STORY BY : AL-FATHUR RIDWAN
1.
Graphyca Hight School – ya, sekolah seniku ini terkenal keren dan mahal didaerah
bagian sudut Ibukota negara, namun ada beberapa orang yang bisa dibilang
kurang mampu berhasil masuk kesekolah ini karena kecerdasannya. Maksudku…,
mereka mendapat beasiswa. gedung Graphyca ini sangat mewah, memiliki lima
lapangan untuk segala bidang olahraga, kecuali kolam renang. Entah kenapa kami
harus membayar mahal sekolah ini tetapi tidak dibuatkan kolam renang. Aku juga
bingung, tapi itu tidak penting.
Sekarang sudah pertengahan Bulan November 2014, sebulan lagi,
tepatnya ditanggal 21 Desember sekolahku itu merayakan hari jadinya, dan tahun
2014 ini tepat menginjak tahun kelima setelah Reuni akbar sebelumnya.
Sekolahku selalu mengadakan acara Reuni akbar selama lima tahun sekali, acara
Reuni akbar memang bisa dibilang acara yang sangat mengesankan, semua
angkatan dari tahun ketahun akan berkumpul, angkatan yang belum lulus dengan
beserta para Osis selalu mengadakan pertunjukan seperti opera, konser musik,
dan bazar-bazar tempat mereka berjualan – Setahuku. Namun entah dengan
acara disekolahku nanti, karena memang aku belum pernah merasakan yang
namanya Reuni akbar sekolah, walau aku sudah kelas dua belas. Aku bisa
membayangkan, aku akan bertemu dengan para alumni disemua angkatan,
mungkin diantara mereka ada yang sudah bekerja, menikah, bahkan memiliki
beberapa anak.
“ Senja !! Cepatlah kita sarapan dulu. “ Teriak ibuku memanggilku. Aku sigap
memakai sepatu dikamar dan berlari menuju meja makan. Sengaja aku tidak
menyisir rambut hitam mengkilatku dengan sisir, hanya merapikannya dengan
jari-jari tangan. – kupikir, rambut yang acak-acakan tidak disisir itu keren untuk
seorang Cowok kan ?.
pagi ini seperti biasanya, aku hanya sarapan sereal dengan susu full cream, entah
mengapa perutku selalu sakit bila makan roti, nasi, dan telur. Sebenarnya sereal
tidak begitu mengenyangkan, tapi untung saja porsi makanku selalu sedikit. Itulah
mengapa sebabnya aku kurus. Aku tidak memperdulikan badanku yang kurus ini,
karena salah satu anggota tubuh yang aku banggakan adalah hidungku yang
mancung dan sedikit melengkung terjal kebawah, seperti paruh Elang. Banyak
teman-teman disekolah yang memuji hidungku, beberapa orang lain juga mengira
aku keturunan Arab, Afganistan, dan Turki karena memiliki hidung yang mancung
– padahal aku bukan berdarah campuran dari Negara manapun. Memang aku
menyadari aku memiliki alis yang tebal dan hidung kebanggaanku ini yang seperti
paruh Elang, wajahku jadi seperti orang-orang timur tengah.
Aku sudah menyelesaikan sarapanku, begitupun ayahku dan ibuku. Ayah selalu
mengantarkanku kesekolah sebelum akhirnya berlanjut kekantor, ia selalu
cerewet kalau aku sedikit lama untuk masuk kemobil, karena ayahku sifatnya
sangat disiplin – ia jarang sekali terlambat, tidak pernah menunda waktu untuk
rapat dengan para karyawannya, ayahku adalah orang yang sangat sibuk. Ia
bekerja sebagai direktur pengrevisi dokumen di perusahaan Majalah ternama kota
ini. sesuai latar belakangnya, ayahku adalah penulis sejak kuliah, hobinya itu
dimulai sejak masih remaja - dalam mengarang kata-katanya sangatlah luar biasa.
Setiap karya yang ditulis ayahku selalu disukai banyak orang. Bahkan, salah satu
judul Novelnya pernah diangkat menjadi sebuah Film layar lebar. Yang lebih
hebatnya lagi, ayahku adalah Alumni Graphyca tahun angkatan 1994 dan lulus
diusia kedelapan belas tahun, sama sepertiku. Keren kan !!.
******
Lima belas menit sebelum bel masuk berbunyi, aku sudah sampai disekolah. Aku
melihat Deris teman perempuanku sudah ada dikursinya dalam kelas. Ia terlihat
asyik mengobrol dengan teman perempuannya yang lain. Deris adalah cewek
tomboy, ia memiliki rambut yang lurus sebahu, dengan poni menyamping dan
kedua anting bulat hitam yang menempel ditelinganya. Yang paling aku suka dari
Deris saat ia tertawa, wajahnya terlihat jauh lebih manis karena gigi Gingsul
disebelah kanan yang selalu menghiasi tawanya. Kenapa aku sangat dekat dengan
Deris ?, selain teman sekelas, Deris juga tetanggaku. Rumah kami hanya berjarak
satu Blok. Terkadang aku iri sama Deris, orang tuanya selalu membebaskan dia
untuk menggunakan motor Vespanya kapan saja. Ya, Motor Vespa berwarna
kuning cerah. – bahkan untuk pergi kesekolah Deris rajin membawa Vespanya itu.
Sempat tempo hari ayahku tak bisa mengantarkanku kesekolah, dengan terpaksa
aku menumpang diVespa Deris. Sebagai anak laki-laki, aku merasa malu, tetapi
ibuku juga memaksa. Jadi apa boleh buat, dari pada terlambat.
“ pagi Deris, “ Sapaku datar, menghampiri kursiku tepat disamping kursi Deris. Aku
duduk seraya melepaskan ranselku. Kursi kami dibarisan kedua dari belakang,
sementara kursi dibelakang kami kosong.
“ hey Senja, tumben kau datang sebelum bel berbunyi ? “ sahutnya bersemangat.
“ ya, kau tau sendiri ayahku seperti apa kalau aku lelet. “ Kataku lagi sambil
mengeluarkan buku sastra Bahasa dan beberapa bolpoin. Memang, jam pelajaran
pertama hari ini adalah Sastra Bahasa yang diajar oleh nyonya Laura.
“ kau tau tidak ? “ Tanya Deris lagi, menggeser kursinya lebih dekat kesampingku.
“ apa ? “
“ aku sempat bertemu nyonya Laura tadi pagi, katanya sekolah kita mengadakan
pentas Teather untuk acara Reuni akbar nanti.”
“owh.“ Jawabku singkat tanpa menoleh ke Deris, sambil membalik-balikan
halaman Buku cetak Sastra dimeja.
“ owh..??, kau cuma bilang Owh ?? “ Protes Deris. “ hey, kau ini kenapa sih ? “
“ tidak apa-apa, “ Kataku. “ aku hanya kurang semangat pagi ini.“
“ pasti karena kau kurang sarapan ya, kau hanya makan sereal dan susu kan ? “
Deris menebak, dan itu sungguh benar. Seperti kataku tadi, kami saling dekat
sampai-sampai kebiasaanku dirumah hampir diketahuinya. Ya itulah tetangga. Aku
tersenyum padanya karena tebakannya itu. “ ya, mungkin, tapi aku tidak akan
kembali lapar sampai sore, walau porsiku sedikit.” jawabku – Memang aku cepat
merasa kenyang, tapi karena aku hanya sarapan sereal, akibatnya aku kurang
mendapatkan energi hingga begitu tak bersemangat. Jadi kalau kau sering melihat
iklan ditelevisi tentang sereal dan susu selalu bikin sema ngat dipagi hari,
menurutku itu bohong besar. Tergantung dari kitanya juga sih,
Bel dimulainya pelajaran sudah berbunyi, nyonya Laura memasuki kelas selalu
tepat waktu. Beliau terlihat masih muda walau sudah memiliki seorang bayi,
walaupun begitu tubuhnya tetap langsing dengan pakaian sopan khas seorang
Guru, rambutnya disanggul serta memakai kacamata berbingkai coklat tua yang
mengkilat karena cahaya lampu kelas. Nyonya Laura datang dengan membawa
setumpuk buku besar dan buku absen, buku-buku itu diletakan dimeja guru,
sebelum akhirnya ia berdiri ditengah kelas dan mengumumkan sesuatu. Sesuatu
yang akan menjadi penyebab hidupku ketakutan dihari-hari berikutnya.
******
2.
Nyonya Laura mendehem, memberi isyarat agar seluruh murid dikelas segera
tenang untuk mendengarkan pengumuman yang akan dibicarakannya.
“ akan kuberi tahu sekali lagi, karena mungkin diantara kalian ada yang sudah
kuberi tahu tadi pagi.” tegasnya, melirik setiap sudut kelas seperti sedang
berpidato. “ sekolah kita mengadakan sebuah pertunjukan teather, dalam rangka
hari ulang tahun Graphyca serta reuni akbar akhir Desember nanti. “
“ waah asyiik !! .“ Seru beberapa temanku dibarisan depan, namun sebagian lagi
merasa biasa saja karena mereka sudah mendengarnya tadi pagi, sama seperti
Deris.
“ cerita apa yang akan ditampilkan nyonya Laura ? “ Tanya seorang anak laki-laki
yang berbadan gemuk. “ apakah ada kru-kru ? “
“ tentu saja, “ Jawab nyonya Laura mengangkat kedua alisnya. “ tidak semua yang
terpilih menjadi peran, hanya beberapa anak, dan sisanya baru menjadi kru, tapi
masalahnya..”
“ apa masalahnya ? “ kata laki-laki gemuk itu lagi memotong pembicaraan.
“ sekolah belum menyiapkan cerita yang pasti, jadi kebetulan sekarang jam
pelajaran sastra bahasa, kalian hanya aku tugaskan untuk mengarang sebuah
cerita kalian sendiri, temanya bebas, siapa diantara kalian yang ceritanya bagus,
akan aku jadikan cerita itu sebagai cerita opera yang akan kita perankan nanti.”
jelas nyonya Laura. “ tapi ini bukan sekedar untuk siapa yang akan lebih bagus
mengarang cerita.., ini juga tugas kalian, kalian bisa kerjakan sekarang dan
dikumpulkan besok lusa, - kalau tidak nilai kalian kosong dibuku absen.”
“ ini tidak adil nyonya Laura!“ Protes seorang anak perempuan yang duduk paling
depan. “ masa hanya kelas kami yang menjadikan cerita ini sebagai tugas juga? “
“ tenang saja amel, “ Sahut nyonya Laura menenangkannya, semua kelas akan aku
beri tugas yang sama, terutama kelas dua belas seperti kalian.”
“ bagus. “ Fikirku – aku belum pernah mengarang cerita, aku tahu sebenarnya
mudah sekali untuk itu. Ayahku kan seorang penulis handal, aku bisa memohon-mohon kepada ayahku agar dituliskan sebuah cerita. Tapi itu mustahil, ayahku
sangat sibuk, saking sibuknya aku pernah meminta diberikan seorang adik, namun
ibu tak kunjung hamil. Makanya aku sampai sekarang adalah anak tunggal -
Bukannya apa-apa, itu karena ayahku memang sibuk, tidak ada waktu untuk
membuatkanku seorang adik. lagipula, ayah juga akan menolak karena tahu ini
tugas sekolahku, jadi dia tidak akan mau bila tugasku bukan aku sendiri yang
mengerjakan.
Aku mulai bingung memikirkan tugas ini, aku memutuskan untuk melanjutkannya
dirumah. Bukan melanjutkan sih sebenarnya, tapi baru mau memulai untuk
menulis dirumah. Karena selama pelajaran sastra bahasa tadi aku tidur dikelas.
Nyonya Laura meninggalkan kelas karena ada urusan lain, memberi pesan agar
kelas kami tidak berisik selama jam pelajaran. Benar saja, kelas kami sangat sunyi
dan tentram – karena sebagian kecil dari kelas kami serius dalam mengarang
cerita, dan sebagian besar dari kelas kami memilih untuk menulis dirumah saja,
termasuk aku. dan kami memilih tidur dikelas pada saat itu. Masih ada waktu Lusa
ini – fikirku.
Selang waktu beberapa jam, waktunya untuk pulang. Aku terbiasa pulang naik Bus
karena ayah atau ibu tak mungkin menjemputku, aku melihat teman-temanku
dijemput supirnya, bahkan orang tuanya sendiri.
“ idih.., udah besar masih dijemput.” Gumamku geli, memperhatikan mobil
mereka yang melewatiku. Tapi aku juga iri terhadap teman-temanku yang pulang
pergi membawa motor mereka sendiri. sesampainya aku di Halte yang tak jauh
dari sekolah, menunggu Bus tiba. Namun, dari arah sekolah Deris datang dengan
Vespa kuningnya, berhenti tepat didepanku berdiri, dan membuka Helm vespa
yang bulat dengan warna yang serasi dengan Vespanya itu.
“ Senja.., masih nunggu Bus ? “ Tanya Deris sembari merapikan rambutnya yang
berantakan karena helm. Aku hanya mengangguk, aku tahu dia akan mengajakku
pulang bersama, memberi tumpangan dijok belakang.
“ pulang denganku saja yuk !? “ Ajaknya. Benarkan kataku. Adegan-adegan seperti
ini sudah sering kami lakukan disaat Deris melihatku sedang menunggu Bus di
Halte.
“ hmm, tidak ah..” aku menolak.
“ kenapa ? “ Tanya Deris lagi, memicingkan matanya karena silau matahari. “ kau
gengsi ya.., diboncengi perempuan ? – hahaha” Tawanya mengejek. Tetapi aku
biasa saja karena kata-kata itu juga sudah sering terdengar ditelingaku. “ tidak
apa-apa Senja.., jaman kan memang sudah berubah, ayolah cepat !!, panas nih “
Deris terus memberi tawaran. Aku tetap diam, sesekali melirik keujung jalan untuk
memastikan Busnya sudah datang atau belum. Ternyata belum.
“ ayo dong, aku tidak enak bila ibumu melihat aku pulang tanpa mengajakmu “
Mendengar rengekan Deris, akhirnya aku menerima ajakannya, sayang sekali aku
tidak bisa mengendarai Vespa. Aku hanya bisa mengendarai motor biasa, jika saja
aku bisa – aku akan terus meminta pada Deris biar aku saja yang menyetir
Vespanya.
******
Kemana ibu ?, - dirumah tidak ada orang, apakah ibu kesalon tetangga ?. atau
sedang membantu nyonya Sinta untuk berjualan kue ? – fikirku. Memang biasanya
setiap aku pulang sekolah dan tidak ada ibu dirumah, ia selalu mengatakan setelah
kembali kalau dirinya habis dari Salon tetangga atau dari toko kue diseberang
jalan komplek untuk membantu nyonya sinta, sang pemilik toko kue. Ibuku dan
nyonya sinta memang begitu akrab. Sembari menunggu ibuku pulang, aku hanya
makan siang dengan roti selai dan susu, kuambil susu kotak dari kulkas dan
membawanya kemeja makan. teringat kembali dengan tugas nyonya Laura tadi,
aku menghela napas. “ tidak bisa tidur siang hari ini. “ – aku memutuskan. Atau
nyonya Laura akan marah dan nilaiku Nol.
Setelah makan siang, aku mengambil beberapa kertas bergaris dilaci meja kamar
orang tuaku. Kertas-kertas ini biasa dipakai untuk ayah bekerja dikantor, tapi
kurasa ini hanya kertas-kertas yang tersisa, jadi tidak masalah bila aku
memakainya. Aku kembali kemeja makan membawa beberapa kertas bergaris itu
dan sebuah pena. Aku harus menyelesaikan cerita karanganku, aku harus bisa
mahir menulis, jangan mau kalah dengan ayah – gumamku. Mengetuk-ngetukan
pensil ke meja. Tapi cerita apa yang akan kubuat, aku mengkerutkan dahi,
menggigit bibir bawah, melirikan bola mata kesegala arah, memutar otak untuk
menemukan ide cerita yang akan kutulis.
