ lucu sekali bila semua akan tahu kalau kau tiba-tiba mengundurkan 
diri, dengan alasan kau tidak bisa memerankan tokoh yang kau karang sendiri.” 
Apa yang dibicarakan Deris sama dengan apa yang kufikirkan. Mungkin, aku akan 
berbicara yang sejujurnya kepada Deris dan Ali, bahwa cerita  itu bukan 
karanganku.

******

9.
“ Deris, kau tahu kalau ayahku seorang penulis? “ kataku ragu-ragu.
“ iya, penulis hebat, “ sahutnya. “ kenapa ?”
Aku menghela nafas sebelum melanjutkan omonganku. “ sebenarnya, kesatria 
elang dan Sinyorita itu karangan  ayahku, bukan aku  –  aku hanya mencoba 
menyalinnya untuk mendapatkan nilai sastra, tapi aku tak menyangka kalau cerita 
ayahku itu yang terpilih. “  aku berharap Deris tidak kecewa dengan pengakuanku 
yang sebenarnya. Ali terlihat bingung menatapku, lalu menatap Deris.
“ jadi selama ini cerita itu karya ayahmu ? “ tanya Deris lagi padaku. Aku 
mengangguk perlahan, menatap kebawah menunjukan rasa sesalku karena telah 
berbuat curang. Tapi kurasa, Deris tidak benar-benar kecewa, ia hanya tak 
menyangka.
“ kau kan juga tahu Deris, ayahku alumni Graphyca. dulu dia pernah dipilih sebagai 
penulis naskah acara teather disaat reuni akbar,” jelasku. “ naskah itu masih ada 
dan kutemukan digudang. “ Deris memegang bahuku, mengusapnya perlahan, aku 
paham ia memberi isyarat kalau ia tak kecewa sama sekali.
“ yang terpenting sekarang kita harus bilang pada Dodi besok, supaya dia jera, “ 
Deris mengusulkan. “ semoga saja anak itu masuk.” 
Dirumah Deris begitu dingin, padahal cuaca diluar masih hangat walau sudah sore. 
Hawa dinginnya membuatku menggigil, aku melihat Deris dan Ali tampaknya tidak 
merasa menggigil sedikitpun, apa sosok itu mengikutiku sampai rumah Deris ?  –
sosok itu yang membuatku menggigil ?. aku memandangi setiap sudut ruang 
tamu, memastikan sosok itu tidak menampakan wujudnya. Tidak ada apa-apa.
Namun tetap saja aku merasakan sosok itu dekat denganku.
“ heey, ada kak Senja! “ bibi Una datang, menggendong Taufan yang sangat lucu. 
Aroma bedak bayi yang khas tercium saat mereka menghampiri kami. Awalnya 
biasa saja, Taufan sudah kenal denganku, ia menyukaiku disaat aku menggodanya, 
selalu tertawa memperlihatkan gusinya yang merah muda, belum ada gigi yang 
tumbuh satupun.
“ hey anak manis !!”. rayuku menghampiri Taufan, mengambilnya dari gendongan 
bibi Una untuk kugendong.  Deris dan Ali ikut menggoda Taufan digendonganku. 
Beberapa kali aku menciumi pipinya yang beraroma wangi khas bayi, aku 
menyukainya.
Siapa sangka, Taufan memasang wajah terkejut. Matanya terbelalak melirik 
kesana-kemari seperti melihat sesuatu, aku memperhatikan  matanya sudah 
berkaca-kaca – sedikit mengeluarkan air mata.
“ ada apa dengan Taufan, Senja ? “ tanya Deris dengan cemas. Ia juga tengah 
memperhatikan adiknya.
“ aku tidak tahu. “ jawabku.
Tiba-tiba Taufan menangis, wajahnya seperti sangat ketakutan, bibirnya bergetar. 
Aku menyerahkannya kembali ke bibi Una untuk ditenangkan, namun Taufan 
tetap menangis kencang. Kenapa dia menangis ?  –  gumamku, aku hanya 
menciumnya, biasanya Taufan sangat menyukai itu. Tapi, kenapa sekarang ia 
begitu ketakutan, apa karena dia melihat sosok yang terus mengikutiku ?. benar 
juga, aku sedang dimata-matai makhluk halus suruhan Dodi, kemanapun dan 
dimanapun aku terus diikutinya.  Benar juga..,  -  fikirku lagi. Seorang bayi bisa 
melihat makhluk halus.
“ iya sayang.” Bibi Una mencoba menenangkan, membawa Taufan masuk kekamar 
untuk diberi susu. Aku kembali memandangi sudut ruangan, mencari tempat 
sosok itu berada. tubuhku masih merasa menggigil, itu tandanya sosok itu be nar-benar masih mengikutiku sampai rumah Deris.
“ Deris, lebih baik aku pulang sekarang ya.” Aku pamit kepada Deris, aku merasa 
sangat tidak enak. Deris mengangguk dan tersenyum, memperbolehkan aku 
pulang, dia sangat mengerti apa maksudku untuk pulang.
“ aku juga pulang ya Deris, “ kata Ali. “ hari sudah semakin sore.  “ Aku dan Ali 
bangkit dan pulang menuju rumah masing-masing. Kami berdua  hendak  berpisah 
begitu sampai depan gerbang.
“ kau yakin mau pulang sendiri naik Bus ? “ Kataku pada Ali, “ bagaimana b ila 
kuantar kau dengan motorku, aku akan pulang sebentar mengambil motor. Itu 
rumahku “. Tawarku seraya mengunjukan arah rumahku.
“ tidak usah Senja, aku terbiasa naik bus sore-sore kok” tolaknya, mengadahkan 
kedua tangan padaku. “ aku ini cowok pemberani, tenang saja.”
“ baiklah, ngomong-ngomong dimana sih rumahmu ?” aku berbasa-basi.
“ dekat sekolah,  “ sahutnya. “ hanya beberapa blok dari sekolah kita “  –  “ dan kau 
Senja, kurasa kau masih dimata-matai hantu milik Dodi.”. Ali menggodaku, 
berbisik dengan menyeramkan wajahnya. Tapi wajahnya justru kelihatan konyol.
“ masa bodo. “ gumamku. Kami berpisah, “ sampai ketemu besok. “
******
Hari ini disekolah  guru-guru sedang rapat. Kami hanya mengisi satu jam pelajaran 
saja, setelah itu bisa memulai latihan di ruang Auditorium lebih awal  –  lebih lama 
juga tentunya. Tuan Yopi datang kekelasku untuk mengajar Biologi, badannya 
pendek dan gemuk, rambutnya tipis hanya dibagian pinggir, sedangkan  bagian 
atas sampai dahinya  botak mulus, ia juga memakai kacamata tebal berbingkai 
hitam. Aku dan yang lain selalu ingin tertawa disaat tuan Yopi masuk kelas, karena 
kepala botaknya yang silau akibat pantulan cahaya lampu.  Tapi hari ini aku tidak 
begitu menghiraukan kepala botak tuan Yopi yang mengkilat, justru aku kesal 
karena Dodi tidak masuk lagi.
“ dasar pengecut!”  –  geramku dalam hati.  Apa perlu aku kerumah Dodi dan 
memergoki ia sedang membudaki para hantu,  hantu  yang selalu mengikutiku ?.
lihat saja nanti.
“ Dodi masih belum sembuh ya? “ tanya tuan Yopi memperhatikan tempat Dodi 
yang kosong.
“ memang Dodi sakit apa ? “ tanyaku , seraya mengangkat tangan.
“ benar juga, kelas ini belum kuberi tahu, “ Kata tuan Yopi menimpa li. “ Dodi 
beberapa hari ini sakit demam berdarah, ia dirawat. aku lupa memberitahu 
nyonya Laura.”
Aku kurang percaya kalau Dodi dirawat, itu pasti hanya akal-akalannya saja agar 
dirinya tidak bertemu denganku, sampai aku celaka, sampai dia berhasil 
menggantikanku sebagai pemeran utama. nyonya Laura juga sempat bilang kalau 
Dodi akan menggantikanku seandai aku sakit atau berhalangan.
Tidak akan.., tidak akan pernah. Aku harus kerumah Dodi sekarang, aku tahu dia 
berbohong, dia tidak dirawat  –  jelas-jelas dia  selalu memantau kamarku, menakut 
nakutiku. Aku mengepalkan kedua telapak tangan, memukul-mukul meja saking 
geramnya.
Aku bertekad akan kerumah Dodi nanti sore. 
“ sudahkah semua berkumpul ? “ nyonya Laura sudah menunggu kami di ruang 
auditorium, kami siap-siap memakai kostum untuk latihan. Hari ini, aku dan Deris 
akan berlatih adegan akhir. Kami sudah hapal, kami sudah lihai memainkan peran 
ini walaupun masih ada waktu beberapa hari lagi untuk pertunjukan, kabar baik.
“ nyonya Laura, “ panggil Ali sembari membawa gulungan kabel. “ kapan aku bisa 
mendapatkan seragamku ? “
“ kamu sabar ya tampan, “ sahutnya tersenyum. “ belum ada informasi dari tata 
usaha, tapi kau pasti akan punya seragam. “.
Mereka mengobrol didepanku, otomatis aku tersenyum mendengar rengekan Ali 
yang terdengar seperti anak kecil yang ingin dibacakan dongeng oleh ibunya.
“ kasihan Ali, “ gumamku. hari ini dia memakai sweater bergaris merah-hitam lagi.
Kami mulai berlatih, aku memperagakan peranku diadegan terakhir. Ceritanya 
Happy ending,  aku bersama Deris sangat bersemangat. Begitupun untuk para kru 
yang sudah hampir selesai mempersiapan segalanya. Pertunjukan tahun ini pasti 
keren, tapi aku masih takut bila ayahku protes disaat tahu ceritanya telah 
dipentaskan lagi tanpa izin.
“ bagaimana menurutmu Deris ?” kataku setelah berdialog.
“ kalau kita mainnya bagus, ayahmu pasti akan senang” balasnya, seraya 
merapikan kostumnya.
Aku setuju dengan Deris, aku tak kefikiran soal itu. Ayah justru bangga kalau 
ceritanya kumainkan, dengan acting yang  bagus. Ayah akan bangga padaku  –
semoga. Sampai senyumku karena pendapat Deris itu memudar, aku mendengar 
bisikan ditelingaku, bisikan seperti saat aku bermimpi.
“ Deris, kau dengar  ? “ kataku, masih memasang telinga untuk menegaskan suara 
bisikan itu. 
“ dengar apa ? “ jawabnya. Namun aku tidak menghiraukannya lagi, aku lebih 
menegaskan suara itu ditelingaku. Semakin jelas kata-katanya, sosok itu mulai 
bertingkah lagi.
~ “ kau akan celaka saat pentas ini akan dimulai..,” bisiknya.