“ aku tahu !! “ Seruku bersemangat, aku akan menulis cerita tentang waktu
liburanku bersama ayah dan ibu pergi kerumah kakek-nenek didesa.
“ tidak..tidak..tidak..,“ Aku menggelengkan kepala. Itu adalah cerita anak-anak TK,
lucu sekali diacara Reuni Akbar Hight School menampilkan teather tentang
keluarga yang berkunjung kerumah kakek-nenek. “ pffft…,”.
Sebenarnya aku tak begitu mengharapkan ceritaku ini terpilih untuk dipentaskan,
aku hanya ingin membuat cerita agar nilaiku tidak kosong dibuku absen – Hanya
itu. Aku terus berpikir, cerita apa yang akan kubuat. Manusia serigala..,
Pengembala Domba.., kehidupan planet Mars, atau manusia serigala yang
mengembala domba di planet Mars ?. ide buruk.
Aku bingung – apakah aku bisa menulis cerita yang panjang sampai besok Lusa ?.
Kertas-kertas ini masih bersih tanpa coretan pena. Aku tidak bisa seperti ayahku,
memang aku tidak berminat untuk mengikuti jejak ayah menjadi seorang penulis,
aku lebih bercita-cita ingin menjadi seorang Fotographer.
“ waah iya,“ Seruku lagi. “ kenapa tidak kepikiran dari tadi.” aku ingat ibu
menyimpan Koran-koran dan majalah tua digudang belakang. Sebagian dari
majalah itu tersimpan cerita-cerita untuk anak remaja sepertiku. Aku sempat
melihat-lihat majalah itu tempo hari. Bagaimana kalau aku menyalin saj a cerita
dari majalah tua itu.” ya, ide bagus! ” – kataku bersemangat. Aku tahu ini curang,
tapi aku memang tak mengharapkan ceritaku terpilih untuk dikonteskan, sekali
lagi.., aku hanya ingin nilai sastraku terisi.
Greek !!, - suara pintu Gudang belakang yang sudah tua, berderit disaat aku
membukanya. Pintu itu terbuat dari kayu dengan engsel yang sudah berkarat.
Ruangan gudang dirumahku ini jarang dimasuki oleh kami, keluarga kami. Kecuali
bila ayah ada libur, ia selalu kegudang ini untuk mengambil beberapa barang
bekas dan alat-alat tukang untuk membuat sesuatu, entah apa yang dibuatnya.
Walau ayahku seorang penulis dan bekerja dikantor, dia juga berbakat menjadi
kuli bangunan loh.., *lagi-lagi ayahku.
Aku mencari dimana majalah-majalah itu diletakan, gudang ini sungguh pengap,
ruangnya remang-remang karena hanya disinari oleh satu bohlam kecil bercahaya
kuning, disini juga banyak sekali debu, beberapa kali aku bersin sampai hidungku
merah. Aku semakin kedalam menelusuri beberapa Lemari reot untuk
menemukan setumpuk majalah tua. “ nah, ini dia !! “ aku menemukannya.
Beberapa majalah kubuka dari halaman kehalaman lain, aku belum menemukan
cerita yang kumaksud. Disini hanya ada gambar-gambar bangunan mewah dan
beberapa selebritis saja. “ dimana sih ceritanya ?? “ – aku mulai kesal. Aku sudah
berulang-ulang membuka halaman-halaman ini, aku juga lupa majalah apa yang
dulu pernah kubaca. Cerita anak remaja itu.
Aku menyerah, tidak kutemukan, aku juga tidak tahan berlama -lama digudang ini.
Begitu gerah, panas, debu-debu yang berterbangan membuat hidungku semakin
gatal, mataku juga sesekali terkena debu. “ aku harus bagaimana ? ” – rintihku.
Sekali lagi aku mencari majalah lain, aku menemukan satu majalah dibawah lemari
reot ini. Sepertinya ini Tabloid, - “ Baguus !! “ Biasanya Tabloid menyimpan banyak
cerpen-cerpen karya anak muda. Aku akan menyalin salah satu ceritanya. Begitu
aku hendak mengambil tabloid itu, seekor tikus besar bercicit dan melompat tepat
ke wajahku.
“ uwaaa !!! “ Aku sangat terkejut, yang aku pegang adalah seekor tikus yang
sedang berada dipinggir tabloid itu. tikus itu mecakar pipiku, untungnya tidak
berdarah, tapi kagetnya minta ampun, aku melangkah mundur karena panik,
kakiku terpeleset debu dilantai dan jatuh kebelakang menghantam lemari reot
yang lain – akibatnya, beberapa berkas-berkas, serta buku-buku tua terjatuh dari
susunannya menimpa diriku. tikus itu pergi, secepat kilat ia berlari kesudut yang
lebih gelap.
“ haduuuh,” keluhku, seraya membersihkan debu-debu yang menempel dirambut
dan bajuku. “ dasar tikus brengsek!”
Aku hendak bangkit dari posisi jatuhku ini, ingin mengambil Tabloid itu. Namun
sebuah berkas tumpukan kertas yang terjilid rapi jatuh dari pangkuanku pada saat
aku berdiri. Aku memperhatikan buku yang dijilid itu, buku itu masih bersih dan
rapi, seperti masih baru dijilid. aku mengambilnya – cover jilid berwarna hijau,
hanya ada sekitar tiga puluh lembar.
“ ini seperti naskah yang dicetak..,” kataku. membuka cover hijaunya, ada tulisan
besar di halaman utama.
- TUGAS NASKAH TEATHER GRAPHYCA HIGHT SCHOOL. 21-DESEMBER-1994
“KESATRIA ELANG DAN SINYORITA”. By : Angkasa Surrayhan. Kls : XII-D
“ woow !!,” aku tak percaya. Ini naksah cerita teather milik ayahku. Angkasa
Surrayhan adalah nama ayahku. Ternyata dia pernah menjadi seorang penulis
naskah untuk pertunjukan teather di acara Reuni akbar, tahun dimana ayahku
masih kelas dua belas. Aku membaca sedikit cerita ayahku ini tentang kesatria
elang, ceritanya sangat menarik, tentang kesatria elang yang membela kebenaran
terhadap para perampok yang selalu mengganggu perdesaan. Ia bertopeng
dengan jubah merahnya. Kesatria itu jatuh cinta terhadap seorang wanita
bernama Sinyorita. Namun ternyata Sinyorita itu adalah putri semata wayang si
raja dari anggota perampok itu, padahal mereka sudah sangat saling mencintai,
namun si raja rampok tidak mengizinkan mereka berhubungan. Satu syarat agar si
raja rampok itu merestui cinta mereka adalah, kesatria elang harus berhenti
mencegahnya merampok desa, bahkan kesatria elang harus menjadi anggota
rampok tersebut. – dan seterusnya.
“ ayah.., kau memang luar biasa dalam mengarang cerita..” gumamku kagum,
mengingat wajah ayahku dikepala. Aku akan menyalin ceritamu ini. ya, sekedar
nilai sastra saja. Tapi masalahnya, apakah aku mampu menyalin sebanyak tiga
puluh lembar sampai besok lusa. Tidak, aku akan menyalin yang pentingnya saja.
Kata nyonya Laura, semua mengarang cerita jangan terlalu panjang. Kecuali kalau
cerita itu terpilih untuk dipentaskan, barulah diubah kembali menjadi naskah yang
begitu panjang, sampai akhirnya dipentaskan di auditorium sekolah. Mungkin,
dulu ayahku juga mengarang cerita ini begitu singkat, tetapi karena cerita ayahku
yang terpilih, ia diminta harus kembali merevisi ceritanya menjadi sebuah naskah
dalam beberapa minggu – aku rasa begitu.
Keputusanku sudah bulat, aku benar-benar akan merangkum kembali cerita
ayahku ini. Nyonya Laura tidak akan tahu, karena cerita ini sudah rampung sejak
tahun 94’. Aku lupa akan tabloid yang hendakku ambil, biarkan saja. Tabloid itu
jadi mainan para tikus.
Sebelum aku keluar dari gudang ini, aku harus membereskan dulu buku -buku yang
berjatuhan akibatku tadi. Ayah bisa marah kalau tahu gudang ini berantakan
karena aku. Aku merunduk mengambil buku-buku yang berserakan, tapi aku
terdiam, menahan napas dengan yang baru saja terjadi, aku melihat bayangan
hitam yang menghampiriku dari belakang. Bayangan itu memantul didepan
pandanganku. Aku tak bergerak, mataku membelalak, terpaku menatap bayangan
itu semakin besar, semakin medekat, suara langkah kaki juga terdengar jelas
ditelingaku.
“ itu siapa ? “ Tanyaku cemas dalam hati. Ternyata aku tidak sendirian digudang
ini. Jantungku berdegup kencang, menunggu apa yang dia lakukan dibelakangku.
Aku semakin takut melihat bayangan itu semakin dekat. Ia sudah berdiri
dibelakangku, tangannya mencengkram bahuku. Cepat-cepat aku membalikan
badan dan dia memperhatikanku dengan marah. Wajahnya penuh lendir kental
berwarna putih, matanya melotot. “ Waah !! “ Teriakku.
******
3.
“ Senja, kau sedang apa!? “ Ibuku baru saja pulang entah dari mana. Tapi masker
putih yang berlendir diwajahnya serta bandana jingga yang dipakainya itu
memperjelas bahwa ibuku habis dari Salon tetangga. Aku menghela napas lega
sekaligus gugup harus bilang apa ke ibuku.
“ ibu, bikin kaget saja, “ Kataku sedikit bergetar. “ kenapa ibu menyelinap
kegudang tanpa memanggilku sih? ”
“ ibu hanya memastikan itu kau, ibu dari salon tetangga, hanya ingin maskeran
wajah, tapi ibu ingat sekarang sudah siang, ibu sadar kau akan pulang sekolah.”
Jelasnya seraya meratakan kembali cairan kental masker yang melekat diseluruh
wajahnya.
“ tadinya ibu ingin kekamar mandi untuk membersihkan masker ini tetapi ibu
melihat pintu gudang terbuka, langsung saja ibu kesini, dan ternyata kau – sedang
apa kau disini? “ desaknya lagi.
Aku memutar bola mataku, mencari alasan yang tepat untuk tidak ketahuan kalau
aku akan menyalin cerita orang untuk tugas karanganku. Percuma bila aku jujur,
ibuku banyak tanya. Bila tahu, ia akan melapor ke nyonya Laura kalau cerita yang
aku tulis bukanlah karangannya. Tega sekali bukan, untuk peran seorang ibu,
tetapi aku paham, maksud ibuku hanya untuk anakanya mandiri dalam tugas,
tidak curang dalam melakukan apapun untuk dirinya sendiri. Tapi untuk kali ini
aku khilaf.
“ tadi disekolah, guru memberi tugas untuk membuat soal dari buku ujian bu,”
Aku mulai mendapatkan alasan yang tepat. “ aku kegudang hanya ingin mencari
buku ujian lamaku ini, dan aku mendapatkannya” Maksudnya, buku jilid naskah
ayahku yang aku peluk erat, sengaja untuk tidak memperlihatkan judul naskah itu
– aku bilang ini adalah buku ujian lamaku.
“ hmm, bagus, “ ibu tak curiga sama sekali, ia langsung percaya dan mengajaku
keluar dari gudang.
Aku mulai merangkum beberapa adegan penting dari cerita Kesatria elang ini
dikamar, kurasa aku akan selesai tepat tengah malam, Jadi besok aku bebas dalam
tugas menulis. Jangan sampai ayah tahu kalau karyanya ada yang menjiplak, dan
dia adalah putranya sendiri, hihihi…, aku cekikikan tanpa bersuara.
******
Sudah saatnya aku dan yang lain mengumpulkan hasil karangan kami masing-masing. Aku sedikit merasa bersalah kepada ayahku dan diriku sendiri, tetapi aku
mencoba untuk tidak memperdulikan itu, lagipula cerita ini hanya sekedar
dikumpulkan, aku sangat yakin bahwa cerita karanganku, maksudku karangan
ayahku itu tidak akan terpilih, karena sebenarnya aku juga kurang pandai dalam
merangkum. Hmmm.. hebat ya,
“ aku berani taruhan,“ Kata Deris mencondongkan badannya mendekatiku. “
cerita Dodi yang akan terpilih. “
“ kau yakin ? “ Jawabku kurang percaya “ menurutku cerita Amelia ya ng akan
dipilis untuk teather .“
“ hey, Amelia hanya jago membuat puisi ,“ Deris menyangkal. “ aku yakin, cerita
Dodi yang akan terpilih, dia itu memang bakat menjadi penulis, dia juga selalu
menang kalau ada lomba menulis. “ Aku hanya diam, tidak menghiraukan
omongan Deris lagi ketika ia bicara soal Dodi – Dodi itu adalah teman sekelas
kami, dia begitu sombong dan merasa dirinya paling hebat, terutama dalam
bakatnya menulis. Memang sih, Dodi sudah tiga kali ikut perlombaan mengarang
dan selalu mendapat juara, tapi aku, Deris dan beberapa teman yang lain sedikit
sebal padanya, sampai-sampai dia jarang sekali bergaul. Tempat Dodi berada
dibarisan ketiga dari depan, tepat dibarisan kami. Tinggi badanya sama denganku,
hidungnya gak kalah mancung namun pipinya lebih tirus, dia juga memiliki tahi
lalat kecil di bibir bagian kanan bawah. Yang paling aku dan Deris tidak suka saat
dia melirik orang, matanya selalu bergerak dari kepala sampai kaki orang yang
diliriknya. Ya, dengan mata angkuhnya, Dodi itu memiliki sifat pendendam.
“ sudah kumpulkan semua ? “ Tanya nyonya Laura. Mengangkat tangannya yang
memegang beberapa kertas hasil karangan para murid.
“ sudah nyonya, “ Jawab kami serempak.
“ bagus .“ – nyonya Laura memeriksa hasil karangan kami, membaca satu-persatu
dari semuanya. Ia memang memiliki keahlian dalam membaca ribuan kata-kata
dengan waktu yang singkat, asal dalam keadaan sunyi. Makanya kami sekelas
disuruh untuk diam, menunggu nyonya Laura selesai membaca semua. Ini benar-benar membosankan.
Aku melipat kedua tanganku dimeja, meletakan kepalaku untuk tiduran.
Menunggu nyonya Laura selesai mengoreksi tugas-tugas kami. Beberapa anak lain
melakukan hal yang sama denganku. Deris memainkan rambutnya dan sesekali
menciumnya. bosan.., bosan.., bosan.., benakku. Sangat sunyi, hanya terdengar
jarum jam berdetak dan gurauan murid-murid kelas lain disebelah.
“ Senja,” tiba-tiba nyonya Laura menoleh kearahku, memanggilku. Sontak aku
bangkit dari sandaran kepalaku dimeja. Tanganya melambai-lambai memanggilku
untuk maju kedepan, seluruh mata dikelas ini melirik kearahku.
“ ada apa ya ? “ Aku bertanya pada Deris, namun ia hanya mengangkat bahu. Aku
maju menghampiri nyonya Laura yang duduk sigap ditempatnya, memegang
kertas karangan milikku itu. “ ada apa nyonya memanggil saya ? “ Kataku gugup.
“ ini milikmu kan ? “ Nyonya Laura mengunjukan kertas itu didepan wajahku.