******

10.
Penglihatanku  mulai gelap, semuanya gelap. Tidak ada Deris didepanku, tidak ada 
nyonya Laura, tidak ada kursi-kursi penonton yang berbaris, tidak ada semua. Aku 
hanya melihat kegelapan, cahaya-cahaya berterbangan mengelilingiku, mereka 
berputar diantaraku begitu cepat.  Semua ini membuatku mual, aku mulai 
ketakutan.
“ heey, Deris !!, nyonya Laura, Ali…, teman-teman, “ aku mencari-cari mereka 
diantara kegelapan yang menyelimuti. Aku tak bisa melihat apa-apa kecuali 
cahaya itu. “ semuanya, tolong aku !!”
Aku jatuh berlutut, kurasakan aku masih berada didasar panggung, namun 
semuanya gelap. Aku memejamkan mata, mengangkat topeng kesatria elang ini 
kekepalaku, aku menutup wajahku denga kedua tangan. berharap semuanya 
kembali normal saat aku membuka mata. Tapi tidak.
Cahaya-cahaya itu masih berputar cepat. Bisikan misterius mengancamku, suara 
mereka bergema dimana-mana, seperti lebih dari satu sosok yang menggangguku. 
Aku sudah tidak tahan, aku kembali memejamkan mata dan berteriak.
“ hentikaaan !!!! “ suaraku memecah seisi ruang Auditorium. Aku sadar dan 
kembali  membuka mata, semua kembali normal. Aku melihat Deris  didepanku  –
menatapku ketakutan, begitupun anak-anak lain yang berkumpul melihat apa 
yang baru saja kulakukan.  Apakah  aku baru saja  kena ilusi  ?, ilusi hantu.  Nyonya
Laura menghampiriku, melipat tangannya dan menatap tajam kearahku.
Aku kena marah.
“ apa yang kau lakukan Senja Surrayhan ? “
“ maaf, maafkan aku nyonya,” kataku sambil mengatur nafas. “ aku hanya kurang 
enak badan “.
“ pertunjukan tinggal menghitung  hari, kalau kau sakit terpaksa kusuruh Dodi 
menggantikanmu.”
“ tapi nyonya Laura, kata tuan Yopi – Dodi dirawat karena sakit demam berdarah,” 
Deris  memprotes. “ lagipula apa dia bisa memerankan tokoh utama dalam 
beberapa hari ?”
“ aku sudah tahu, menurut kabar dia besok akan pulang, dan Dodi sangat berbakat 
menjadi aktor,  itu jikalau dia benar-benar akan menggantikanmu Senja,  “  nyonya 
Laura meliriku. “ makanya kuharap kau jangan sampai terkena penyakit, jaga 
kesehatanmu.” Nyonya Laura turun dari panggung dan mengumumkan -“  semuanya istirahat sepuluh menit !!” nyonya Laura meninggalkan ruang 
Auditorium, disusul teman-teman yang lain.
“ kau tidak apa-apa?, ayo kekantin  –  mungkin Ali sudah menunggu disana.” Deris 
mengajakku, menuntunku keluar ruangan.
******
Hujan deras turun tiba-tiba, sore menjelang malam hari ini begitu gelap dari 
biasanya. Tadinya aku bertekad ingin langsung kerumah Dodi dan melabraknya, 
tak peduli  disana ada orang tuanya  –  siapa suruh orang tuanya membiarkan Dodi 
melakukan ini ?, masa iya mereka tidak tahu.
Dikamarku hangat, aku sibuk memperdalam dialogku agar lebih mantap. Ditempat 
tidur dengan selimut, aku memejamkan mata  –  membayangkan didepanku ada 
Deris yang berlagak seperti tokoh Sinyorita,  agar penjiwaan peranku sebagai 
kesatria elang juga semakin wah!. Aku  ingin membuat ayahku kagum, jangan 
sampai dia kecewa hanya karena aku membodohi diriku sendiri  telah  menyalin 
karyanya, aku harus merubahnya bangga padaku, bangga dengan actingku yang 
lebih bagus – aku harap begitu.
“ looh !!? “  aku memekik kaget, kamarku mendadak gelap. Rumahku mati lampu, 
karena hujan deras disertai gemuruh petir yang menyambar. Mungkin saluran 
listrik rumahku tersambar petir, semuanya korslet. Ini sudah biasa, ibu akan 
menghubungi pekerja listrik untuk membetulkannya. Terpaksa aku harus tidak 
melanjutkan latihan dialog, aku hendak tidur  –  sampai aku merasa ada yang 
menarik selimutku.
“ tidak,  jangan lagi!”  perasaanku berubah  jadi  takut,  aku berusaha menahan 
tarikannya.    Sosok itu datang lagi, berdiri tegap didepan kasurku. Tenaganya 
begitu kuat  menarik selimutku hingga terlempar. Aku hendak berteriak, namun 
wajahnya mendekati wajahku, tangannya yang dingin menyekap mulutku. Aku 
mencoba berontak dan berhasil menyingkirkan tangannya dari mulutku. Aku 
berlari kearah  pintu namun sosok itu menghadangku dan berbisik  –  “ jangan 
mainkan cerita itu tanpaku !!”. bisikan yang keras.
Aku tak perduli.
Sosok itu mendorongku sampai aku jatuh, aku berusaha bangkit namun ia kembali 
mendorongku. Cukup sudah !!, aku sudah tidak tahan.
“ apa maumu !? “ bentakku. “ kenapa kau mau saja dibudaki oleh Dodi, hah !? “. 
Suaraku bergetar, tak sadar aku menangis – menangis kesal.  
“ jangan ambil peranku !!”. ulangnya semakin keras. Sosok itu menindih tubuhku, 
dadaku sesak. Aku terus berusaha untuk menghindar  –  berhasil !!, sosok itu 
menghilang dan ibuku membuka pintu kamarku sambil membawa lilin.
“ Senja, ada apa ? “ wajahnya  panik. “ ibu mendengar kau berteriak ?” aku tak 
mengubrisnya, aku melewati ibu keluar kamar. Aku akan nekad, menuju rumah 
Dodi.
Sembari aku berfikir aku harus keluar rumah, menuju rumah Dodi sekarang juga. 
tak peduli hujan lebat. Tapi bagaimana bisa aku cepat sampai kesana ?  – aku ingat 
ibu meletakan kunci motorku dilaci ruang keluarga. Tentu saja.., aku akan 
mengendarai motorku.
“ Senja !!” teriak ibuku memanggil, ia tak mengejarku karena lilin yang 
dipegangnya mati, sekitarnya menjadi gelap. Sebelum ibuku menemukan korek 
api dan menyalakan lilinnya, aku harus menemukan kunci motorku. Kubuka laci 
diruang tamu satu-persatu,  aku menggunakan layar ponselku untuk menerangi  –
baru kali ini aku membutuhkan ponselku meskipun tidak ada pulsa.
Kuncinya sudah kutemukan, dengan susah payah berjalan dikegelapan menuju 
garasi untuk mengambil motorku. Kubuka garasi itu dengan kuncinya yang 
menggantung, aku mulai menyalakan mesin motor dan bergegas pergi  –  untung 
pintu gerbang rumahku sedikit terbuka, aku hentakan dengan kaki sampai 
gerbang itu terbuka lebar. Aku mendengar suara ibuku dari dalam rumah 
memanggilku, namun aku tak menghiraukannya. ” maafkan aku ibu, aku hanya 
ingin menyelamatkan diri.” – sesalku.
Aku tidak sempat memakai Helm, saking marah dan kesalku kepada Dodi sudah 
tidak bisa kutahan lagi. Hujan lebat dilangit yang gelap membuat sekujur tubuhku 
basah kuyub dengan sekejab, aku sangat menggigil, wajahku perih karena 
hujaman titik-titik air yang mendarat disekitarnya.  Mataku tak bisa melihat jelas 
karena kabut dari hujan ini mengalingkan pandangan jalan. Entah sudah berapa 
mil  jaraknya  aku jauh dari rumah. aku tahu alamat rumah  Dodi, masih melewati 
tiga blok dari tempatku sekarang.
“ owh !!” aku kaget dengan sesuatu yang tiba-tiba muncul dari depan jalan, sosok 
hitam itu mengikutiku, berdiri ditengah jalan  –  disaat motorku melaju kencang. 
Semakin dekat dengannya. Aku terkejut, secepatnya kurem motorku hingga roda 
belakangnya sedikit terangkat, bunyi decitan rodanya  begitu nyaring. Aku 
tergelincir dan jatuh  karena jalanan aspal  yang licin. Motorku terbalik,  kurasakan
sakit dikaki kananku karena terkilir, dan kepalaku  menghantam trotoar pinggir 
jalan.
Aku tidak berdaya.

******

11.
“ aduh, kepalaku”  –  aku mulai sadar. kepalaku sangat pusing, kakiku terasa nyeri 
dibagian kanan. Aku bersyukur aku masih hidup, tapi dimana aku ?.
Deris dan Ali duduk disamping ranjangku, mereka memegang  sebuah plastik berisi 
buah-buahan. Aku dirawat, aku sudah berada dirumah sakit, kurasakan sebuah 
perban melilit sekitar dahiku, menutup luka karena benturan trotoar dikepala, 
kaki kananku juga diperban, terasa nyeri namun aku masih bisa menggerakannya 
sedikit.
“ kaki kananmu patah,” kata Deris. mengusap-usap bahuku. “ tapi kau tenang saja, 
tidak separah kaki orang yang diamputasi “.
“ aku fikir aku sudah mati.” Gumamku, sedikit mengangkat badanku bersandar 
pada bantal. 
“ kau kecelakaan motor semalam, seseorang menemukanmu tergeletak dijalan,” 
jelas Deris lagi. “ ibumu sangat panik, semalaman dia menangis.”
“ ibuku, dimana ibuku sekarang?”.
“ ibumu baru saja  keluar, membeli  air mineral, aku dan Ali sengaja menjengukmu 
dan membeli buah.” Deris meletakan plastik buah itu kemeja.
“ apakah aku boleh minta satu apel ? “ tanya Ali mengambil apel merah dari 
plastiknya. “ sudah lama aku tidak makan apel.”
“ Ali, tidak boleh! “ Deris merebut apel yang ada ditangannya. aku lagi-lagi tertawa 
melihat tingkah Ali.
“ tidak  apa-apa Deris, berikan apel itu untuk Ali,” izinku. “ kalau kau mau juga 
silahkan, sekali lagi terima kasih ya.”
Deris tersenyum, “ tidak, buah-buah ini untuk kau saja. aku bukan orang yang 
celamitan.  “  sindirnya,  melirik sinis  ke Ali yang tengah menggigit sebuah apel. Ali 
balas menjulurkan lidahnya – ngeledek.
“ ngomong-ngomong, bagaimana dengan peranku ?” kataku tentang peran itu.
“ sayang sekali,” sahut Deris menghela. “ saat nyonya Laura tahu kau mengalami 
kecelakaan, namamu dicoret.”
Aku sedih mendengarnya, aku tak begitu terkejut dengan sebuah kenyataan ini. 
aku memang sudah menebak kalau aku tidak akan bisa melanjutkan peran 
teather.  Aku hanya bisa merunduk, menangis tanpa ekspresi, merasa gagal dalam 
sesuatu yang selama ini ku  usahakan. Sebagai laki-laki aku merasa malu meratapi 
kegagalanku didepan seorang wanita, Deris.  –  ia kembali membelai bahuku, 
menatapku prihatin, meyakiniku untuk percaya semua akan baik-baik.
Ali juga menatapku kasihan, aku tahu ia sedang memikirkan sebuah lelucon 
untukku agar  aku tertawa kembali, tapi ia tahu bahwa semuanya percuma tatkala 
melihatku sangat bersedih. 
“ harusnya kau tidak gegabah,” tegur Deris padaku. “ aku tahu kok rencanamu 
semalam ingin melabrak Dodi.” Aku mengangguk.
“ pasti Dodi sedang berpesta merayakan keberhasilannya dalam menyelakaiku, 
ya…, bersama hantu-hantu itu.” Gumamku.
“ ya, Dodi juga menggantikanmu sebagai kesatria elang.” Jawab Deris, “ aku 
sedikit malas berduet acting dengannya “.
“ loh, memang Dodi sudah sembuh?, Tadi dia masuk ?”. kataku lagi.  Deris 
menggelengkan kepala.
“ hari ini Dodi belum masuk sekolah, tapi menurut kabar besok dia akan kembali 
masuk. Jadi nyonya Laura langsung memutuskan Dodi untuk menggantikan 
peranmu, sedangkan Rossa menjadi pembawa acara bersama Rachol  –
menggantikan Dodi.”
Nyonya Laura memang sudah mengenal Dodi sebagai anak yang berbakat dalam 
beracting. Keunggulan Dodi bisa menjiwai karakter yang ia dapat hanya dalam 
waktu tiga hari, jadi tak heran – tapi aku tak terima untuk kali ini.
Deris dan Ali berpamit pulang, begitu ibuku datang membawa  dua botol besar  air 
mineral dan seloyang kue cokelat. 
“ anakku sudah sadar rupannya!” sambut ibuku gembira, memelukku dan 
mencium kepalaku. “ terimakasih kalian telah menjenguk Senja.” Ibuku menoleh 
ke Deris dan Ali.  Masing-masing dari mereka diberi sepotong kue cokelat oleh 
ibuku, Ali begitu  suka, sampai ia meminta dua potong kue cokelat  –  tidak tahu 
malu.
Aku merasa bosan, aku ingin jalan-jalan. Tadinya ibu tidak mengizinkanku untuk 
kemana-mana dulu, karena perbannya masih basah. Aku tetap memaksa, aku 
tidak kuat dengan aroma ruang perawatan ini, wangi tapi membuatku sedikit 
mabuk.  Dengan izin suster yang menanganiku, aku diperbolehkan jalan-jalan 
mengelilingi rumah sakit. Kaki kananku masih sangat nyeri untuk bergerak, aku 
fikir aku akan menggunakan tongkat untuk berjalan, namun itu belum waktunya. 
Aku ditemani oleh ibu, jalan-jalan disepanjang lorong – menggunakan kursi roda.
Disepanjang lorong aku masih merasa bosan. Hanya ada pemandangan taman dan 
air mancur, tidak keren.  Lingkungan  yang dikelilingi orang-orang sakit, bahkan 
sesekali  mayat yang ditutupi kain lewat disampingku  dengan trolling, didorong 
oleh beberapa pengurus kamar mayat serta orang-orang yang menangis 
mengikuti dibelakangnya. Hiii ~
“ hey senja, bagaimana kalau  ibu seperti orang yang di trolling itu? “  tanya ibuku, 
sembari perlahan mendorong kursi roda.
“ apaan sih bu ?, aku belum siap ibu meninggal,” jawabku jengkel. “ ibu kalau 
bercanda ada-ada saja.” ibuku tertawa.  Tetapi aku tak mengubrisnya lagi, aku 
melihat diujung lorong seperti seseorang yang kukenal, memakai jaket hitam 
berkapucong dengan seorang kakek tua. Aku memicingkan mata untuk lebih 
menegaskan,
“ loh, itu Dodi !“