“ i.. iya, itu tugasku .“ Aku semakin gugup, kenapa hanya aku yang ditanya seperti
itu, padahal tugasku ini bukanlah yang pertama untuk diperiksa. Apakah nyonya
Laura tahu kalau itu adalah cerita karangan ayahku ?, apakah nyonya Laura tahu
kalau aku sudah berbuat curang ?, matilah aku. nilaiku akan kosong, ayah dan ibu
akan tahu, mereka akan marah dan menghukumku. Tidak, - aku melirik keseluruh
sudut kelas. Semua mata menatapku, Deris, bahkan Dodi yang menatapku paling
tajam. Memperhatikanku dari ujung kepala sampai kaki.
“ Kisah tentang Kesatria elang dan Sinyorita,” nyonya Laura membaca judul itu
dengan keras, suaranya sangat jelas sampai keseluruh ruang. “ ini karya dari
teman kalian Senja Surrayhan, “ Matanya sekilas meliriku. “ ceritanya ini sangat
menarik, aku sudah memutuskan karya dari Senja yang kupilih, ceritanya akan
segera kita pentaskan.”
“ apa !!? “ aku terkejut. Semua bertepuk tangan, Deris bertepuk tangan sambil
berdiri. Kulihat Dodi diam saja, semakin memandangku sinis. Nyonya Laura
mendekatiku, merangkul bahuku penuh bangga.
“ aku suka karanganmu, kau mewakili kelas ini sebagai penulis teather ditahun ini,
aku minta kau kembangkan lagi karanganmu ini menjadi sebuah naskah,”
Jelasnya. “ Naskah yang panjang, kuberi kau waktu beberapa hari untuk
menyelesaikannya, bagaimana ?”
“ terimakasih nyonya Laura, aku bisa “ Aku bergurau.
Nyonya Laura kembali berdiri ditengah kelas, seperti ingin mengumumkan
sesuatu. “ cerita ini akan dibuatkan naskahnya oleh senja, dan aku sudah
menentukan, dialah yang akan menjadi pemeran utama diceritanya.”
Semuanya bersorak, kembali bertepuk tangan akan diriku yang langsung terpilih
menjadi peran utama. Ya, si kesatria elang itu. Kembali kulirik Dodi memasang
wajah yang semakin benci padaku, ia menggretakan giginya – seolah tidak terima,
dia pikir, harusnya karangan dia yang terpilih . Sifat sombong dan sok hebatnya
kambuh, menatapku penuh dendam.
Aku sendiri semakin bingung dan panik. “ kenapa harus aku nyonya ?? “ Protesku.
“ karena ini karanganmu kan ? ” balasnya. “ kurasa tokoh utama diceritamu sangat
cocok denganmu, kau memiliki hidung seperti paruh elang. “ Canda Nyonya Laura,
menyentuh-nyentuh hidungnya.
“ tapi, aku takut tidak bisa “. Kataku kembali gugup.
“ Hahaha.., kau aneh senja, kalau cerita ini karanganmu, harusnya kau sudah bisa
menjiwai setiap karakter diceritamu, apa jangan-jangan ini bukan karyamu ? “
Wajah nyonya Laura berubah curiga. Memicingkan matanya padaku.
“ oh tidak, ini karyaku kok, iya aku pastinya bisa berperan sebagai kesatria elang,
mungkin aku hanya gugup tadi. “ Kataku penuh alasan.
Aku semakin merasa bersalah – Ini bukanlah karyaku, ayah memang benar -benar
hebat sebagai penulis. Padahal aku tidak begitu bagus merangkum ceritanya,
tetapi dengan sinopsisnya yang menarik, tetap saja terpilih. Yang jadi masalah,
bagaimana bila ayah tahu saat ia menonton pertunjukan itu ?, pastinya. Ayahku
juga alumni Graphyca, ia akan datang saat acara reuni akbar nanti. Aku tidak bisa
membayangkan betapa kacaunya aku disaat ayahku tahu, disaat teman-teman
seangkatan ayahku juga menontonnya, lalu mereka tidak terima, mereka protes
kepada nyonya Laura sebagai guru sastra, dan nyonya Laura tidak akan pernah
memaafkanku. Aku harus tenang, itu tidak akan terjadi. Semoga saja.
******
Untung buku naskah berjilid hijau ini tidak aku kembalikan kegudang, aku
menyimpannya didalam laci meja belajarku – jadi aku tidak usah repot-repot
kembali kegudang untuk mengambilnya. Aku sudah punya rencana, kali ini aku
tidak akan menyalin cerita ini. Aku ingat perintah nyonya Laura tadi pagi, cerita
yang terpilih kembali ditulis menjadi sebuah naskah. Ya.., menjabarkan setiap
adegan yang kami rangkum. Aku akan membawa buku jilid ini langsung ke nyonya
Laura, halaman depannya kusobek perlahan - yang tertulis nama ayahku itu. Tidak
akan ada yang tahu kalau naskah itu sudah bertahun-tahun karena keadaan
kertasnya yang masih bagus. Aku meyakinkan diri, tidak ada yang akan menuntut,
aku baru ingat kalau ayah pernah cerita bahwa sebagian besar teman-teman Hight
schoolnya pindah keluar kota setelah mereka menikah, bahkan banyak juga yang
keluar negri. Jadi kemungkinan besar angkatan ayahku tidak datang keseluruhan
diacara reuni akbar. Huuuhh, sedikit lega rasanya.
Aku mencoba untuk lebih memahami ceritanya, agar nyonya Laura lebih yakin
bahwa cerita ini adalah karanganku. Agar aku bisa menjiwai peranku sebagai
tokoh utama. Halaman demi halaman kubaca pelan-pelan, kupahami dengan
serius, sampai aku tak sadar kalau jendela kamarku terbuka, angin malam yang
masuk mengibarkan tirai jendela kamar. Sesosok bayangan hitam dengan kedua
mata yang menyala terang, menatapku marah dari luar jendela.
Siapakah dia ??, mau apa dia ??.
******
4.
Angin yang masuk lewat jendela kamarku membuatku merinding. Hendak ingin
menutup jendela, aku mendadak diam terpaku ditempat. Aku melihat sosok hitam
itu, matanya menyala kuning terang, wajahnya gelap – semuanya gelap. Tetapi dia
tetap menatapku, rasanya aku ingin lari keluar kamar tapi aku juga penasaran,
siapa yang sedang menatapku itu. Aku melangkah maju perlahan-lahan,
mendekatinya.
“ hey.., siapa kau ? “ Kataku memberanikan diri, semakin aku mendekatinya,
kakiku semakin bergetar, dia terus menatapku – tanpa berkedip, tanpa bergerak
sekalipun. Awalnya kupikir itu adalah sebuah benda atau pohon. Tapi aku yaki n itu
manusia, sesuatu yang bentuknya benar-benar seperti manusia,
tapi siapa ?.
aku semakin dekat dengan jendela, wajahnya masih saja gelap. kuperhatikan
bahunya perlahan naik turun – itu karena dia sedang bernapas, menderu-deru
napasnya dengan cepat.
“ Deris, apa kau Deris ?? “ Kataku lagi. “ jangan bercanda Deris, ini gak lucu “ Ia tak
menjawab, mata yang bersinar masih menatapku. Angin kembali berhembus dari
luar membuatku menggigil. Angin itu semakin kencang.., kencang dan bertambah
kencang. Beberapa helai daun sampai terbang memasuki kamarku, deru
hembusan angin semakin terdengar ditelinga seperti akan muncul badai. Kamarku
perlahan bergoncang, lampu yang menempel diatap, bingkai foto, serta semua
benda dikamarku bergetar, ini gempa bumi ??. Aku panik.
Sosok bayangan hitam itu masih terus menatapku, kali ini ia hendak berbicara,
goncangan gempa membuatku sulit untuk menyeimbangkan tubuh, aku terduduk
dikasur – masih merasakan getaran ini. Sulit rasanya aku lari keluar kamar. Sulit
rasanya aku berteriak minta tolong, suaraku seperti terkunci, begitu paniknya
melihat sosok bayangan itu.
“ Jangan pernah kau menjadi tokoh utama selain aku,”. Sekarang dia benar-benar
mulai bicara. Suaranya berat dan serak, seperti seseorang yang sedang sakit
tenggorokan. “ jangan pernah !! “ Ulangnya lagi mengancam.
“ apa maksudmu ??, “ Perlahan-lahan aku mulai bisa bicara. Seraya melindungi
mataku dari debu dan daun kering yang melayang masuk kedalam kamar karena
angin. “ apa yang salah, kau ini siapa ? “
Sosok itu tak menjawab lagi, getaran gempa masih menggoyahkan isi kamarku.
Aku meringkuk diatas kasur, memejamkan mata - menahan diri dari semua yang
sedang terjadi. Namun perlahan semuanya berhenti, tidak ada lagi getaran, tidak
ada lagi angin yang berhembus masuk kekamar. Aku menenangkan diri, tidak ada
lagi sosok bayangan itu diluar jendela, semua kembali normal, tetapi kamarku
seperti kapal pecah. Benda berjatuhan, daun-daun kering berserakan dilantai.
Sampai ibuku masuk kekamar, dan melihat semua kekacauan ini.
“ Senja, kau bicara dengan siapa ?, apa-apaan ini ? “ Bentak ibuku membelalakan
mata. melirik seluruh sudut kamarku.
“ ibu, tadi ada angin kencang disini, masuk kejendelaku,” jelasku sambil
memunguti daun-daun kering dilantai. “ tadi ada gempa bu !!”
“ gempa ?, ibu tidak merasakan ada gempa ? “ Sahut ibuku keheranan.
“ sungguh bu, dikamarku ada gempa, diluar ada seseorang yang misterius, aku
habis berbicara dengannya, ” aku menyangkal, meyakinkan ibuku. Namun ibu
hanya menggelengkan kepala, melihat keluar jendela dan tidak apa siapapun
diluar. Ibuku tak percaya, bertahun-tahun kami tinggal dirumah ini tapi belum
pernah ada kejadian misterius. Apalagi hantu.
“ bereskan kamarmu, dan cepatlah tidur sebelum ayahmu pulang “. Perintahnya.
Sebelum ia kembali keluar dari kamarku.
Aku masih ketakutan, kakiku belum berhenti bergetar, aku mencoba untuk cepat
melupakan kejadian tadi, aku sadar ini bukan mimpi. Setelah selesai
membereskan kamarku seperti semula. Aku ingin cepat tidur lelap tapi tidak bisa,
aku membolak-balikan badanku dibawah selimut, merasa gelisah siapa yang
berdiri diluar jendela. ia berkata jangan pentaskan cerita itu tanpaku, jangan
pernah jadi pemeran utama selain aku, - maksudnya apa ?.., siapa dia ?, mengapa
dia berani-beraninya berdiri didepan jendela kamarku, mengundang gempa dan
angin kencang. Apakah seorang tukang sihir ?, lalu kenapa tukang sihir
melarangku memerankan tokoh utama diceritaku itu. Tidak masuk akal,
Akupun tidak habis pikir, terus menanyakan dalam benakku siapa dia ?. aku
berpikir dan berpikir, adakah orang yang tidak suka jika ceritaku terpilih ?., atau
tidak suka bila aku menjadi tokoh utamanya ?.
Sepertinya aku tahu. Aku bangkit dari posisi tidurku, punggungku bersandar pada
dua tumpuk bantal dibelakangku.
“ Dodi,” dia terlihat sangat membenciku disaat ceritaku terpilih, disaat aku
menjadi tokoh utamanya. Sebenarnya aku tidak ingin berperasangka buruk dulu
terhadap Dodi, tapi selama ini dia terlihat sangat membenciku, hanya dia. Tapi,
bagaimana bisa dia berdiri diluar jendela dengan mata menyala, menciptakan
gempa dan angin ribut ?. apakah Dodi membayar seorang Dukun untuk
mencelakaiku ?.
******
5.
Hari ini aku kepagian, karena ayah kedatangan tamu dari luar negri dikantornya.
aku sampai disekolah setengah jam sebelum bel masuk berbunyi. Belum ada
banyak murid-murid yang datang, hanya beberapa – masih bisa kuhitung jumlah
mereka dikoridor. Aku langsung menuju kekelas, teman-temanku belum datang
semua, termasuk Deris. Mungkin, sebentar lagi juga ramai.., kataku. tetapi aku
melihat seorang laki-laki berbaju garis merah dan hitam sedang duduk melamun
dikursi paling belakang,
Siapa dia ?, gumamku. Menghampiri orang tersebut.
“permisi,” sapaku, membuyarkan lamunannya. Ia menoleh kearahku dan
tersenyum.
“ hmm.., kau murid kelas ini ya ? “. balasnya sangat ramah.
“ iya benar, kau anak baru disini ?”. tanyaku lagi
“ ya, namaku Ali Fathir, aku pindahan dari kota seberang, mulai hari ini aku
sekolah disini .“ Katanya, seraya mengulurkan tangan untuk berjabat denganku.
Aku membalasnya.
“ aku Senja Surrayhan, apa kau sudah bertemu dengan guru-guru lain disini?”
“ ya, tadi pagi nyonya Laura yang mengantarkanku ke kelas ini, dia menempatiku
dikursi paling belakang karena memang hanya kursi ini yang masih kosong. “
Jelasnya.
“ bagus, “ Kataku. sambil meletakan ransel dikursiku. “ ini dia kursiku, tepat
didepanmu, dan teman sebangkuku adalah Deris, dia temanku yang paling baik,
dia juga anak perempuan yang manis”.
“ oh ya ?, bisakah kau memperkenalkan Deris padaku nanti ? “ Pintanya.
“ tentu saja, kami semua disini sangat ramah, kecuali satu anak yang bernama…”
Aku berhenti bicara.
“ siapa ?” tanya Ali penasaran, matanya sangat serius menunggu jawabanku.
“ Dodi,” bisikku mendekati telinga Ali. “ ia duduk di barisan ini, barisan ketiga dari
depan, dia itu sombong, sok hebat, bahkan kita saling membenci – dia juga sudah
mulai berani untuk mencelakaiku. ” ya ampun, sebenarnya apa yang aku lakukan
itu tidak baik, mengajak orang lain untuk membenci seseorang yang sama sekali
belum bertemu. Tapi aku sudah terlanjur membenci Dodi, teringat kejadian
malam itu, beraninya ia membayar dukun hanya untuk menyingkirkanku dari
pentas teather.
“ memangnya, kau dengan Dodi bermusuhan ? ” tanya Ali padaku.
Aku mengangguk perlahan. Mengangguk penuh penyesalan, karena awalnya aku
tidak ingin punya musuh disekolah. Tapi apa yang Dodi rencanakan ini sudah
kelewatan.
Sambil menunggu yang lain datang. Aku berbincang-bincang sedikit dengan Ali,
ternyata dia mempunyai selera humor yang tinggi, baru beberapa menit kami
berkenalan, perutku sudah sakit dibuatnya tertawa terus-menerus. Ali seumuran
denganku, ia memiliki telinga yang agak lebar, hidung mancung dan lesung pipi
yang terlihat manis disaat ia tersenyum, aku sedikit iri dengan gaya rambutnya –
hitam lurus kedepan dengan jambul yang sedikit mencuat dibagian dahinya. Ali
masih memakai pakaian bebas, sweater panjang belang-belang antara warna
Merah dan hitam, celana jeans belel hitam dengan empat saku di sekitarnya, serta
sepatu kets biasa yang banyak dijual dipasaran.
“ jadi kapan kau mendapatkan seragam sekolahmu ? “ tanyaku, memperhatikan
pakaian Ali.
“ kata nyonya Laura, persediaan seragam sudah habis di tata usaha, perlu waktu
sebulan untuk memesannya kembali.”
“ berarti, selama sebulan kau memakai baju bebas disekolah ini ?, kenapa tidak
kau pakai saja seragam sekolah lamamu ? “ Usulku – Ali menggelengkan kepala.