******

12.
Ponsel ibuku berbunyi, ia sedikit melangkah berbalik arah untuk  menghindari 
ramainya suara lorong rumah sakit  –  agar lebih jelas untuk menelpon. Ini adalah 
kesempatanku untuk menghampiri Dodi, ujung lorong disana tak begitu jauh, aku 
bisa kesana dengan kursi roda tanpa sepengetahuan ibuku. Sejenak aku melirik 
ibuku, sepertinya ia sedang berbicara dengan ayah dikantor, menanyakan 
keadaanku sekarang. 
Dengan sigap aku memutar roda untuk melaju kedepan, mendekati Dodi yang 
tengah duduk dikursi panjang pinggir lorong bersama seorang kakek.  itukah 
dukunnya ? – fikirku.
“ Dodi !!” teriakku memanggil. Ia dan kakek tua itu menoleh kearahku bersamaan. 
Andai saja kalau aku tidak dikursi roda, sudah kupukul dia.
“ Senja ?,” sahutnya. “ kau benar-benar kecelakaan? “
“ bukannya kau sudah tahu?” kataku sinis.
“ iya, tadi  pagi nyonya Laura  menghubungiku  kalau kau kecelakaan, dan tidak bisa 
melanjutkan peranmu, jadi aku yang menggantikanmu,” Jelasnya, “ kebetulan aku 
kembali bersekolah besok, jadi aku menerima tawaran itu.”
“ sudah cukup senja !!” bentakku tiba-tiba. “ kau pandai sekali mencari alasan, 
sudah puas kau mencelakaiku, menyingkirkanku untuk menjadi peran utama 
diteather nanti !!?”  Dodi memasang wajah yang heran, begitupun kakek tua 
disampingnya. “ selamat Dodi.., kau menang, dengan cara licikmu itu.”
“ maksud kamu apa! Senja.” Sahutnya, “ aku tidak mengerti, cara licik apa? “
“ selama ini kau tidak sakit kan?, kau  main dukun itu dan membudaki sosok hantu 
untuk terus menggangguku, agar aku mundur dari peran utama yang selama ini 
kau inginkan! “  rasa amarahku semakin panas.  Namun  disini ramai, tidak ada 
seorangpun yang menyadari akan kemarahanku. Aku menoleh kearah ibuku dari 
kejauhan, dia masih sibuk menelepon – tak sadar aku sudah jauh darinya.
“ dukun ?, dia kakekku” jelas Dodi menggenggam lengan kakeknya. Kakek tua 
itupun tersenyum padaku.  “ selama ini aku dirawat disini karena demam 
berdarah, bukannya kau sudah tahu?, “
“ lalu, nyonya Laura pernah bilang  – dia sempat bertemu denganmu dan kakekmu 
ini di jalan bukit Blok-B tengah malam?, bukannya kau habis menggangguku?, 
berdiri diluar jendela kamarku dengan tipuan sihir ?” 
“ tipuan sihir !?  “ Dodi hendak menjelaskan. “ orang tuaku sedang diluar kota, aku 
dititipkan dirumah kakekku, dijalan bukit Blok-B  –  tidak jauh dari rumahmu kan?, 
namun disaat tengah malam, aku merasa menggigil. Kakekku hendak 
mengantarku ke Klinik, dan bertemu dengan nyonya Laura. Kami tak sempat 
mengobrol karena nyonya Laura terlihat sedang terburu-buru. entahlah.., begitu 
aku  berobat  di Klinik, ternyata aku demam berdarah dan harus dirawat inap 
sampai beberapa hari,”
Aku sadar dengan apa yang dikatakan Dodi, selama ini bukan dia pelakunya. Aku 
bodoh sekali, lalu siapa yang selama ini menghantuiku. aku kembali berfikir 
panjang, awalnya aku menemukan naskah ayahku digudang, dengan curang aku 
menyalin naskah itu untuk nilai sastra sampai akhirnya dipilih untuk dipentaskan. 
Sosok hitam itu tiba-tiba muncul setelah aku ditunjuk sebagai pemeran utamanya, 
kenapa ini bisa terjadi ?. apa ini adalah sebuah karma karena aku curang ?, apa 
naskah yang ayahku buat itu telah terkutuk, ada penghuninya,  atau jangan-jangan 
yang menerorku selama ini adalah ayahku sendiri ?.
Berkali-kali aku minta maaf pada Dodi atas perasangka burukku selama ini, 
untungnya Dodi langsung memaafanku, begitupun dengan kakeknya yang sudah 
kutuduh sebagai dukun. Aku tak menyangka kalau Dodi mempunyai sifat pemaaf 
yang  tulus, walau tampangnya selalu ngajak  ribut. Sebagai rasa bersalahku, aku 
rela bila Dodi menggantikan peranku sebagai kesatria elang.  Aku sadar, fisik 
seseorang itu belum tentu sesuai dengan sifat dan perilaku pribadinya.
Aku akan bertanya soal ini kepada ayahku nanti, terpaksa aku juga harus 
mengakui bahwa karyanya kusalin tanpa izin. – aku harus siap.
“ Senja, ibu kira kau kemana ?” ibuku sudah selesai menelepon  ayah, ternyata dia 
sedang mencariku.
“ iya ibu, maaf.”
******
malam hari  aku sudah kembali diranjangku, rasa nyeri dikaki kananku terasa lebih 
baik.  Deris  dan Ali kembali  menjenguk, mereka berdua selalu janjian dirumah 
Deris. aku menceritakan semua yang sebenarnya, aku baru bertemu Dodi tadi 
siang dan bukan dia pelakunya. Tetapi aku masih penasaran dengan datangnya 
hantu itu tiba-tiba, apa hubungan hantu itu dengan cerita K esatria elang dan 
Sinyorita karya ayahku ?, apa hubungan dia dengan ayahku sendiri ?.   Deris dan Ali 
hanya diam, aku saja tidak tahu – apalagi mereka.
“ oh ya, aku lupa menanyakan Taufan adikmu. dia baik-baik saja ?”  tanyaku pada 
Deris yang sedang mengupas kulit jeruk.
“ ya, adikku sakit demam. dia kena sawan,” balasnya. “ semenjak kau 
menggendongnya dan dia menangis.”
“ maafkan aku Deris, ini semua salahku. Kalau saja aku tak akan pernah berbuat 
curang menyalin karya ayahku.”
“ tidak, itu bukan salahmu,” Deris meyakini. “ itu salah hantu yang sedang 
mengikutimu.”
“ ya, hantu yang terus mengikutimu kemanapun kau pergi,” sambung Ali, 
mulutnya penuh dengan kunyahan Apel. “ mungkin hantu itu menyukaimu senja. “ 
usulnya.
“ gak lucu! “ Kataku, namun tetap saja aku tertawa dengan celotehannya.
Akibat sosok hantu yang mengikutiku, membuat adiknya Deris terkena sawan. 
Sawan itu sendiri adalah penyebab seorang bayi yang telah melihat makhluk halus 
disekitarnya, mata batin semua bayi itu peka sampai mereka berusia setahun. 
Akibatnya, mereka bisa demam dan terus menangis,  sampai  demamnya  itu 
sembuh. 
Beberapa hari setelahnya, akhirnya aku diperbolehkan pulang. Luka dikepalaku 
sembuh, namun kaki kananku sedikit terasa sakit bila diajak berjalan. Aku 
menggunakan tongkat yang diberi pihak rumah sakit – gratis.
Saatnya makan malam, ayah dan ibu berada diseberang kursiku. Aku hanya 
mengaduk-aduk hidanganku  dipiring, ragu-ragu untuk bertanya pada ayah soal 
hantu naskah itu.
“ senja, ayo dimakan! “ tegur ibuku.
“ iya bu, “ sahutku melirik ke ibu, lalu  ayah.  –  Ayahku begitu lahap menyantap 
sosis panggang.  aku menghela nafas lebih dulu sebelum memberanikan diri untuk 
menceritakan tentang semua kejadian yang aku alami.
“ hmm, ayah? “ kataku membuka pembicaraan.
“ ada apa Senja ?,” sahutnya setelah meneguk air putih.
“ aku ingin bertanya soal Naskah ayah sewaktu ayah sekolah dulu,” jantungku 
agak deg-degan. “ naskah yang berjudul Kesatria elang dan Sinyorita itu.”
Sontak ayahku terkejut mendengarnya, ia menghentikan makannya. Dahinya 
mengkerut dan menatapku tajam. Aku mencoba terus menceritakan semuanya.
“ ayah tahu nanti ada acara reuni akbar disekolah?, aku tidak sengaja menemukan 
naskah itu digudang, menyalin cerita ayah itu dan ternyata terpilih sebagai cerita 
teather.” Aku sadar suaraku semakin bergetar.
Ayah  mengepal kedua tangannya,  menggebrak meja makan cukup keras, sampai-sampai piring dan gelas sedikit melompat, ibuku juga kaget. Wajah  ayah 
menggeram menatapku semakin tajam. Ya ampun…,
Ayah akan marah besar padaku.

****** 

13.
“ kenapa kau tidak bilang ayah dulu!? “ bentak ayahku, berdiri dari kursinya.
“ aku tidak maksud untuk memberikan cerita itu untuk dipentaskan ayah, aku 
hanya ingin mendapatkan nilai sastra guruku, tapi cerita itu malah terpilih karena 
bagus. “ aku menjelaskan semuanya, ayah mendengus  –  menenangkan diri. 
kembali duduk.
“ siapa pemerannya ?.”
“ tadinya aku yang menjadi kesatria, tapi karena kakiku patah digantikan oleh Dodi
temanku, dan yang menjadi Sinyorita itu  Deris.”  ayahku merundukan kepala, 
seperti sedang merenungi sesuatu.
“ ayah ?.” aku memanggilnya lembut.
“ ada apa sih ?” tanya ibu penuh heran. aku mengangkat bahu.
“ ayah,” panggilku lagi. Ayahku  masih diam merunduk. “ aku minta maaf, telah 
menyalin cerita ayah tanpa izin, aku tahu itu adalah sebuah kecurangan. tapi ini 
memang sebuah kebodohanku, aku tahu ayah ingin aku lebih mandiri  soal semua 
tugas-tugas yang aku dapat, ayah tolong jangan kecewa padaku!”
Ayah mulai bersikap biasa, ia menatapku – dengan wajah penuh penyesalan.
“ ayah tidak kecewa, ayah tidak marah, ayah hanya terkejut kenapa tiba-tiba kau 
bertanya soal naskah tua itu,”
“ iya ayah, itu yang ingin aku tanya pada ayah,” aku melirik ibu. Ibu juga terlihat 
cemas, tetapi tidak tahu apa yang terjadi.  “ saat aku mengambil cerita ayah untuk 
dipentaskan nanti, saat aku dipilih menjadi peran utama, aku mengalami kejadian 
aneh.  aku diikuti sosok gelap, aku bermimpi buruk, bahkan sosok itu terus 
mengancamku. Aku  kira itu Dodi yang sirik dan ingin merebut peranku, tapi 
ternyata bukan,”
“ mengancamu bagaimana ?” tanya Ayahku.
“ dia bilang, aku tidak boleh menggantikan perannya,” kataku. “ maksud semua itu 
apa ayah?, apa hubungan hantu itu dengan naskah yang ayah buat ?”
Ayahku ragu-ragu untuk menjawab, namun semua sudah telanjur. Aku  menunggu 
jawaban dari ayah, begitupun ibuku.
“ mungkin dia kembali begitu tahu naskah ayah telah kau  temukan, dia datang 
untuk melanjutkan perannya sebagai kesatria elang dicerita itu.”
“ maksud ayah ?,” aku semakin bingung.
“  mungkin  hantu itu, dia sahabat ayah waktu kami menginjak kelas dua belas. 
tepatnya dua puluh tahun yang lalu disekolahmu.” Jelasnya
“ sahabat ayah  ?? “ aku terkejut, “ lalu, kenapa dia datang lagi dan melarangku 
untuk memerankan tokoh itu ?”
“ itu karena kau telah membuat ceritanya dipentaskan kembali,”  gumamnya. 
ayahku mengambil sehelai tissue dan mengelap mulutnya yang berminyak.
“  lupakan itu, ayah harus menghubungi kerabat kerja dulu .” Ayahku bangkit dari 
kursinya dan hendak menuju kekamar. “ besok pagi kita harus sudah sampai 
disekolahmu, agar dapat tempat  duduk paling depan, jangan berfikir  lagi kalau 
hantu itu datang, sekarang kau sudah gagal menggantikan perannya, kau aman.”
Aku termenung dikamar setelah makan malam, semakin hari kaki kananku 
semakin membaik, tapi belum diperbolehkan untuk melepas perbannya. aku 
masih tak percaya, hantu yang selama ini menerorku adalah sahabat  ayahku 
sendiri. tapi,  kenapa hantu itu bisa meninggal?,  kenapa hantu itu masih saja 
menginginkan perannya sebagai tokoh utama?.  aku tidak yakin dengan kata 
ayahku tadi, kalau hantu itu sudah pergi. Benar juga.., 
Aku seperti normal kembali, tidak merasa ada  yang mengikutiku lagi. Tapi, aku 
baru ingat kalau Dodi akan menggantikanku besok, apakah hantu itu telah 
meneror Dodi?. Hantu sahabat ayah memang berhenti menerorku, itu karena aku 
sudah gagal menggantikan perannya, tapi bagaimana dengan Dodi sekarang ?  –
aku harap yang dikatakan ayahku tadi benar, hantu itu jangan sampai muncul 
besok. 
Aku harus menghubungi Dodi untuk memastikan. Kebetulan  aku punya buku 
nomer telepon teman-teman sekelasku, tapi  untuk pertama kalinya aku sangat 
berniat menghubungi Dodi.
lima detik.., sepuluh detik.., dua menit. Telepon rumahnya tidak bisa dihubungi, 
aku mengecek kembali  buku nomer teman-temanku, siapa tahu aku salah digit. 
ternyata aku sudah benar, tapi Telepon rumahnya tak bisa dihubungi. Aku 
menggigit jari, kalau saja aku punya nomer ponselnya  –  Deris juga tidak akan 
punya.
Untuk pertama kalinya juga aku begitu gelisah memikirkan Dodi, padahalkan 
sebelumnya aku sangat benci pada dia, tapi Dodi begitu baik, dengan mudah 
memberi maaf atas perasangka burukku dengan tulus.
Ada apa dengan Dodi sampai tidak bisa dihubungi, apakah dia  frustasi karena 
sedang diganggu oleh hantu naskah itu sekarang ?.