“ sudah sempit, mau tak mau aku akan memakai baju bebas selama sebulan disini,
tak peduli bila ada orang yang mengganggu “.
Beberapa menit berlalu satu-persatu temanku mulai masuk kelas. Kelasku mulai
ramai, Ali sudah berkenalan dengan Deris serta yang lainnya. Aku menunggu Dodi
datang dan ingin sekali melabraknya. Aku sudah menceritakan kejadian ini pada
Deris juga. tapi sayang sekali, Dodi absen hari ini, entah karena apa dia tiba-tiba
tak masuk sekolah,
Sebenarnya jam pelajaran pertama hari ini adalah matematika , dibawah
bimbingan Tuan Samuel, tetapi nyonya Laura meminta izin padanya – mengambil
sedikit waktu untuk mengumumkan siapa yang akan menjadi peran Sinyorita,
Deris.., ya, dialah yang memerankan tokoh Sinyorita itu. Aku sangat bahagia,
karena teman dekatku itu menjadi peran yang sangat dekat pula dengan tokoh
utamanya. Namun sepertinya Deris kurang menerima kenyataan, wajar saja.., dia
adalah cewek tomboy, lebih tertarik dengan cerita perang-perangan dari pada
cerita dongeng, lebih suka dunia otomotif terutama Vespa dari pada Vasion. Aku
juga tak mengerti mengapa nyonya Laura memilih Deris sebagai Sinyorita.
Ada dua kemungkinan.., yang pertama – karena nyonya Laura tahu Deris adalah
teman dekat sekaligus tetanggaku, jadi supaya kami berlatih peran dengan
mudah, atau yang kedua – nyonya Laura ingin melihat Deris berlagak seperti
seorang putri yang feminim. aku tak tahu, apapun alasannya aku sangat senang.
Hampir saja Deris protes untuk perannya itu tapi aku mencegahnya, karena aku
sendiri sudah lama ingin sekali melihat Deris memakai kostum yang anggun.
Begitupun tokoh-tokoh yang lainnya, sudah ada yang memerankan dari kelas lain.
Dikelasku adalah murid terbanyak yang ditunjuk sebagai kru, mereka ditugaskan
untuk mengoperasikan kamera video dan foto untuk dokumentasi, menata lampu,
penata musik, dekorasi background dan benda yang diperlukan, serta pencari
kostum dan tukang make-up. Ali juga dipilih oleh nyonya Laura sebagai penata
lampu membantu Dimas, dan dua orang lagi dikelas sebelah. dengan senang hati
Ali menerima tugasnya itu.
“ Dodi, dimana Dodi ? “ Tanya nyonya Laura, melayangkan pandangannya
kesegala arah.
“ Dodi absen nyonya Laura. “ Kata salah satu murid didepannya berdiri.
“ sayang sekali,” gumam nyonya Laura. “ padahal aku menugaskan dia sebagai
pembawa acara dipentas, lagipula aneh sekali tiba-tiba ia tidak masuk hari ini.”
“ kenapa aneh ?” sambung Deris
“ ya, baru semalam aku bertemu dengannya bersama seorang kakek tua yang
agak aneh, dijalan bukit blok-B, ia memakai jaket berkapucong serta semua
pakaian berwarna hitam,” jelasnya. “ ketika aku menyapanya, ia menjawab baru
saja pulang dari rumah saudara mereka yang tinggal dijalan itu, apa Dodi
mendadak sakit ?” tanya nyonya Laura lagi, beberapa murid mengangkat bahu.
Yang benar saja, aku memekik kaget dengan pernyataan nyonya Laura tentang
Dodi. Baru saja dia berkata semalam bertemu Dodi dengan pakaian serba hitam,
dengan kepala yang ditutupi kapucong jaketnya, ia bersama seorang kakek tua
yang tampangnya aneh – bicara pada nyonya Laura kalau mereka dari rumah
saudaranya yang tinggal di jalan bukit blok-B.
Ya ampun.., jalan bukit blok-B itu kan jalan menuju arah rumahku.
******
6.
Jadi, yang semalam telah menakut-nakuti aku adalah Dodi ?, ia berpakaian serba
hitam, mata yang menyala serta gempa dan angin kencang itu perbuatan makhluk
halus peliharaan seorang kakek yang telah bersamanya, dan kakek itulah
Dukunnya. Keterlaluan, aku tidak boleh diam saja, tapi aku harus apa ?.
Aku harus melaporkan ini ke nyonya Laura, atau aku mengalah, mengundurkan
diri ?. Tidak, itu bisa, Aku tidak mau nyonya Laura merasa curiga sedikitpun
tentang kecuranganku. Nyonya Laura sangat peka terhadap pikirian setiap orang,
dan aku tidak akan mampu untuk menganalisa alasan-alasanku sendiri. Lebih baik
aku memohon pada Deris dan Ali agar membantuku melawan semua ini,
menghentikan aksi Dodi yang sudah berani bermain dengan dukun dan hantu-hantu peliharaannya. Ya, aku tidak akan kalah, aku harus lebih waspada -kejahatan tidak akan pernah menang.
Sepulang sekolah, semua murid yang mendapatkan peran cerita itu beserta para
kru diwajibkan berkumpul di ruang Auditorium, tempat dimana pentas itu akan
diselenggarakan. Seperti ruang Auditorium pada umumnya, begitu kami membuka
pintu kaca ruangan ini, kami mendadak menggigil – karena beberapa AC disetiap
sudut ruang dinyalakan, tempat ini redup karena memang sedang tidak dipakai.
Yang terang hanyalah bagian panggungnya. Panggung itu besar berlantai kayu
dengan tirai merah raksasa yang menutupi sebagian latarnya. Lampu-lampu
panggung menggantung diatas dan kursi-kursi penonton yang empuk berwarna
merah tua berjejer didepannya. Kursi ini seperti tribun berkapasitas tiga ratus
orang, sama persis disaat kita pergi kebioskop,
Kami semua duduk di barisan kursi penonton, paling depan tentunya. Nyonya
Laura berdiri didepan kami untuk memberikan sebuah instruksi sebelum latihan
pertama dimulai.
“ kalian wajib latihan setelah pulang sekolah, kecuali hari kamis dan Jumat, pihak
sekolah akan menyiapkan semua alat dekorasi dan artistiknya, kalian hanya
tinggal bekerja dan berlatih, mengerti ? “
“ mengerti nyonya Laura!“ Jawab kami serempak.
“ siapapun tolong beri kabar ini kepada Dodi ya,” lanjut nyonya Laura. “ karena dia
sudah aku tentukan sebagai pembawa acara bersama Rossa.” nyonya Laura
melirik ke Rossa. Perempuan bermata lentik itu hanya tersenyum dan
mengangguk. “ kita hanya punya waktu latihan dua minggu, sisanya persiapan
proposal untuk bazar dan game, aku mau kali ini teather di acara ulang tahun
Graphyca begitu spektakuler.., jangan mau kalah dengan senior-senior kalian,
apalagi tahun ini juga tahun Reuni akbar, jangan kecewakan saya, “ Tegasnya. “
kalian paham ? “
Semua sepakat menyetujui, termasuk aku. tapi ingatan tentang Dodi yang akan
mencelakaiku tidak hilang, raut wajahku tak begitu semangat seperti yang lain.
“ kau harus siap menjadi feminim Deris. “ Kata Ali menggoda Deris, kami duduk
berdekatan dikursi auditorium.
“ apa sih, kau tahu apa tentangku ? ” balas Deris jengkel. Aku sedikit tertawa
melihat tingkah mereka berdua.
******
Hari ini begitu melelahkan, pulang sekolah sangat sore karena latihan pertamaku
sebagai kesatria elang. Aku terbenam dalam selimut menatap langit-langit yang
membentang diatasku. Sunyi, hanya itu yang aku rasakan dikamar ini. Ayah dan
ibuku sudah tidur lelap. Aku melirik jendela, jendela itu sudah kutut up rapat – aku
hanya memastikan tak ada lagi sosok bayangan yang berdiri diluarnya.
Semua aman..,
Mataku mulai berat, rasa kantuk ini sudah tidak bisa kutahan lagi. Aku
memadamkan lampu, memeluk guling dan hendak tertidur. Merasakan ada
desiran angin melewati leherku, aku mengusapnya karena dingin. Kurasakan bulu
kudukku berdiri. Kenapa tiba-tiba aku merinding begini sih ?, pikirku.
Sedikit hatiku mulai gelisah, mataku tetap terpejam namun belum terlelap. Aku
mendengar suara-suara bisikan yang pelan dan sangat lembut, suara bisikan dekat
sekali dengan telingaku. Semakin jelas, semakin terdengar,
Suara itu memanggil-manggil namaku.
Aku membuka mata, tetapi tak berani bergerak dari posisi tidurku. Kupasang
telinga untuk menegaskan suara itu, masih ada, masih berbisik dekat ditelingaku,
jelas namun samar-samar – nada bisikannya seperti orang yang sedang
menghasut.
“ ~senjaa.., jangan pernah menjadi tokoh utama selain aku,” bisikan itu terus
berkata. “ jangan ambil peranku.., jangan pentaskan cerita itu tanpaku senja ..,”
Aku bergidik ngeri mendengar kata-kata itu muncul lagi. Kurasakan sesosok hitam
sudah berada di sampingku, diatas kasurku. Aku tak berani bergerak, aku terus
memeluk guling membelakanginya. Suara itu terus memanggil-manggil namaku.
Aku memberanikan diri, perlahan-lahan aku menoleh kebelakang. aku melihat
wajah sosok itu.
“ Dodi..!!? “ Itu Dodi dengan pakaian serba hitam, namun wajahnya pucat.
Matanya menyala. Bagaimana bisa Dodi menjadi seperti hantu, ini semua karena
bantuan Dukunnya. “ Dodii.., apa yang kau lakukan, kau ingin membunuhku ?,
cukup sudah !! “ Bentakku.
tatapan kami sangat dekat, Dodi menggeram seperti harimau yang menangkap
mangsanya. Aku hendak berteriak tapi dia sudah mencekik leherku, sangat
kencang, mataku melotot, mulutku menganga mencari napa s – namun sia-sia. Aku
berontak ingin melepaskan diri, Dodi sangat kuat mencekik leherku, tangannya
sangat dingin.
Sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi, aku pasrah.., aku merasakan darahku akan
berhenti mengalir, denyut nadi dileherku seperti akan meledak karena tertahan
oleh cekikannya. Pandangan mataku mulai gelap, jantung dan pernapasanku
melemah, sangat terasa – sepertinya nyawaku sudah sampai tenggorokan.
Dodi masih terus mencekikku, seraya berkata “ harusnya aku yang memerankan
tokoh utama, bukan kau senjaa !!, bukan kau !! “. Aku sudah tidak mampu
melawan, sekujur tubuhku terasa tidak berfungsi lagi.
Aku mati..,
******
7.
Ponselku berdering, aku terbangun karena kaget. Seluruh tubuhku berkeringat,
jantungku berdebar kencang, aku melirik jam dinding masih menunjukan pukul
dua dini hari, - aku baru saja mimpi buruk.
“ siapa sih yang mengirim pesan malam-malam begini ? “ Kataku kesal, seraya
mengucek-ucekan mataku menatap layar ponselku. Hanya Operator , mereka
berpesan untuk segera isi ulang pulsa. ah biarkan saja, pesan ini sudah sering
kubaca. aku adalah tipe orang yang jarang membawa ponselku kemana-mana, jadi
aku sudah tidak lagi membeli pulsa. aku lebih sering menggunakan telepon
rumahku untuk menerima atau menghubungi teman-temanku dan saudaraku.
Kalau disekolah, aku selalu mengirim pesan kepada ibuku lewat telepon sekolah,
ponsel Deris atau teman-temanku yang lain. Ya, dikelas aku terkenal selalu
“Numpang pulsa”. bahkan Deris pernah dimarahi ayahnya karena pulsanya yang
boros, itu salahku.., Deris lupa memakai paket kartu ponselnya, tapi aku telah
meminjam pulsanya untuk menghubungi ibuku agar mengantarkan seragam
olahraga yang tertinggal dirumah – Sampai pulsanya habis.
Biasanya aku selalu tertawa sendiri setiap ada pesan dari operator untuk segera isi
ulang, selalu teringat disaat Deris kesal denganku karena pulsanya kuhabiskan.
Tapi kali ini berbeda, aku tak merasa itu lucu, bahkan aku merasa ketakutan akan
mimpiku barusan. Dodi, kenapa dia datang dimimpiku, mencoba untuk
mencekikku, ini semua akibat aku memikirkan Dodi seharian, jadi terbawa m impi.
Ya, itu benar..,
******
Hari kedua latihan, berlatih dengan mencoba memakai kostum. aku mulai sedikit
lihai dalam menjiwai peranku, aku terlihat gagah dengan jubah merah dan Topeng
kesatria elang ini – topengnya tidak menutup wajahku seluruhnya, hanya bagian
kepala sampai hidung. sedangkan mulut, dagu dan sebagian kecil pipiku tetap
terlihat. Begitupun Deris yang memerankan tokoh Sinyorita, hari ini dia tampak
berbeda sekali dengan sifat yang memperagakan perannya. Ia memakai gaun
coklat muda dengan bagian rok yang mengembang. Rambutnya dikepang teruntai
kedepan bahunya, serta hiasan bunga-bunga yang melingkar dikepala.
“ kau ini benar-benar Deris ? “ Kataku, pangling saat melihatnya dari dekat. Baru
kali ini aku melihat Deris memakai gaun, biasanya kalau dirumah tidak pernah
yang namanya memakai rok.
“ jangan ngeledek deh! “ Cetusnya.
“ aku serius, kau cantik bila didandani seperti ini.” balasku terpukau. Deris hanya
tersenyum ge’er. Aku bisa melihatnya, pipinya berubah merah merona disaat aku
mengatakan dia cantik. Ternyata cewek tomboy bisa juga merasa tersanjung, -gumamku dalam hati.
“ chiee.., “ Ali menggodaku dan Deris, ia datang dan berdiri dibawah panggung
memperhatikan kami, kedua tangannya memegang gulungan kabel dan
mengulurkannya kembali.
“ Ali, apaan sih ? “ Kata Deris.
“ tidak apa-apa,” Balasnya “ yasudah, kenapa kalian memperhatikanku, sana
lanjutkan, haha…,” Ali mengatur kabel-kabel lampu itu kembali menuju kearah
sudut samping panggung.
Rencananya aku akan menceritakan mimpiku semalam kepada Deris dan Ali, kami
akan pergi kerumah Deris begitu latihan selesai. aku sudah bilang pada nyonya
Laura tentang masalahku dengan Dodi, dia ingin mencelakaiku, hanya karena tidak
suka aku menjadi peran utama. tadinya aku ingin sekali melabrak Dodi tapi hari
ini Dodi tak masuk lagi, nyonya Laura juga tidak percaya tentang apa yang aku
katakan – ia bilang, Dodi merasa biasa saja tidak ditunjuk sebagai tokoh utama.
aah…, omong kosong, dia bicara seperti itu hanya didepan nyonya Laura – fikirku.
Buktinya mana, sudah dua hari Dodi tak masuk sekolah dan ikut latihan tanpa ada
keterangan, hanya Rossa sendirian yang berlatih membawakan acara. pasti dia
tahu aku akan melabraknya atau dia sedang mempersiapkan rencana lain untuk
menggangguku.
Separah itukah Dodi dendam denganku ?, memang itulah sifat buruknya. Aku
tidak akan mundur, Deris dan nyonya Laura juga pasti akan kecewa bila aku
mundur.
“ ayo mulai lagi! “ Perintah nyonya Laura.
Aku dan Deris bersiap-siap dalam posisi kami, masing-masing memegang naskah
yang sudah dicopy untuk berlagak dan berdialog.
“ Sinyorita, aku tak menyangka kau adalah gadis dari raja rampok itu. “ Kataku
dengan nada yang dramatis,
“ aku, tahu kau cinta padaku,” balas Deris memperagakan tokoh Sinyorita. “ aku
juga begitu denganmu, tapi lebih baik kita berpisah saja, aku tidak mau kau
menjadi anggota rampok ayahku, kau harus tetap berbuat baik, elang.”
Aku terdiam, tidak melanjutkan dialogku untuk menimpali Deris, pandanganku
terpaku kearah barisan kursi penonton. Deris heran melihatku, ia melirik kearah
dimana aku memperhatikan itu – lalu kembali menatapku.
“ cuut !!, “ Teriak nyonya Laura, membuyar lamunanku. “ kenapa senja ?, kau
masih ada beberapa bait, jangan melamun! ”
“ iya, maaf nyonya .“ sesalku
Selang waktu sesudahnya, latihan kami hari ini selesai, aku cukup bangga karena
baru dua hari, acting kami sudah meningkat. Aku ingat dengan sosok hitam yang
terus memperhatikanku dari tadi, dia masih disana, menatapku dengan mata
menyala terang. Semua sudah bergegas pulang, nyonya Laura sudah keluar dari
ruangan ini. aku masih penasaran dengan sosok itu.
“ hey Senja.., yuk pulang, katanya mau kerumahku “. Deris sudah melepas kostum
perannya, mengajakku datang kerumahnya bersama Ali. “ tapi aku tidak melihat
Ali, dimana sih anak itu ? “
Aku tak merespon apa yang dikatakan Deris. Aku tetap memperhatikan sosok itu
dari kejauhan, kupicingkan mata dalam pandangan kegelapan auditorium. Aku
yakin itu Dodi, dia sedang memata-mataiku. Ya itu Dodi..,
“ hey Dodi..!! “ Aku sigap menghampiri dia, ke arah pojok belakang kursi-kursi
penonton.
“ Dodi ?, dimana Dodi ? “ Kata Deris keheranan melihatku. Tapi aku tidak
memperdulikannya. sosok itu masih berdiri disana, ingin rasanya kupukul dan
kulabrak habis-habisan jika sudah dihadapannya.
“ Dodii !!, tertangkap kau !!”
******
8.
Itu bukan Dodi, itu bukan hantu, itu adalah patung busana. Aku merasa kacau, tapi
aku yakin disini ada sosok hitam itu, apakah aku mulai berhalusinasi tentang Dodi
– aku merebahkan diri dikursi penonton didekatku. Aku bingung.
“ Senjaa.., “ Deris menghampiri. “ kenapa sih kau ini, dimana Dodi ? “ aku
menunggu napasku tenang kembali, bersandar dikursi penonton. Tanganku
mengunjuk ke patung busana itu.
“ kau berhalusinasi senja, aku paham kok, tentang sosok yang kau bilang itu Dodi.“
Kata Deris. “ lagipula, siapa sih yang meletakan patung busana disini ? ”
“ siapa lagi kalau bukan anak kostum. “ Jawabku. “ tapi aku yakin, dia berdiri tepat
didepan patung ini, menghalangi patung ini, matanya menyala.”
“ yasudah, sekarang kita cari Ali, setelah itu langsung kerumahku .“ Ajak Deris
menarik tanganku keluar auditorium. Sekali lagi aku sangat yakin kalau tadi benar-benar sosok yang pernah berdiri diluar jendelaku, yang datang dimimpiku dan
mencekikku, yang ternyata itu Dodi – gumamku. Dia hilang disaat aku
mendekatinya. Dan aku mulai sadar, sosok itu telah mengikutiku kemana saja.
Sebelum pulang kami mencari Ali dulu, aku mengajaknya kerumah Deris untuk
berlatih memperdalam dialog kami, sekalian ingin menceritakan ke mereka
tentang mimpiku semalam. sementara Deris mencari Ali kekelas, aku pamit
ketoilet karena ingin buang air kecil, wajahku meringis merasakan air seniku
mengalir. dari tadi aku tidak sadar kalau aku sudah kebelet, saking hebohnya
dengan sosok yang menatapku dan menghilang ditengah kegelapan.
Lagi-lagi aku merasakan ada yang perlahan mendekatiku tanpa membuka pintu
toilet. Apa-apaan sih.., sampai ditoiletpun aku tetap diikuti – fikirku. Aku diam
sejenak, menunggu langkah itu semakin dekat. Tak ada suara, hanya langkah kaki
yang perlahan menghampiriku.
Sebenarnya aku takut, tapi kali ini aku mencoba untuk tenang. Begitu dia mulai
mencengkram bahuku, aku harus cepat berbalik untuk kembali mencekram
bahunya.
“ kena kau Dodi !! “ Geramku. Ternyata itu Ali, dia berteriak ketakutan sedangkan
aku berteriak kaget karena dia berteriak. Kita sama-sama berteriak.
“ Ali !!? “ aku langsung melepaskan cengkramanku dibahunya. “ kau bikin panik
saja!”
“ yaah.., tadinya aku ingin mengagetkanmu dari belakang, tapi kau sudah tahu
duluan. “ Katanya kecewa.
“ jelas saja aku tahu, aku mendengar langkah kakimu, “ Bentaku kesal. “ tapi sejak
kapan kau masuk ketoilet ? “
“ sejak tadi, “ Jawabnya nyengir. “ saat kalian masih latihan, perutku sakit sekali,
sudah tiga kali aku mondar-mandir ke WC. baru saja aku selesai, lalu aku
melihatmu sedang buang air kecil. “
“ owh.., “ Jawabku jutek.
“ makanya jangan terlalu banyak melamun, dari tadi ku perhatikan kau bertingkah
aneh, “ Serunya lagi. “ dan ngomong-ngomong, punyamu besar juga yah! ” ali
melirik kecelanaku, ia tertawa terbahak-bahak.
Ya ampun, aku lupa menutup resleting, dan membiarkan isinya mencuat keluar
dari celana. Aku lupa kalau aku habis buang air kecil. rasa kesalku berubah
menjadi malu, untung saja Ali yang melihat ini – bukan Deris.
“ owh.., maaf !! “ Kataku, cepat-cepat membetulkan celanaku. “ yasudah cepat
kita kerumah Deris, kasihan dia mencarimu kemana-mana. “
“ baiklah.., hahaha “ Ali masih saja tertawa.
“ tidak Lucu !!”.
******
Kami sampai juga dirumah Deris, aku dan Ali naik Bus berdua karena Deris
mengendarai Vespanya dan sampai duluan. Deris mempersilahkan kami masuk
dan duduk disofa ruang tamu,
“ aku akan membuatkan teh dan mengambil beberapa kue..,”. kata Deris
kepadaku dan Ali. “ sebentar ya! “
Sebenarnya Deris mempunyai seorang asisten rumah tangga, tapi ia jarang
menyuruhnya macam-macam, Deris adalah perempuan yang mandiri. Asisten
rumah tangganya hanya sibuk merawat adik laki-laki Deris yang masih berusia
delapan bulan selama orang tuanya bekerja, nama adiknya Taufan. – terkadang
aku suka bermain kerumah Deris hanya untuk bercanda dengan Taufan, ia sudah
kuanggap sebagai adikku sendiri. Seperti yang sudah kubilang, aku ingin sekali
memiliki adik tapi ayah terlalu sibuk, tak ada waktu untuk berbulan madu dengan
ibu.
“ dimana Taufan? “ Tanyaku, saat Deris kembali membawa nampan dengan
kaleng kue kecil dan tiga gelas berisi jus jeruk.
“ dia sedang mandi bersama bibi una. “ Jawabnya seraya meletakan gelas-gelas
dan kaleng kue - bibi Una.., nama asisten rumahnya itu.
“silahkan diminum,” Tawar Deris. Mengabil minumannya dan duduk disampingku.
“ setelah itu ceritakan tentang mimpimu semalam, Senja.”
“ baiklah, kurasa kita tidak perlu berlatih dialog lagi, kita kan sudah bisa.” kataku
pada Deris, ia mengangguk dan menunggu ceritaku. Sedangkan Ali sibuk
mengunyah kue kecil, sudah lebih dari tiga kue ditelannya.
Sebelum aku menceritakan mimpiku, Deris melirik Ali dan bergurau dengannya.
“ hey Ali, kuenya enak ya ? “ Ali hanya mengangguk, mengacungkan jempolnya
karena mulutnya tak bisa bicara – penuh dengan kue.
“ ngomong-ngomong, kau selalu memakai sweater bergaris merah hitam. “ Tanya
Deris lagi pada Ali. aku ikut melirik pakaiannya. “ aku tahu kau belum memiliki
seragam, tapi kenapa kau suka sekali memakai sweatermu itu ? “
Ali mencoba untuk menelan cepat semua kue yang dikunyah. “ aku punya sweater
ini selusin, semuanya sama persis dan aku memakai sweater yang sama setiap
hari, kenapa.., kau ingin membelinya ? ”
“ tidak.., “ Tolak Deris. “ aku hanya ingin bertanya.”
Aku tertawa dengan celotehan Ali, dia memang orang yang humoris. Candaannya
selalu membuatku tertawa. “ jadi gak nih ceritanya? “ Kataku.
“ yasudah cepat! “ Sahut Deris
Aku menghela napas, suasana menjadi serius. “ aku bermimpi buruk, Dodi datang
dan mencekikku, dia berkata kalau aku tak boleh menjadi pemeran utama
diteather, kalau tidak dia akan terus mencelakaiku, aku sudah bilang ini kenyonya
Laura tapi ia tak percaya. “ Aku melirik kedua temanku. mereka tampak bingung,
dan berfikir.
“ mungkin, Dodi main dukun atau semacamnya? “ Kata Ali. aku hanya mengangkat
bahu.
“ kita kan tahu sejak dulu, Dodi adalah orang yang sok hebat dan sombong,
sekalinya tidak terpilih menjadi apa yang dia inginkan, malah berbuat yang tidak-tidak. “ Gumam Deris.
“ lalu aku harus bagaimana? “ Kataku memelas. “ dia mengirim makhluk halus
untuk terus mengikutiku, memata-mataiku, apa aku mundur saja ? “
“ jangan bodoh Senja, nyonya Laura pasti akan sangat kecewa, “ Deris
mendesakku. “ lucu sekali bila semua akan tahu kalau kau tiba-tiba mengundurkan
diri, dengan alasan kau tidak bisa memerankan tokoh yang kau karang sendiri.”
Apa yang dibicarakan Deris sama dengan apa yang kufikirkan. Mungkin, aku akan
berbicara yang sejujurnya kepada Deris dan Ali, bahwa cerita itu bukan
karanganku.
******
9.
“ Deris, kau tahu kalau ayahku seorang penulis? “ kataku ragu-ragu.
“ iya, penulis hebat, “ sahutnya. “ kenapa ?”
Aku menghela nafas sebelum melanjutkan omonganku. “ sebenarnya, kesatria
elang dan Sinyorita itu karangan ayahku, bukan aku – aku hanya mencoba
menyalinnya untuk mendapatkan nilai sastra, tapi aku tak menyangka kalau cerita
ayahku itu yang terpilih. “ aku berharap Deris tidak kecewa dengan pengakuanku
yang sebenarnya. Ali terlihat bingung menatapku, lalu menatap Deris.
“ jadi selama ini cerita itu karya ayahmu ? “ tanya Deris lagi padaku. Aku
mengangguk perlahan, menatap kebawah menunjukan rasa sesalku karena telah
berbuat curang. Tapi kurasa, Deris tidak benar-benar kecewa, ia hanya tak
menyangka.
“ kau kan juga tahu Deris, ayahku alumni Graphyca. dulu dia pernah dipilih sebagai
penulis naskah acara teather disaat reuni akbar,” jelasku. “ naskah itu masih ada
dan kutemukan digudang. “ Deris memegang bahuku, mengusapnya perlahan, aku
paham ia memberi isyarat kalau ia tak kecewa sama sekali.
“ yang terpenting sekarang kita harus bilang pada Dodi besok, supaya dia jera, “
Deris mengusulkan. “ semoga saja anak itu masuk.”
Dirumah Deris begitu dingin, padahal cuaca diluar masih hangat walau sudah sore.
Hawa dinginnya membuatku menggigil, aku melihat Deris dan Ali tampaknya tidak
merasa menggigil sedikitpun, apa sosok itu mengikutiku sampai rumah Deris ? –
sosok itu yang membuatku menggigil ?. aku memandangi setiap sudut ruang
tamu, memastikan sosok itu tidak menampakan wujudnya. Tidak ada apa-apa.
Namun tetap saja aku merasakan sosok itu dekat denganku.
“ heey, ada kak Senja! “ bibi Una datang, menggendong Taufan yang sangat lucu.
Aroma bedak bayi yang khas tercium saat mereka menghampiri kami. Awalnya
biasa saja, Taufan sudah kenal denganku, ia menyukaiku disaat aku menggodanya,
selalu tertawa memperlihatkan gusinya yang merah muda, belum ada gigi yang
tumbuh satupun.
“ hey anak manis !!”. rayuku menghampiri Taufan, mengambilnya dari gendongan
bibi Una untuk kugendong. Deris dan Ali ikut menggoda Taufan digendonganku.
Beberapa kali aku menciumi pipinya yang beraroma wangi khas bayi, aku
menyukainya.
Siapa sangka, Taufan memasang wajah terkejut. Matanya terbelalak melirik
kesana-kemari seperti melihat sesuatu, aku memperhatikan matanya sudah
berkaca-kaca – sedikit mengeluarkan air mata.
“ ada apa dengan Taufan, Senja ? “ tanya Deris dengan cemas. Ia juga tengah
memperhatikan adiknya.
“ aku tidak tahu. “ jawabku.
Tiba-tiba Taufan menangis, wajahnya seperti sangat ketakutan, bibirnya bergetar.
Aku menyerahkannya kembali ke bibi Una untuk ditenangkan, namun Taufan
tetap menangis kencang. Kenapa dia menangis ? – gumamku, aku hanya
menciumnya, biasanya Taufan sangat menyukai itu. Tapi, kenapa sekarang ia
begitu ketakutan, apa karena dia melihat sosok yang terus mengikutiku ?. benar
juga, aku sedang dimata-matai makhluk halus suruhan Dodi, kemanapun dan
dimanapun aku terus diikutinya. Benar juga.., - fikirku lagi. Seorang bayi bisa
melihat makhluk halus.
“ iya sayang.” Bibi Una mencoba menenangkan, membawa Taufan masuk kekamar
untuk diberi susu. Aku kembali memandangi sudut ruangan, mencari tempat
sosok itu berada. tubuhku masih merasa menggigil, itu tandanya sosok itu be nar-benar masih mengikutiku sampai rumah Deris.
“ Deris, lebih baik aku pulang sekarang ya.” Aku pamit kepada Deris, aku merasa
sangat tidak enak. Deris mengangguk dan tersenyum, memperbolehkan aku
pulang, dia sangat mengerti apa maksudku untuk pulang.
“ aku juga pulang ya Deris, “ kata Ali. “ hari sudah semakin sore. “ Aku dan Ali
bangkit dan pulang menuju rumah masing-masing. Kami berdua hendak berpisah
begitu sampai depan gerbang.
“ kau yakin mau pulang sendiri naik Bus ? “ Kataku pada Ali, “ bagaimana b ila
kuantar kau dengan motorku, aku akan pulang sebentar mengambil motor. Itu
rumahku “. Tawarku seraya mengunjukan arah rumahku.
“ tidak usah Senja, aku terbiasa naik bus sore-sore kok” tolaknya, mengadahkan
kedua tangan padaku. “ aku ini cowok pemberani, tenang saja.”
“ baiklah, ngomong-ngomong dimana sih rumahmu ?” aku berbasa-basi.