******

14.
Ini adalah hari yang kami tunggu -tunggu, hari ulang tahun sekolahku  –  Graphyca 
Hight School. ibu membangunkanku  pagi sekali, membantuku untuk bergegas 
kekamar mandi karena jalanku yang masih dibantu oleh sebuah tongkat. 
“ selamat ulang tahun, Graphyca” seruku, sebelum bangkit dari tempat tidur.
“ ayo cepat, nanti ayah bisa cerewet kalau kau  lamban.” kata ibu, membantuku 
berdiri dan mengambilkan tongkatku. setelah kami bersiap-siap dan sarapan, kami 
berangkat.
“ ayah, semoga hantu itu tidak mengacaukan acaranya ya, “ Kataku hendak masuk 
kemobil jok belakang, disusul ibuku yang duduk didepan bersama ayah.
“ jangan bahas itu senja,” jawabnya sambil menyalakan mesin mobil.  Matanya 
melirikku lewat spion atas.  “ jangan sampai kau menceritakan pada siapapun 
disekolah.” – aku mengangguk, aku berharap Dodi tidak apa-apa.
“ ibu tidak sabar menyaksikan pentas dari cerita ayahmu.” Ibuku menoleh 
kearahku.
“ tapi aku mohon, ibu dan ayah jangan bilang ini bukan karyaku pada nyonya 
Laura  –  guru teatherku, aku tahu aku salah, tapi aku menyesal.” rengekku, ibu 
sepakat denganku, ia mengedipkan sebelah matanya.
“ setidaknya, ibu bisa melihat cerita karya ayahmu, sebelumnya kan ibu belum 
pernah lihat. “ balasnya. aku tersenyum lega.
Sampailah kami disekolah, ibu dan aku turun lebih dulu untuk mendapatkan 
tempat duduk paling depan, sedangkan ayah harus memakirkan  mobilnya. Masih 
belum ramai, kami kepagian. Aku melihat Deris, Ali dan beberapa kru yang 
bertugas sudah berkumpul di belakang panggung, mereka tengah diberi instruksi 
oleh nyonya Laura, aku menghampiri mereka.
“ Senja !!, kau datang,” Deris menyambutku, aku begitu terpukau melihat 
penampilannya pagi ini, dengan make-up, kostum dan untaian model rambutnya. 
Deris benar-benar seperti perempuan feminim.
“ senja, kau sudah baikan ? “ sambung nyonya Laura mendekatiku.
“ iya, aku bersama orang tuaku. Kami akan duduk paling depan”. Sahutku. 
Aku memperhatikan setiap anak namun tidak melihat  Dodi,  -  hey itu Dodi. ia 
belum memakai kostum kesatria elangnya, sepertinya Dodi baru sampai.
“ Dodi, “ sapaku.
“ ya, kau sudah baikan ?,” sahutnya, menepuk bahuku – aku mengangguk
“ apakah kau baik-baik saja selama ini? “
“ ya, aku baik-baik saja sehabis pulang dari rumah sakit. Kenapa?”
Bagus deh, sepertinya Dodi tidak diteror oleh hantu itu. tapi kenapa hanya aku 
yang diganggunya, mungkin karena aku adalah orang yang menemukan naskah 
itu.  –  sudahlah, aku sangat senag ini berakhir. Hantunya  benar-benar pergi, sudah 
berhasil mencelakaiku.
“ dan semalam aku kan menelponmu ?,” tanyaku lagi. “ tapi tak bisa dihubungi.”
Dodi tertawa, ini juga baru pertama kalinya aku melihat dia tertawa, “ kau lupa ya 
senja, aku kan sudah bilang aku tinggal dirumah kakekku sementara. Orang tuaku 
keluar kota, jadi beberapa hari ini rumahku kosong dan semua daya listrik 
dipadamkan,”. Owh iya! – gumamku, aku lupa.
“  yasudah kalau begitu, cepat kau pakai kostum kesatria elangnya.  Kostumnya 
keren loh. “ usulku
“ nanti saja, lagipula perutku  mulas,” Dodi melirik jam tangan yang dipakainya, “
masih ada setengah jam lagi, sepertinya aku akan ketoilet dulu.”
“ baiklah.” Kataku, kembali menghampiri orang tuaku yang sedang melihat-lihat 
apa saja yang ada diacara ini. sebelumnya, kami sudah membocking tempat duduk 
paling depan.
Suasana reuni akbar begitu ramai, beberapa permainan kecil-kecilan, banyak yang 
membuka stand untuk menjual kaus dengan tulisan Graphyca hight school, 
makanan dan minuman, serta asesoris yang murah meriah. Aku bertemu 
beberapa alumni sekolah ini dari berbagai tahun angkatan, mereka saling 
berpelukan  –  melepas rindu karena sudah bertahun-tahun tidak berjumpa. 
Begitupun ayahku yang beberapa kali bertemu dengan teman lamanya.
Waktunya dimulai !!  –  Rossa dan Rachol sudah tampil, mereka membuka acara 
untuk memulai pentas teathernya. Kami bertepuk tangan, alunan musik dari tim 
orchestra mulai dimainkan, tirai raksasa merah perlahan terbuka. Lampu se-auditorium gelap, hanya lampu-lampu panggung yang terang benderang.
“ ini ceritamu ayah,” bisiku seraya bertepuk tangan. Ayah tersenyum lebar,
“ terimakasih ya.” Sahut ayahku.
Kesatria elang dengan jubah merahnya yang berkibar muncul dari balik tirai, 
berkelahi dengan kawanan perampok yang jahat, menjajah warga desa  –
ceritanya.
Aku dan para penonton lain selalu  bersorak dan bertepuk tangan disaat kesatria 
itu beraksi. Waah.., aku akui deh, Dodi memang sangat berbakat dalam 
mendalami perannya,  -  kataku dalam hati.  Begitu juga dengan Deris, betapa
piawainya  dalam memerankan tokoh Sinyorita. mereka berdua,  serta pemeran-pemeran kawanan perampok sangat kompak, ditambah artistiknya yang keren, 
backsong musik, lampu-lampu,  dan efek dari dry ice yang mengepul didasar 
panggung – semuanya terlihat mengagumkan.
“ Ali hebat juga jadi tukang lampu  –  haha,” fikirku. Tapi aku tak bisa melihatnya 
diatas, entah dia sedang apa.
Sampai pada adegan-adegan akhir, kekagumanku berubah menjadi kepanikan. 
Dialog akhir yang seharusnya  -  kesatria elang menyatakan cinta kepada sinyorita  -begitu berbeda, tidak sesuai naskah sama sekali. Aku  dan ayahku saling melirik, 
heran dengan perbedaan dialog itu. aku melihat Deris yang berdiri dihadapan 
Dodi juga merasa bingung, kenapa Dodi berbicara tak sesuai dengan dialognya. 
Kedua tangan Dodi mencengkram bahu Deris, Deris sendiri terdiam entah harus 
berbuat apa dihadapan banyaknya penonton. Perlahan  mereka melayang ke  atas 
tanpa bantuan tali artistik, angin berhembus diantara mereka entah datang dari 
mana, rambut Deris berkibar-kibar karena angin itu  –  wajahnya  sangat ketakutan, 
namun penonton justru lebih kagum melihat semua ini.
“ efeknya keren !! “ aku mendengar salah satu dari penonton  bicara seperti itu. “ 
benar, efeknya keren !! seperti asli. dialognya juga begitu menegangkan !!”
Seluruh penonton semakin kagum melihat semua ini, aku dan Ayahku saling 
bertukar pandangan ngeri,  ada  yang tidak beres  –  hanya kami berdua  yang 
menyadari cerita itu sangat berbeda, entah dengan nyonya Laura dan tokoh yang 
lain.  aku menegaskan  wajah dibalik topeng kesatria itu, karena topeng itu hanya 
menutupi bagian kepala sampai hidung – jadi mulutnya tetap kelihatan.
“ Dodi itu memiliki tahi lalat dibagian bawah bibirnya,” kataku pada ayah.
“ lalu kesatria elang itu tidak tampak tahi lalat dibibirnya.”
owh tidak, selama  pertunjukan berlangsung yang menjadi kesatria elang bukanlah 
Dodi. Hantu itu kembali, hantu itu berhasil merebut perannya. Lalu, dimana Dodi ?
Dan apa yang akan hantu itu lakukan pada Deris ditengah banyaknya penonton ?.