“ dekat sekolah, “ sahutnya. “ hanya beberapa blok dari sekolah kita “ – “ dan kau
Senja, kurasa kau masih dimata-matai hantu milik Dodi.”. Ali menggodaku,
berbisik dengan menyeramkan wajahnya. Tapi wajahnya justru kelihatan konyol.
“ masa bodo. “ gumamku. Kami berpisah, “ sampai ketemu besok. “
******
Hari ini disekolah guru-guru sedang rapat. Kami hanya mengisi satu jam pelajaran
saja, setelah itu bisa memulai latihan di ruang Auditorium lebih awal – lebih lama
juga tentunya. Tuan Yopi datang kekelasku untuk mengajar Biologi, badannya
pendek dan gemuk, rambutnya tipis hanya dibagian pinggir, sedangkan bagian
atas sampai dahinya botak mulus, ia juga memakai kacamata tebal berbingkai
hitam. Aku dan yang lain selalu ingin tertawa disaat tuan Yopi masuk kelas, karena
kepala botaknya yang silau akibat pantulan cahaya lampu. Tapi hari ini aku tidak
begitu menghiraukan kepala botak tuan Yopi yang mengkilat, justru aku kesal
karena Dodi tidak masuk lagi.
“ dasar pengecut!” – geramku dalam hati. Apa perlu aku kerumah Dodi dan
memergoki ia sedang membudaki para hantu, hantu yang selalu mengikutiku ?.
lihat saja nanti.
“ Dodi masih belum sembuh ya? “ tanya tuan Yopi memperhatikan tempat Dodi
yang kosong.
“ memang Dodi sakit apa ? “ tanyaku , seraya mengangkat tangan.
“ benar juga, kelas ini belum kuberi tahu, “ Kata tuan Yopi menimpa li. “ Dodi
beberapa hari ini sakit demam berdarah, ia dirawat. aku lupa memberitahu
nyonya Laura.”
Aku kurang percaya kalau Dodi dirawat, itu pasti hanya akal-akalannya saja agar
dirinya tidak bertemu denganku, sampai aku celaka, sampai dia berhasil
menggantikanku sebagai pemeran utama. nyonya Laura juga sempat bilang kalau
Dodi akan menggantikanku seandai aku sakit atau berhalangan.
Tidak akan.., tidak akan pernah. Aku harus kerumah Dodi sekarang, aku tahu dia
berbohong, dia tidak dirawat – jelas-jelas dia selalu memantau kamarku, menakut
nakutiku. Aku mengepalkan kedua telapak tangan, memukul-mukul meja saking
geramnya.
Aku bertekad akan kerumah Dodi nanti sore.
“ sudahkah semua berkumpul ? “ nyonya Laura sudah menunggu kami di ruang
auditorium, kami siap-siap memakai kostum untuk latihan. Hari ini, aku dan Deris
akan berlatih adegan akhir. Kami sudah hapal, kami sudah lihai memainkan peran
ini walaupun masih ada waktu beberapa hari lagi untuk pertunjukan, kabar baik.
“ nyonya Laura, “ panggil Ali sembari membawa gulungan kabel. “ kapan aku bisa
mendapatkan seragamku ? “
“ kamu sabar ya tampan, “ sahutnya tersenyum. “ belum ada informasi dari tata
usaha, tapi kau pasti akan punya seragam. “.
Mereka mengobrol didepanku, otomatis aku tersenyum mendengar rengekan Ali
yang terdengar seperti anak kecil yang ingin dibacakan dongeng oleh ibunya.
“ kasihan Ali, “ gumamku. hari ini dia memakai sweater bergaris merah-hitam lagi.
Kami mulai berlatih, aku memperagakan peranku diadegan terakhir. Ceritanya
Happy ending, aku bersama Deris sangat bersemangat. Begitupun untuk para kru
yang sudah hampir selesai mempersiapan segalanya. Pertunjukan tahun ini pasti
keren, tapi aku masih takut bila ayahku protes disaat tahu ceritanya telah
dipentaskan lagi tanpa izin.
“ bagaimana menurutmu Deris ?” kataku setelah berdialog.
“ kalau kita mainnya bagus, ayahmu pasti akan senang” balasnya, seraya
merapikan kostumnya.
Aku setuju dengan Deris, aku tak kefikiran soal itu. Ayah justru bangga kalau
ceritanya kumainkan, dengan acting yang bagus. Ayah akan bangga padaku –
semoga. Sampai senyumku karena pendapat Deris itu memudar, aku mendengar
bisikan ditelingaku, bisikan seperti saat aku bermimpi.
“ Deris, kau dengar ? “ kataku, masih memasang telinga untuk menegaskan suara
bisikan itu.
“ dengar apa ? “ jawabnya. Namun aku tidak menghiraukannya lagi, aku lebih
menegaskan suara itu ditelingaku. Semakin jelas kata-katanya, sosok itu mulai
bertingkah lagi.
~ “ kau akan celaka saat pentas ini akan dimulai..,” bisiknya.
******
10.
Penglihatanku mulai gelap, semuanya gelap. Tidak ada Deris didepanku, tidak ada
nyonya Laura, tidak ada kursi-kursi penonton yang berbaris, tidak ada semua. Aku
hanya melihat kegelapan, cahaya-cahaya berterbangan mengelilingiku, mereka
berputar diantaraku begitu cepat. Semua ini membuatku mual, aku mulai
ketakutan.
“ heey, Deris !!, nyonya Laura, Ali…, teman-teman, “ aku mencari-cari mereka
diantara kegelapan yang menyelimuti. Aku tak bisa melihat apa-apa kecuali
cahaya itu. “ semuanya, tolong aku !!”
Aku jatuh berlutut, kurasakan aku masih berada didasar panggung, namun
semuanya gelap. Aku memejamkan mata, mengangkat topeng kesatria elang ini
kekepalaku, aku menutup wajahku denga kedua tangan. berharap semuanya
kembali normal saat aku membuka mata. Tapi tidak.
Cahaya-cahaya itu masih berputar cepat. Bisikan misterius mengancamku, suara
mereka bergema dimana-mana, seperti lebih dari satu sosok yang menggangguku.
Aku sudah tidak tahan, aku kembali memejamkan mata dan berteriak.
“ hentikaaan !!!! “ suaraku memecah seisi ruang Auditorium. Aku sadar dan
kembali membuka mata, semua kembali normal. Aku melihat Deris didepanku –
menatapku ketakutan, begitupun anak-anak lain yang berkumpul melihat apa
yang baru saja kulakukan. Apakah aku baru saja kena ilusi ?, ilusi hantu. Nyonya
Laura menghampiriku, melipat tangannya dan menatap tajam kearahku.
Aku kena marah.
“ apa yang kau lakukan Senja Surrayhan ? “
“ maaf, maafkan aku nyonya,” kataku sambil mengatur nafas. “ aku hanya kurang
enak badan “.
“ pertunjukan tinggal menghitung hari, kalau kau sakit terpaksa kusuruh Dodi
menggantikanmu.”
“ tapi nyonya Laura, kata tuan Yopi – Dodi dirawat karena sakit demam berdarah,”
Deris memprotes. “ lagipula apa dia bisa memerankan tokoh utama dalam
beberapa hari ?”
“ aku sudah tahu, menurut kabar dia besok akan pulang, dan Dodi sangat berbakat
menjadi aktor, itu jikalau dia benar-benar akan menggantikanmu Senja, “ nyonya
Laura meliriku. “ makanya kuharap kau jangan sampai terkena penyakit, jaga
kesehatanmu.” Nyonya Laura turun dari panggung dan mengumumkan -“ semuanya istirahat sepuluh menit !!” nyonya Laura meninggalkan ruang
Auditorium, disusul teman-teman yang lain.
“ kau tidak apa-apa?, ayo kekantin – mungkin Ali sudah menunggu disana.” Deris
mengajakku, menuntunku keluar ruangan.
******
Hujan deras turun tiba-tiba, sore menjelang malam hari ini begitu gelap dari
biasanya. Tadinya aku bertekad ingin langsung kerumah Dodi dan melabraknya,
tak peduli disana ada orang tuanya – siapa suruh orang tuanya membiarkan Dodi
melakukan ini ?, masa iya mereka tidak tahu.
Dikamarku hangat, aku sibuk memperdalam dialogku agar lebih mantap. Ditempat
tidur dengan selimut, aku memejamkan mata – membayangkan didepanku ada
Deris yang berlagak seperti tokoh Sinyorita, agar penjiwaan peranku sebagai
kesatria elang juga semakin wah!. Aku ingin membuat ayahku kagum, jangan
sampai dia kecewa hanya karena aku membodohi diriku sendiri telah menyalin
karyanya, aku harus merubahnya bangga padaku, bangga dengan actingku yang
lebih bagus – aku harap begitu.
“ looh !!? “ aku memekik kaget, kamarku mendadak gelap. Rumahku mati lampu,
karena hujan deras disertai gemuruh petir yang menyambar. Mungkin saluran
listrik rumahku tersambar petir, semuanya korslet. Ini sudah biasa, ibu akan
menghubungi pekerja listrik untuk membetulkannya. Terpaksa aku harus tidak
melanjutkan latihan dialog, aku hendak tidur – sampai aku merasa ada yang
menarik selimutku.
“ tidak, jangan lagi!” perasaanku berubah jadi takut, aku berusaha menahan
tarikannya. Sosok itu datang lagi, berdiri tegap didepan kasurku. Tenaganya
begitu kuat menarik selimutku hingga terlempar. Aku hendak berteriak, namun
wajahnya mendekati wajahku, tangannya yang dingin menyekap mulutku. Aku
mencoba berontak dan berhasil menyingkirkan tangannya dari mulutku. Aku
berlari kearah pintu namun sosok itu menghadangku dan berbisik – “ jangan
mainkan cerita itu tanpaku !!”. bisikan yang keras.
Aku tak perduli.
Sosok itu mendorongku sampai aku jatuh, aku berusaha bangkit namun ia kembali
mendorongku. Cukup sudah !!, aku sudah tidak tahan.
“ apa maumu !? “ bentakku. “ kenapa kau mau saja dibudaki oleh Dodi, hah !? “.
Suaraku bergetar, tak sadar aku menangis – menangis kesal.
“ jangan ambil peranku !!”. ulangnya semakin keras. Sosok itu menindih tubuhku,
dadaku sesak. Aku terus berusaha untuk menghindar – berhasil !!, sosok itu
menghilang dan ibuku membuka pintu kamarku sambil membawa lilin.
“ Senja, ada apa ? “ wajahnya panik. “ ibu mendengar kau berteriak ?” aku tak
mengubrisnya, aku melewati ibu keluar kamar. Aku akan nekad, menuju rumah
Dodi.
Sembari aku berfikir aku harus keluar rumah, menuju rumah Dodi sekarang juga.
tak peduli hujan lebat. Tapi bagaimana bisa aku cepat sampai kesana ? – aku ingat
ibu meletakan kunci motorku dilaci ruang keluarga. Tentu saja.., aku akan
mengendarai motorku.
“ Senja !!” teriak ibuku memanggil, ia tak mengejarku karena lilin yang
dipegangnya mati, sekitarnya menjadi gelap. Sebelum ibuku menemukan korek
api dan menyalakan lilinnya, aku harus menemukan kunci motorku. Kubuka laci
diruang tamu satu-persatu, aku menggunakan layar ponselku untuk menerangi –
baru kali ini aku membutuhkan ponselku meskipun tidak ada pulsa.
Kuncinya sudah kutemukan, dengan susah payah berjalan dikegelapan menuju
garasi untuk mengambil motorku. Kubuka garasi itu dengan kuncinya yang
menggantung, aku mulai menyalakan mesin motor dan bergegas pergi – untung
pintu gerbang rumahku sedikit terbuka, aku hentakan dengan kaki sampai
gerbang itu terbuka lebar. Aku mendengar suara ibuku dari dalam rumah
memanggilku, namun aku tak menghiraukannya. ” maafkan aku ibu, aku hanya
ingin menyelamatkan diri.” – sesalku.
Aku tidak sempat memakai Helm, saking marah dan kesalku kepada Dodi sudah
tidak bisa kutahan lagi. Hujan lebat dilangit yang gelap membuat sekujur tubuhku
basah kuyub dengan sekejab, aku sangat menggigil, wajahku perih karena
hujaman titik-titik air yang mendarat disekitarnya. Mataku tak bisa melihat jelas
karena kabut dari hujan ini mengalingkan pandangan jalan. Entah sudah berapa
mil jaraknya aku jauh dari rumah. aku tahu alamat rumah Dodi, masih melewati
tiga blok dari tempatku sekarang.
“ owh !!” aku kaget dengan sesuatu yang tiba-tiba muncul dari depan jalan, sosok
hitam itu mengikutiku, berdiri ditengah jalan – disaat motorku melaju kencang.
Semakin dekat dengannya. Aku terkejut, secepatnya kurem motorku hingga roda
belakangnya sedikit terangkat, bunyi decitan rodanya begitu nyaring. Aku
tergelincir dan jatuh karena jalanan aspal yang licin. Motorku terbalik, kurasakan
sakit dikaki kananku karena terkilir, dan kepalaku menghantam trotoar pinggir
jalan.
Aku tidak berdaya.
******
11.
“ aduh, kepalaku” – aku mulai sadar. kepalaku sangat pusing, kakiku terasa nyeri
dibagian kanan. Aku bersyukur aku masih hidup, tapi dimana aku ?.
Deris dan Ali duduk disamping ranjangku, mereka memegang sebuah plastik berisi
buah-buahan. Aku dirawat, aku sudah berada dirumah sakit, kurasakan sebuah
perban melilit sekitar dahiku, menutup luka karena benturan trotoar dikepala,
kaki kananku juga diperban, terasa nyeri namun aku masih bisa menggerakannya
sedikit.
“ kaki kananmu patah,” kata Deris. mengusap-usap bahuku. “ tapi kau tenang saja,
tidak separah kaki orang yang diamputasi “.
“ aku fikir aku sudah mati.” Gumamku, sedikit mengangkat badanku bersandar
pada bantal.
“ kau kecelakaan motor semalam, seseorang menemukanmu tergeletak dijalan,”
jelas Deris lagi. “ ibumu sangat panik, semalaman dia menangis.”
“ ibuku, dimana ibuku sekarang?”.
“ ibumu baru saja keluar, membeli air mineral, aku dan Ali sengaja menjengukmu
dan membeli buah.” Deris meletakan plastik buah itu kemeja.
“ apakah aku boleh minta satu apel ? “ tanya Ali mengambil apel merah dari
plastiknya. “ sudah lama aku tidak makan apel.”
“ Ali, tidak boleh! “ Deris merebut apel yang ada ditangannya. aku lagi-lagi tertawa
melihat tingkah Ali.
“ tidak apa-apa Deris, berikan apel itu untuk Ali,” izinku. “ kalau kau mau juga
silahkan, sekali lagi terima kasih ya.”
Deris tersenyum, “ tidak, buah-buah ini untuk kau saja. aku bukan orang yang
celamitan. “ sindirnya, melirik sinis ke Ali yang tengah menggigit sebuah apel. Ali
balas menjulurkan lidahnya – ngeledek.
“ ngomong-ngomong, bagaimana dengan peranku ?” kataku tentang peran itu.
“ sayang sekali,” sahut Deris menghela. “ saat nyonya Laura tahu kau mengalami
kecelakaan, namamu dicoret.”
Aku sedih mendengarnya, aku tak begitu terkejut dengan sebuah kenyataan ini.
aku memang sudah menebak kalau aku tidak akan bisa melanjutkan peran
teather. Aku hanya bisa merunduk, menangis tanpa ekspresi, merasa gagal dalam
sesuatu yang selama ini ku usahakan. Sebagai laki-laki aku merasa malu meratapi
kegagalanku didepan seorang wanita, Deris. – ia kembali membelai bahuku,
menatapku prihatin, meyakiniku untuk percaya semua akan baik-baik.
Ali juga menatapku kasihan, aku tahu ia sedang memikirkan sebuah lelucon
untukku agar aku tertawa kembali, tapi ia tahu bahwa semuanya percuma tatkala
melihatku sangat bersedih.
“ harusnya kau tidak gegabah,” tegur Deris padaku. “ aku tahu kok rencanamu
semalam ingin melabrak Dodi.” Aku mengangguk.
“ pasti Dodi sedang berpesta merayakan keberhasilannya dalam menyelakaiku,
ya…, bersama hantu-hantu itu.” Gumamku.
“ ya, Dodi juga menggantikanmu sebagai kesatria elang.” Jawab Deris, “ aku
sedikit malas berduet acting dengannya “.
“ loh, memang Dodi sudah sembuh?, Tadi dia masuk ?”. kataku lagi. Deris
menggelengkan kepala.
“ hari ini Dodi belum masuk sekolah, tapi menurut kabar besok dia akan kembali
masuk. Jadi nyonya Laura langsung memutuskan Dodi untuk menggantikan
peranmu, sedangkan Rossa menjadi pembawa acara bersama Rachol –
menggantikan Dodi.”
Nyonya Laura memang sudah mengenal Dodi sebagai anak yang berbakat dalam
beracting. Keunggulan Dodi bisa menjiwai karakter yang ia dapat hanya dalam
waktu tiga hari, jadi tak heran – tapi aku tak terima untuk kali ini.
Deris dan Ali berpamit pulang, begitu ibuku datang membawa dua botol besar air
mineral dan seloyang kue cokelat.
“ anakku sudah sadar rupannya!” sambut ibuku gembira, memelukku dan
mencium kepalaku. “ terimakasih kalian telah menjenguk Senja.” Ibuku menoleh
ke Deris dan Ali. Masing-masing dari mereka diberi sepotong kue cokelat oleh
ibuku, Ali begitu suka, sampai ia meminta dua potong kue cokelat – tidak tahu
malu.
Aku merasa bosan, aku ingin jalan-jalan. Tadinya ibu tidak mengizinkanku untuk
kemana-mana dulu, karena perbannya masih basah. Aku tetap memaksa, aku
tidak kuat dengan aroma ruang perawatan ini, wangi tapi membuatku sedikit
mabuk. Dengan izin suster yang menanganiku, aku diperbolehkan jalan-jalan
mengelilingi rumah sakit. Kaki kananku masih sangat nyeri untuk bergerak, aku
fikir aku akan menggunakan tongkat untuk berjalan, namun itu belum waktunya.
Aku ditemani oleh ibu, jalan-jalan disepanjang lorong – menggunakan kursi roda.
Disepanjang lorong aku masih merasa bosan. Hanya ada pemandangan taman dan
air mancur, tidak keren. Lingkungan yang dikelilingi orang-orang sakit, bahkan
sesekali mayat yang ditutupi kain lewat disampingku dengan trolling, didorong
oleh beberapa pengurus kamar mayat serta orang-orang yang menangis
mengikuti dibelakangnya. Hiii ~
“ hey senja, bagaimana kalau ibu seperti orang yang di trolling itu? “ tanya ibuku,
sembari perlahan mendorong kursi roda.
“ apaan sih bu ?, aku belum siap ibu meninggal,” jawabku jengkel. “ ibu kalau
bercanda ada-ada saja.” ibuku tertawa. Tetapi aku tak mengubrisnya lagi, aku
melihat diujung lorong seperti seseorang yang kukenal, memakai jaket hitam
berkapucong dengan seorang kakek tua. Aku memicingkan mata untuk lebih
menegaskan,
“ loh, itu Dodi !“
******
12.
Ponsel ibuku berbunyi, ia sedikit melangkah berbalik arah untuk menghindari
ramainya suara lorong rumah sakit – agar lebih jelas untuk menelpon. Ini adalah
kesempatanku untuk menghampiri Dodi, ujung lorong disana tak begitu jauh, aku
bisa kesana dengan kursi roda tanpa sepengetahuan ibuku. Sejenak aku melirik
ibuku, sepertinya ia sedang berbicara dengan ayah dikantor, menanyakan
keadaanku sekarang.
Dengan sigap aku memutar roda untuk melaju kedepan, mendekati Dodi yang
tengah duduk dikursi panjang pinggir lorong bersama seorang kakek. itukah
dukunnya ? – fikirku.
“ Dodi !!” teriakku memanggil. Ia dan kakek tua itu menoleh kearahku bersamaan.
Andai saja kalau aku tidak dikursi roda, sudah kupukul dia.
“ Senja ?,” sahutnya. “ kau benar-benar kecelakaan? “
“ bukannya kau sudah tahu?” kataku sinis.
“ iya, tadi pagi nyonya Laura menghubungiku kalau kau kecelakaan, dan tidak bisa
melanjutkan peranmu, jadi aku yang menggantikanmu,” Jelasnya, “ kebetulan aku
kembali bersekolah besok, jadi aku menerima tawaran itu.”
“ sudah cukup senja !!” bentakku tiba-tiba. “ kau pandai sekali mencari alasan,
sudah puas kau mencelakaiku, menyingkirkanku untuk menjadi peran utama
diteather nanti !!?” Dodi memasang wajah yang heran, begitupun kakek tua
disampingnya. “ selamat Dodi.., kau menang, dengan cara licikmu itu.”
“ maksud kamu apa! Senja.” Sahutnya, “ aku tidak mengerti, cara licik apa? “
“ selama ini kau tidak sakit kan?, kau main dukun itu dan membudaki sosok hantu
untuk terus menggangguku, agar aku mundur dari peran utama yang selama ini
kau inginkan! “ rasa amarahku semakin panas. Namun disini ramai, tidak ada
seorangpun yang menyadari akan kemarahanku. Aku menoleh kearah ibuku dari
kejauhan, dia masih sibuk menelepon – tak sadar aku sudah jauh darinya.
“ dukun ?, dia kakekku” jelas Dodi menggenggam lengan kakeknya. Kakek tua
itupun tersenyum padaku. “ selama ini aku dirawat disini karena demam
berdarah, bukannya kau sudah tahu?, “
“ lalu, nyonya Laura pernah bilang – dia sempat bertemu denganmu dan kakekmu
ini di jalan bukit Blok-B tengah malam?, bukannya kau habis menggangguku?,
berdiri diluar jendela kamarku dengan tipuan sihir ?”
“ tipuan sihir !? “ Dodi hendak menjelaskan. “ orang tuaku sedang diluar kota, aku
dititipkan dirumah kakekku, dijalan bukit Blok-B – tidak jauh dari rumahmu kan?,
namun disaat tengah malam, aku merasa menggigil. Kakekku hendak
mengantarku ke Klinik, dan bertemu dengan nyonya Laura. Kami tak sempat
mengobrol karena nyonya Laura terlihat sedang terburu-buru. entahlah.., begitu
aku berobat di Klinik, ternyata aku demam berdarah dan harus dirawat inap
sampai beberapa hari,”
Aku sadar dengan apa yang dikatakan Dodi, selama ini bukan dia pelakunya. Aku
bodoh sekali, lalu siapa yang selama ini menghantuiku. aku kembali berfikir
panjang, awalnya aku menemukan naskah ayahku digudang, dengan curang aku
menyalin naskah itu untuk nilai sastra sampai akhirnya dipilih untuk dipentaskan.
Sosok hitam itu tiba-tiba muncul setelah aku ditunjuk sebagai pemeran utamanya,
kenapa ini bisa terjadi ?. apa ini adalah sebuah karma karena aku curang ?, apa
naskah yang ayahku buat itu telah terkutuk, ada penghuninya, atau jangan-jangan
yang menerorku selama ini adalah ayahku sendiri ?.
Berkali-kali aku minta maaf pada Dodi atas perasangka burukku selama ini,
untungnya Dodi langsung memaafanku, begitupun dengan kakeknya yang sudah
kutuduh sebagai dukun. Aku tak menyangka kalau Dodi mempunyai sifat pemaaf
yang tulus, walau tampangnya selalu ngajak ribut. Sebagai rasa bersalahku, aku
rela bila Dodi menggantikan peranku sebagai kesatria elang. Aku sadar, fisik
seseorang itu belum tentu sesuai dengan sifat dan perilaku pribadinya.
Aku akan bertanya soal ini kepada ayahku nanti, terpaksa aku juga harus
mengakui bahwa karyanya kusalin tanpa izin. – aku harus siap.
“ Senja, ibu kira kau kemana ?” ibuku sudah selesai menelepon ayah, ternyata dia
sedang mencariku.
“ iya ibu, maaf.”
******
malam hari aku sudah kembali diranjangku, rasa nyeri dikaki kananku terasa lebih
baik. Deris dan Ali kembali menjenguk, mereka berdua selalu janjian dirumah
Deris. aku menceritakan semua yang sebenarnya, aku baru bertemu Dodi tadi
siang dan bukan dia pelakunya. Tetapi aku masih penasaran dengan datangnya
hantu itu tiba-tiba, apa hubungan hantu itu dengan cerita K esatria elang dan
Sinyorita karya ayahku ?, apa hubungan dia dengan ayahku sendiri ?. Deris dan Ali
hanya diam, aku saja tidak tahu – apalagi mereka.
“ oh ya, aku lupa menanyakan Taufan adikmu. dia baik-baik saja ?” tanyaku pada
Deris yang sedang mengupas kulit jeruk.
“ ya, adikku sakit demam. dia kena sawan,” balasnya. “ semenjak kau
menggendongnya dan dia menangis.”
“ maafkan aku Deris, ini semua salahku. Kalau saja aku tak akan pernah berbuat
curang menyalin karya ayahku.”
“ tidak, itu bukan salahmu,” Deris meyakini. “ itu salah hantu yang sedang
mengikutimu.”
“ ya, hantu yang terus mengikutimu kemanapun kau pergi,” sambung Ali,
mulutnya penuh dengan kunyahan Apel. “ mungkin hantu itu menyukaimu senja. “
usulnya.
“ gak lucu! “ Kataku, namun tetap saja aku tertawa dengan celotehannya.
Akibat sosok hantu yang mengikutiku, membuat adiknya Deris terkena sawan.
Sawan itu sendiri adalah penyebab seorang bayi yang telah melihat makhluk halus
disekitarnya, mata batin semua bayi itu peka sampai mereka berusia setahun.
Akibatnya, mereka bisa demam dan terus menangis, sampai demamnya itu
sembuh.
Beberapa hari setelahnya, akhirnya aku diperbolehkan pulang. Luka dikepalaku
sembuh, namun kaki kananku sedikit terasa sakit bila diajak berjalan. Aku
menggunakan tongkat yang diberi pihak rumah sakit – gratis.
Saatnya makan malam, ayah dan ibu berada diseberang kursiku. Aku hanya
mengaduk-aduk hidanganku dipiring, ragu-ragu untuk bertanya pada ayah soal
hantu naskah itu.
“ senja, ayo dimakan! “ tegur ibuku.
“ iya bu, “ sahutku melirik ke ibu, lalu ayah. – Ayahku begitu lahap menyantap
sosis panggang. aku menghela nafas lebih dulu sebelum memberanikan diri untuk
menceritakan tentang semua kejadian yang aku alami.
“ hmm, ayah? “ kataku membuka pembicaraan.
“ ada apa Senja ?,” sahutnya setelah meneguk air putih.
“ aku ingin bertanya soal Naskah ayah sewaktu ayah sekolah dulu,” jantungku
agak deg-degan. “ naskah yang berjudul Kesatria elang dan Sinyorita itu.”
Sontak ayahku terkejut mendengarnya, ia menghentikan makannya. Dahinya
mengkerut dan menatapku tajam. Aku mencoba terus menceritakan semuanya.
“ ayah tahu nanti ada acara reuni akbar disekolah?, aku tidak sengaja menemukan
naskah itu digudang, menyalin cerita ayah itu dan ternyata terpilih sebagai cerita
teather.” Aku sadar suaraku semakin bergetar.
Ayah mengepal kedua tangannya, menggebrak meja makan cukup keras, sampai-sampai piring dan gelas sedikit melompat, ibuku juga kaget. Wajah ayah
menggeram menatapku semakin tajam. Ya ampun…,
Ayah akan marah besar padaku.
******
13.
“ kenapa kau tidak bilang ayah dulu!? “ bentak ayahku, berdiri dari kursinya.
“ aku tidak maksud untuk memberikan cerita itu untuk dipentaskan ayah, aku
hanya ingin mendapatkan nilai sastra guruku, tapi cerita itu malah terpilih karena
bagus. “ aku menjelaskan semuanya, ayah mendengus – menenangkan diri.
kembali duduk.
“ siapa pemerannya ?.”
“ tadinya aku yang menjadi kesatria, tapi karena kakiku patah digantikan oleh Dodi
temanku, dan yang menjadi Sinyorita itu Deris.” ayahku merundukan kepala,
seperti sedang merenungi sesuatu.
“ ayah ?.” aku memanggilnya lembut.
“ ada apa sih ?” tanya ibu penuh heran. aku mengangkat bahu.
“ ayah,” panggilku lagi. Ayahku masih diam merunduk. “ aku minta maaf, telah
menyalin cerita ayah tanpa izin, aku tahu itu adalah sebuah kecurangan. tapi ini
memang sebuah kebodohanku, aku tahu ayah ingin aku lebih mandiri soal semua
tugas-tugas yang aku dapat, ayah tolong jangan kecewa padaku!”
Ayah mulai bersikap biasa, ia menatapku – dengan wajah penuh penyesalan.
“ ayah tidak kecewa, ayah tidak marah, ayah hanya terkejut kenapa tiba-tiba kau
bertanya soal naskah tua itu,”
“ iya ayah, itu yang ingin aku tanya pada ayah,” aku melirik ibu. Ibu juga terlihat
cemas, tetapi tidak tahu apa yang terjadi. “ saat aku mengambil cerita ayah untuk
dipentaskan nanti, saat aku dipilih menjadi peran utama, aku mengalami kejadian
aneh. aku diikuti sosok gelap, aku bermimpi buruk, bahkan sosok itu terus
mengancamku. Aku kira itu Dodi yang sirik dan ingin merebut peranku, tapi
ternyata bukan,”
“ mengancamu bagaimana ?” tanya Ayahku.
“ dia bilang, aku tidak boleh menggantikan perannya,” kataku. “ maksud semua itu
apa ayah?, apa hubungan hantu itu dengan naskah yang ayah buat ?”
Ayahku ragu-ragu untuk menjawab, namun semua sudah telanjur. Aku menunggu
jawaban dari ayah, begitupun ibuku.
“ mungkin dia kembali begitu tahu naskah ayah telah kau temukan, dia datang
untuk melanjutkan perannya sebagai kesatria elang dicerita itu.”
“ maksud ayah ?,” aku semakin bingung.
“ mungkin hantu itu, dia sahabat ayah waktu kami menginjak kelas dua belas.
tepatnya dua puluh tahun yang lalu disekolahmu.” Jelasnya
“ sahabat ayah ?? “ aku terkejut, “ lalu, kenapa dia datang lagi dan melarangku
untuk memerankan tokoh itu ?”
“ itu karena kau telah membuat ceritanya dipentaskan kembali,” gumamnya.
ayahku mengambil sehelai tissue dan mengelap mulutnya yang berminyak.
“ lupakan itu, ayah harus menghubungi kerabat kerja dulu .” Ayahku bangkit dari
kursinya dan hendak menuju kekamar. “ besok pagi kita harus sudah sampai
disekolahmu, agar dapat tempat duduk paling depan, jangan berfikir lagi kalau
hantu itu datang, sekarang kau sudah gagal menggantikan perannya, kau aman.”