******

15.
“ akhirnya !!, aku bisa memerankan tokoh ini, aku bisa menyelesaikan peranku 
yang gagal dua puluh tahun yang lalu !!” suara hantu itu bergema, berat dan 
serak, menatap Deris menyeringai. Aku tidak tega melihat Deris, buru -buru aku 
berlari kebelakang panggung, tak peduli kakiku sakit  –  melangkah berpincang-
pincang.  Ayah dan ibuku memanggil, namun aku pura-pura tidak mendengarkan. 
Aku akan bertemu denga nyonya Laura, aku akan bilang kalau kesatria itu bukan 
Dodi, dia hantu. 
“ nyonya, itu bukan Dodi ?,” desakku.
“ kau bicara apa, aku semakin kagum dengan anak itu, dia telah mempersiapkan 
dialognya sendiri agar terlihat lebih nyata.” Jawabnya, memperhatikan dari 
samping panggung, matanya tetap fokus pada aksi kesatria elang.
Nyonya Laura tak percaya – justru semakin kagum dengan peran kesatria itu, yang 
dianggapnya adalah Dodi.
“ aah, apa gunanya bicara dengan nyonya Laura.” Aku meninggalkan dia, nekad 
naik kepanggung. aku ingin bertanya pada hantu itu mengapa dia kembali, aku 
juga tak tega melihat Deris menghadapi ini sendiri, wajahnya begitu takut  –
ironisnya semua  penonton semakin ramai bersorak, menganggap adegan akhir ini 
begitu keren.
“ Senja. Apa yang sedang kau lakukan!” nyonya Laura memanggilku, aku tidak 
mengubrisnya. Susah payah aku menaiki tangga panggung dengan kaki  yang 
diperban.  padahal hanya empat anak tangga kecil, kaki kananku yang patah 
berdenyut-denyut merasa seperti menaiki seratus anak tangga.  Aku tak perduli, 
aku ingin menyelamatkan Deris.
“ hentikan semua ini hantu kesatria elang! “ bentakku. Aku memandang wajahnya 
yang dihalangi topeng begitu dekat, tidak jelas. bibirnya sangat pucat
“ Senja,  tolong aku? “ kata Deris, kulihat dia menangis. Pertama kalinya aku 
melihat Deris menangis ketakutan. 
“ tolong turunkan temanku,” kataku memohon.
Kulirik seluruh penonton, semuanya bersorak gembira bahkan ada yang berdiri 
sambil bertepuk tangan. Mereka kira aku  adalah pemeran warga desa yang 
berniat menyelamatkan sinyorita. ayah dan ibuku begitu terkejut melihatku sudah 
diatas panggung, mereka tidak  bisa berbuat apa-apa karena begitu ramainya 
ruang auditorium. Tapi ayah tahu apa maksudku naik keatas panggung.
“ kalian berdua telah membuat cerita ini benar-benar dipentaskan,” gumam hantu 
itu lagi,  “ jiwaku tidak tenang setelah aku tewas, sebelumnya akulah yang menjadi 
pemeran utama cerita ini,  ini adalah impian besarku.  namun aku dibunuh oleh 
seseorang yang tidak suka bila aku menjadi tokoh utama. aku ditabrak sampai 
mati ketika dalam perjalanan menuju pentas, - aku gagal mementaskan cerita ini.”
“  jadi itu sebabnya kau kembali?” kataku meringis, “sekarang kau berhasil 
menyelesaikan peranmu dengan baik, kau puas, kau berhasil mencelakaiku  –  kau 
harus pergi dengan tenang, lepaskan temanku!!”
Angin disekitar panggung perlahan berhenti. hantu itu menurunkan Deris, 
rambutnya begitu berantakan. Aku memeluk Deris, hantu itu terbang dan 
menghilang, membawa kostumnya.
“ semua sudah selesai Deris, sudah selesai “ kataku pelan merangkul Deris.
Semua penonton bersorak sorai, berdiri dan bertepuk tangan semakin ramai dan 
ramai sekali. Begitupun ayah, ibu dan nyonya Laura.
Mereka fikir ini adalah ceritanya, menggunakan efek yang begitu keren, tak 
terlihat sama sekali artistiknya yang membuat kesatria elang pergi terbang dan 
menghilang.
“ hebaat!! Keren! “ itu yang kudengar dari seluruh ruangan.
Nyonya Laura begitu haru melihat kami, ia tak heran sedikitpun dengan ceritanya 
yang kacau. Yang terpenting, semua penonton suka – fikirnya.
Aku senang semua sudah berakhir, hantu itu sudah  melanjutkan peran ini  yang 
katanya dulu gagal.
“ yasudah, sekarang kita menemui Ali dan mencari Dodi.” ajaku pada Deris. 
Nyonya Laura menghampiri kami begitu turun dari panggung, Rossa dan Rachol 
kembali dengan tugasnya.
“ penampilan kalian begitu hebat !!” pujinya. “ aku sempat keliru begi tu Senja naik 
panggung, tapi ternyata itu adalah salah satu konsep kalian.”
“ iya nyonya  Laura, terimakasih.” Kataku berbohong, “ kami memang sudah 
merencanakan ini sehari yang lalu.”
“ bersama Dodi!! “ sambung Deris.
“ ya bersama Dodi.”
“ sampaikan salamku pada Dodi ya, aku mau bertemu dengan para wali murid 
disana,” kata nyonya Deris, meninggalkan kami menuju kursi-kursi penonton.
“ dimana Ali ?,” Deris menoleh kesetiap sudut ruangan, banyak para kru disana 
namun kami tidak melihat Ali.
“  diakan  tukang lampu, dia tidak akan selesai sampai auditorium benar-benar 
kosong.” Kataku.
“ yasudah kita cari Dodi saja, ada apa dengan dia tiba-tiba menghilang.” Deris 
menuntunku.
Baru beberapa langkah, kami melihat Dodi menghampiri. Wajahnya terlihat lesu, 
pakaiannya sedikit basah kuyub.
“ Dodi !!, kau tak apa-apa. Tanyaku
“ ya, ada sesuatu yang menyeramkan disaat aku buang air besar ditoilet.”
“ apa  kau bertemu  sesosok  hantu  ? “.  tebak  Deris,  kami saling memandang.  Dodi 
mengangguk.
“ benar, entah hantu dari mana dan untuk apa dia menakutiku,” jelas Dodi.  
“  hantu itu besar dan dingin. dia bilang padaku aku tak boleh kemana-mana, dia 
ingin  menggantikan peranku.  Aku ingin teriak tetapi suaraku tak keluar,    tiba-tiba 
aku sangat mengantuk, mataku  begitu berat,  dan  tertidur di  toilet, sampai 
seseorang membangunkanku.”
hantu itu cerdik  –  fikirku, ia tahu kalau Dodi yang menggantikan perannya. Hantu 
itu membuat Dodi pingsan dan dia yang mengambil alih untuk pentas.
“ aku lapar,” kataku.
“ bagaimana kalau kita kekantin ? “ sahut Deris
“ oke! “ aku menyetujui “ kau ikut Dodi ? “
“ ya, aku juga lapar."

******

16.
kami berjalan menuju kantin untuk istirahat dan makan-makan, sesudahnya kami 
akan menemani  Ali  yang masih bertugas diatas panggung  sampai  pulang.  aku 
melihat ayah dan ibuku sedang berada didepan pintu tata usaha.
“ ayah !! ibu !!” panggilku, melambaikan tangan dan menghampiri mereka.
“ Senja,” sahut ibuku “ pertunjukan kalian hebat sekali.”
“ terima kasih nyonya Surrayhan.” balas Deris dan Dodi serempak.
Aku melihat ayah sedang memegang sesuatu, berupa file kertas yang didalamnya 
seperti buku usang. 
“ kalian mau kemana? “ tanya ayah.
“ kami mau kekantin, kami lapar “ jawabku. “ hmm, apa yang kau pegang ayah? “
Ayahku langsung menunjukan buku  usang itu kepada kami. “ ini file, isinya data-data ayah dan teman-teman seangkatan tahun 94. sengaja ayah meminjamnya di 
tata usaha, untuk melihat kembali foto-foto para murid  seangkatan ayah di 
sekolah ini, – ayah begitu rindu.”
“ bagaimana kalau kita kekantin bersama,” usul ibuku. “ kita akan melihat-lihat
buku itu.” Aku, ayah, dan lainnya sepakat. Kami  menuju kantin dan memesan 
beberapa makanan siap saji.
Aku menceritakan kejadian yang menyeramkan tadi pada Dodi saat pentas 
berlangsung, ayahku juga  tahu tentang itu bahwa hantu itu adalah sahabatnya 
yang pernah diceritakan.
“ kalau kau bertemu nyonya Laura, bilang saja kau memang mempersiapkan 
dialog yang berbeda,” kataku pada Dodi. Dodi mengerti dengan apa yang 
kumaksud.  “ ayah, hantu sahabat ayah yang muncul tadi benar-benar kembali.” 
Aku menoleh keayahku, kuperhatikan ayah kembali bersedih, bibirnya terlipat dan 
kepalanya merunduk.
“ kenapa sahabat ayah itu sampai tewas ditabrak mati ?, ayo ceritakan” desakku.
“ waktu ayah kelas dua belas seusiamu,  ayah terkenal sebagai penulis cerita yang 
hebat.” ayahku mulai bercerita. “  naskah ayah  yang berjudul kesatria elang dan 
Sinyorita itu dinilai bagus oleh pembimbing, tetapi ayah menolak untuk menjadi 
pemeran utama, itu karena ayah ingat dengan sahabat ayah  yang mempunyai 
impian menjadi pemeran utama dipentas teather sekolah. dia sangat berterima 
kasih begitu tahu ayah menunjuknya sebagai pemeran utama dalam cerita itu. 
setiap hari dia tak pernah libur latihan dan begitu antusias, sampai pada hari
dimana pentas itu akan dimulai, dia  ditabrak mati oleh seseorang  dijalan menuju 
sekolah. Ayah fikir dia hanya kecelakaan, ternyata tanpa disadari ada teman kami 
yang tidak suka kalau dia menjadi pemeran utama, sampai-sampai dengan sengaja 
menabraknya dengan mobil. Mendengar berita itu pentas teather dibatalkan, 
teman kami yang tidak bertanggung jawab itu dipenjara.  ayah sangat bersedih 
kehilangan sahabat. Ayah selalu ingin menangis bila melihat naskah yang ayah 
buat sendiri. jadi, ayah menyimpan naskah itu di bawah tempat tidur rumah ayah
yang dulu.  sampai ayah menikah dengan ibumu,  ayah menyimpan naskah itu 
digudang rumah kita, tadinya ayah ingin membuangnya atau  membakarnya, ayah 
ingin melupakan naskah itu. tapi ayah tidak tega, naskah itu mempunyai kenangan 
manis untuk sahabat ayah.”
Aku, Deris, Dodi begitu haru mendengar cerita ayahku. Ibuku merangkul bahu 
ayah dan mengelusnya untuk ketenangan. Wajah ayah terlihat sedang menahan 
kesedihan. Aku mengerti dengan perasaannya, mempunyai sahabat baik yang 
tewas mengenaskan – itu benar-benar kejadian yang ironis.
“ ayah, pengalamanmu begitu mengesankan.” Kataku haru. “ oh ya, kebetulan 
ayah meminjam buku data murid angkatan ayah, bisakah ayah tunjukan foto 
sahabat ayah ?, kami juga ingin melihat foto ayah.”
“ oh iya,  benar juga.” Sahut ayahku sembari membuka buku usang itu. “ pastinya 
disini ada foto almarhum sahabat ayah juga,”.
Buku itu berisi biodata dan foto-foto lama para murid angkatan 94. Kami melihat 
foto ayah yang masih berusia delapan belas tahun. ayahku sangat mirip denganku, 
namun wajahnya sedikit lonjong.
“ ayah manis sekali, “ gumam ibuku menggoda. Aku, Deris, dan Dodi tertawa 
dengan gurauan itu. ayahku hanya tersenyum melirik ibu.
“ lalu, dimana foto sahabat tuan? “ tanya Deris.
“ sebentar, aku cari dulu.”
Ayahku membolak-balikkan halaman, mencari foto sahabatnya. Ia berhenti disatu 
halaman yang terpampang beberapa foto didalamnya. 
“ nah ini dia,” seru ayahku. Jarinya mengunjuk kefoto sahabatnya.
Begitu kami semua melihat foto itu, aku dan Deris saling bertukar pandang, aku 
dan Deris begitu tak percaya dengan semua ini,  sahabat ayahku yang ada difoto 
itu adalah Ali.

******

17.
Aku benar-benar tak percaya, begitu juga dengan Deris. jadi selama ini yang 
menerorku adalah Ali ?,  - maksudku, hantunya Ali ?. kami menceritakan semua ini 
pada ayah dan ibuku.  Ayahku berkata bahwa namanya adalah Ali Fathir  –  itu 
memang benar, dia benar-benar  Ali teman kami yang humoris. aku ingin sekali 
menangis begitu tahu yang sebenarnya. Ali selalu membuatku tertawa, bahkan 
disaat aku dirawat kemarin. Tapi nyatanya dialah hantu yang selama ini berusaha 
mencelakaiku, berusaha merebut peran dariku dan Dodi.
Aku bisa mengira bahwa disaat Ali tewas dia memakai sweater bergaris merah 
hitam. jadi setiap kali bertemu dengan kami, dia tak pernah mengganti 
pakaiannya,
Aku teringat disaat aku hendak mengantarkan Ali pulang kerumahnya, sehabis 
kami dari rumah Deris. dia berkata rumahnya hanya  beberapa blok dari sekolah, 
itu maksudnya tempat dimana dirinya tewas.
Aku teringat disaat adiknya Deris terkena sawan, itu karena kami mengajak Ali 
kerumahnya.
Aku dan Deris bertanya pada anggota kru, terutama yang bertugas sebagai penata 
lampu, mereka bilang selama pentas berlangsung tidak ada Ali diatas panggung. 
Ya.., karena Ali lah yang selama ini mencengkram bahu Deris dan melayang tanpa 
bantuan, menceritakan saat dia tewas ditengah para penonton. Setelah itu dia 
terbang dan lenyap, hatinya tenang dan puas.
Acara reuni akbar selesai, aku masih begitu tidak percaya dengan Ali. aku 
berpamitan  pada Deris, Dodi, dan teman-teman yang lain.  Aku dan kedua orang 
tuaku sudah naik kemobil, kami bersiap-siap untuk pulang. Mobilku  melaju 
perlahan dihalaman sekolah karena banyaknya orang-orang yang berlalu lalang, 
aku memperhatikan seseorang yang sepertinya kukenal sedang berdiri tegap 
dibawah sebuah pohon. dia memakai sweater bergaris merah hitam, itu Ali.
Aku memperhatikannya dari balik jendela mobil saat mobilku  melewatinya. aku 
terkejut, Ali juga memandangku, tersenyum lebar penuh kepuasan dan rasa 
berterima kasih. Matanya yang tajam dan menyala terus melihatku,  kami saling 
bertatapan.  sampai akhirnya Ali menghilang dalam angin  dan  mobilku melesat 
jauh.  Aku menutup wajahku dengan kedua tangan,  bersedih karena  masih tidak 
percaya  –  dalam  hati aku berkata.  “  selamat tinggal temanku yang humoris, 
sekaligus sahabat ayahku.., aku harap setelah ini kau bisa pergi dengan tenang.”

******

~ THE END ~