Aku termenung dikamar setelah makan malam, semakin hari kaki kananku
semakin membaik, tapi belum diperbolehkan untuk melepas perbannya. aku
masih tak percaya, hantu yang selama ini menerorku adalah sahabat ayahku
sendiri. tapi, kenapa hantu itu bisa meninggal?, kenapa hantu itu masih saja
menginginkan perannya sebagai tokoh utama?. aku tidak yakin dengan kata
ayahku tadi, kalau hantu itu sudah pergi. Benar juga..,
Aku seperti normal kembali, tidak merasa ada yang mengikutiku lagi. Tapi, aku
baru ingat kalau Dodi akan menggantikanku besok, apakah hantu itu telah
meneror Dodi?. Hantu sahabat ayah memang berhenti menerorku, itu karena aku
sudah gagal menggantikan perannya, tapi bagaimana dengan Dodi sekarang ? –
aku harap yang dikatakan ayahku tadi benar, hantu itu jangan sampai muncul
besok.
Aku harus menghubungi Dodi untuk memastikan. Kebetulan aku punya buku
nomer telepon teman-teman sekelasku, tapi untuk pertama kalinya aku sangat
berniat menghubungi Dodi.
lima detik.., sepuluh detik.., dua menit. Telepon rumahnya tidak bisa dihubungi,
aku mengecek kembali buku nomer teman-temanku, siapa tahu aku salah digit.
ternyata aku sudah benar, tapi Telepon rumahnya tak bisa dihubungi. Aku
menggigit jari, kalau saja aku punya nomer ponselnya – Deris juga tidak akan
punya.
Untuk pertama kalinya juga aku begitu gelisah memikirkan Dodi, padahalkan
sebelumnya aku sangat benci pada dia, tapi Dodi begitu baik, dengan mudah
memberi maaf atas perasangka burukku dengan tulus.
Ada apa dengan Dodi sampai tidak bisa dihubungi, apakah dia frustasi karena
sedang diganggu oleh hantu naskah itu sekarang ?.
******
14.
Ini adalah hari yang kami tunggu -tunggu, hari ulang tahun sekolahku – Graphyca
Hight School. ibu membangunkanku pagi sekali, membantuku untuk bergegas
kekamar mandi karena jalanku yang masih dibantu oleh sebuah tongkat.
“ selamat ulang tahun, Graphyca” seruku, sebelum bangkit dari tempat tidur.
“ ayo cepat, nanti ayah bisa cerewet kalau kau lamban.” kata ibu, membantuku
berdiri dan mengambilkan tongkatku. setelah kami bersiap-siap dan sarapan, kami
berangkat.
“ ayah, semoga hantu itu tidak mengacaukan acaranya ya, “ Kataku hendak masuk
kemobil jok belakang, disusul ibuku yang duduk didepan bersama ayah.
“ jangan bahas itu senja,” jawabnya sambil menyalakan mesin mobil. Matanya
melirikku lewat spion atas. “ jangan sampai kau menceritakan pada siapapun
disekolah.” – aku mengangguk, aku berharap Dodi tidak apa-apa.
“ ibu tidak sabar menyaksikan pentas dari cerita ayahmu.” Ibuku menoleh
kearahku.
“ tapi aku mohon, ibu dan ayah jangan bilang ini bukan karyaku pada nyonya
Laura – guru teatherku, aku tahu aku salah, tapi aku menyesal.” rengekku, ibu
sepakat denganku, ia mengedipkan sebelah matanya.
“ setidaknya, ibu bisa melihat cerita karya ayahmu, sebelumnya kan ibu belum
pernah lihat. “ balasnya. aku tersenyum lega.
Sampailah kami disekolah, ibu dan aku turun lebih dulu untuk mendapatkan
tempat duduk paling depan, sedangkan ayah harus memakirkan mobilnya. Masih
belum ramai, kami kepagian. Aku melihat Deris, Ali dan beberapa kru yang
bertugas sudah berkumpul di belakang panggung, mereka tengah diberi instruksi
oleh nyonya Laura, aku menghampiri mereka.
“ Senja !!, kau datang,” Deris menyambutku, aku begitu terpukau melihat
penampilannya pagi ini, dengan make-up, kostum dan untaian model rambutnya.
Deris benar-benar seperti perempuan feminim.
“ senja, kau sudah baikan ? “ sambung nyonya Laura mendekatiku.
“ iya, aku bersama orang tuaku. Kami akan duduk paling depan”. Sahutku.
Aku memperhatikan setiap anak namun tidak melihat Dodi, - hey itu Dodi. ia
belum memakai kostum kesatria elangnya, sepertinya Dodi baru sampai.
“ Dodi, “ sapaku.
“ ya, kau sudah baikan ?,” sahutnya, menepuk bahuku – aku mengangguk
“ apakah kau baik-baik saja selama ini? “
“ ya, aku baik-baik saja sehabis pulang dari rumah sakit. Kenapa?”
Bagus deh, sepertinya Dodi tidak diteror oleh hantu itu. tapi kenapa hanya aku
yang diganggunya, mungkin karena aku adalah orang yang menemukan naskah
itu. – sudahlah, aku sangat senag ini berakhir. Hantunya benar-benar pergi, sudah
berhasil mencelakaiku.
“ dan semalam aku kan menelponmu ?,” tanyaku lagi. “ tapi tak bisa dihubungi.”
Dodi tertawa, ini juga baru pertama kalinya aku melihat dia tertawa, “ kau lupa ya
senja, aku kan sudah bilang aku tinggal dirumah kakekku sementara. Orang tuaku
keluar kota, jadi beberapa hari ini rumahku kosong dan semua daya listrik
dipadamkan,”. Owh iya! – gumamku, aku lupa.
“ yasudah kalau begitu, cepat kau pakai kostum kesatria elangnya. Kostumnya
keren loh. “ usulku
“ nanti saja, lagipula perutku mulas,” Dodi melirik jam tangan yang dipakainya, “
masih ada setengah jam lagi, sepertinya aku akan ketoilet dulu.”
“ baiklah.” Kataku, kembali menghampiri orang tuaku yang sedang melihat-lihat
apa saja yang ada diacara ini. sebelumnya, kami sudah membocking tempat duduk
paling depan.
Suasana reuni akbar begitu ramai, beberapa permainan kecil-kecilan, banyak yang
membuka stand untuk menjual kaus dengan tulisan Graphyca hight school,
makanan dan minuman, serta asesoris yang murah meriah. Aku bertemu
beberapa alumni sekolah ini dari berbagai tahun angkatan, mereka saling
berpelukan – melepas rindu karena sudah bertahun-tahun tidak berjumpa.
Begitupun ayahku yang beberapa kali bertemu dengan teman lamanya.
Waktunya dimulai !! – Rossa dan Rachol sudah tampil, mereka membuka acara
untuk memulai pentas teathernya. Kami bertepuk tangan, alunan musik dari tim
orchestra mulai dimainkan, tirai raksasa merah perlahan terbuka. Lampu se-auditorium gelap, hanya lampu-lampu panggung yang terang benderang.
“ ini ceritamu ayah,” bisiku seraya bertepuk tangan. Ayah tersenyum lebar,
“ terimakasih ya.” Sahut ayahku.
Kesatria elang dengan jubah merahnya yang berkibar muncul dari balik tirai,
berkelahi dengan kawanan perampok yang jahat, menjajah warga desa –
ceritanya.
Aku dan para penonton lain selalu bersorak dan bertepuk tangan disaat kesatria
itu beraksi. Waah.., aku akui deh, Dodi memang sangat berbakat dalam
mendalami perannya, - kataku dalam hati. Begitu juga dengan Deris, betapa
piawainya dalam memerankan tokoh Sinyorita. mereka berdua, serta pemeran-pemeran kawanan perampok sangat kompak, ditambah artistiknya yang keren,
backsong musik, lampu-lampu, dan efek dari dry ice yang mengepul didasar
panggung – semuanya terlihat mengagumkan.
“ Ali hebat juga jadi tukang lampu – haha,” fikirku. Tapi aku tak bisa melihatnya
diatas, entah dia sedang apa.
Sampai pada adegan-adegan akhir, kekagumanku berubah menjadi kepanikan.
Dialog akhir yang seharusnya - kesatria elang menyatakan cinta kepada sinyorita -begitu berbeda, tidak sesuai naskah sama sekali. Aku dan ayahku saling melirik,
heran dengan perbedaan dialog itu. aku melihat Deris yang berdiri dihadapan
Dodi juga merasa bingung, kenapa Dodi berbicara tak sesuai dengan dialognya.
Kedua tangan Dodi mencengkram bahu Deris, Deris sendiri terdiam entah harus
berbuat apa dihadapan banyaknya penonton. Perlahan mereka melayang ke atas
tanpa bantuan tali artistik, angin berhembus diantara mereka entah datang dari
mana, rambut Deris berkibar-kibar karena angin itu – wajahnya sangat ketakutan,
namun penonton justru lebih kagum melihat semua ini.
“ efeknya keren !! “ aku mendengar salah satu dari penonton bicara seperti itu. “
benar, efeknya keren !! seperti asli. dialognya juga begitu menegangkan !!”
Seluruh penonton semakin kagum melihat semua ini, aku dan Ayahku saling
bertukar pandangan ngeri, ada yang tidak beres – hanya kami berdua yang
menyadari cerita itu sangat berbeda, entah dengan nyonya Laura dan tokoh yang
lain. aku menegaskan wajah dibalik topeng kesatria itu, karena topeng itu hanya
menutupi bagian kepala sampai hidung – jadi mulutnya tetap kelihatan.
“ Dodi itu memiliki tahi lalat dibagian bawah bibirnya,” kataku pada ayah.
“ lalu kesatria elang itu tidak tampak tahi lalat dibibirnya.”
owh tidak, selama pertunjukan berlangsung yang menjadi kesatria elang bukanlah
Dodi. Hantu itu kembali, hantu itu berhasil merebut perannya. Lalu, dimana Dodi ?
Dan apa yang akan hantu itu lakukan pada Deris ditengah banyaknya penonton ?.
******
15.
“ akhirnya !!, aku bisa memerankan tokoh ini, aku bisa menyelesaikan peranku
yang gagal dua puluh tahun yang lalu !!” suara hantu itu bergema, berat dan
serak, menatap Deris menyeringai. Aku tidak tega melihat Deris, buru -buru aku
berlari kebelakang panggung, tak peduli kakiku sakit – melangkah berpincang-
pincang. Ayah dan ibuku memanggil, namun aku pura-pura tidak mendengarkan.
Aku akan bertemu denga nyonya Laura, aku akan bilang kalau kesatria itu bukan
Dodi, dia hantu.
“ nyonya, itu bukan Dodi ?,” desakku.
“ kau bicara apa, aku semakin kagum dengan anak itu, dia telah mempersiapkan
dialognya sendiri agar terlihat lebih nyata.” Jawabnya, memperhatikan dari
samping panggung, matanya tetap fokus pada aksi kesatria elang.
Nyonya Laura tak percaya – justru semakin kagum dengan peran kesatria itu, yang
dianggapnya adalah Dodi.
“ aah, apa gunanya bicara dengan nyonya Laura.” Aku meninggalkan dia, nekad
naik kepanggung. aku ingin bertanya pada hantu itu mengapa dia kembali, aku
juga tak tega melihat Deris menghadapi ini sendiri, wajahnya begitu takut –
ironisnya semua penonton semakin ramai bersorak, menganggap adegan akhir ini
begitu keren.
“ Senja. Apa yang sedang kau lakukan!” nyonya Laura memanggilku, aku tidak
mengubrisnya. Susah payah aku menaiki tangga panggung dengan kaki yang
diperban. padahal hanya empat anak tangga kecil, kaki kananku yang patah
berdenyut-denyut merasa seperti menaiki seratus anak tangga. Aku tak perduli,
aku ingin menyelamatkan Deris.
“ hentikan semua ini hantu kesatria elang! “ bentakku. Aku memandang wajahnya
yang dihalangi topeng begitu dekat, tidak jelas. bibirnya sangat pucat
“ Senja, tolong aku? “ kata Deris, kulihat dia menangis. Pertama kalinya aku
melihat Deris menangis ketakutan.
“ tolong turunkan temanku,” kataku memohon.
Kulirik seluruh penonton, semuanya bersorak gembira bahkan ada yang berdiri
sambil bertepuk tangan. Mereka kira aku adalah pemeran warga desa yang
berniat menyelamatkan sinyorita. ayah dan ibuku begitu terkejut melihatku sudah
diatas panggung, mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena begitu ramainya
ruang auditorium. Tapi ayah tahu apa maksudku naik keatas panggung.
“ kalian berdua telah membuat cerita ini benar-benar dipentaskan,” gumam hantu
itu lagi, “ jiwaku tidak tenang setelah aku tewas, sebelumnya akulah yang menjadi
pemeran utama cerita ini, ini adalah impian besarku. namun aku dibunuh oleh
seseorang yang tidak suka bila aku menjadi tokoh utama. aku ditabrak sampai
mati ketika dalam perjalanan menuju pentas, - aku gagal mementaskan cerita ini.”
“ jadi itu sebabnya kau kembali?” kataku meringis, “sekarang kau berhasil
menyelesaikan peranmu dengan baik, kau puas, kau berhasil mencelakaiku – kau
harus pergi dengan tenang, lepaskan temanku!!”
Angin disekitar panggung perlahan berhenti. hantu itu menurunkan Deris,
rambutnya begitu berantakan. Aku memeluk Deris, hantu itu terbang dan
menghilang, membawa kostumnya.
“ semua sudah selesai Deris, sudah selesai “ kataku pelan merangkul Deris.
Semua penonton bersorak sorai, berdiri dan bertepuk tangan semakin ramai dan
ramai sekali. Begitupun ayah, ibu dan nyonya Laura.
Mereka fikir ini adalah ceritanya, menggunakan efek yang begitu keren, tak
terlihat sama sekali artistiknya yang membuat kesatria elang pergi terbang dan
menghilang.
“ hebaat!! Keren! “ itu yang kudengar dari seluruh ruangan.
Nyonya Laura begitu haru melihat kami, ia tak heran sedikitpun dengan ceritanya
yang kacau. Yang terpenting, semua penonton suka – fikirnya.
Aku senang semua sudah berakhir, hantu itu sudah melanjutkan peran ini yang
katanya dulu gagal.
“ yasudah, sekarang kita menemui Ali dan mencari Dodi.” ajaku pada Deris.
Nyonya Laura menghampiri kami begitu turun dari panggung, Rossa dan Rachol
kembali dengan tugasnya.
“ penampilan kalian begitu hebat !!” pujinya. “ aku sempat keliru begi tu Senja naik
panggung, tapi ternyata itu adalah salah satu konsep kalian.”
“ iya nyonya Laura, terimakasih.” Kataku berbohong, “ kami memang sudah
merencanakan ini sehari yang lalu.”
“ bersama Dodi!! “ sambung Deris.
“ ya bersama Dodi.”
“ sampaikan salamku pada Dodi ya, aku mau bertemu dengan para wali murid
disana,” kata nyonya Deris, meninggalkan kami menuju kursi-kursi penonton.
“ dimana Ali ?,” Deris menoleh kesetiap sudut ruangan, banyak para kru disana
namun kami tidak melihat Ali.
“ diakan tukang lampu, dia tidak akan selesai sampai auditorium benar-benar
kosong.” Kataku.
“ yasudah kita cari Dodi saja, ada apa dengan dia tiba-tiba menghilang.” Deris
menuntunku.
Baru beberapa langkah, kami melihat Dodi menghampiri. Wajahnya terlihat lesu,
pakaiannya sedikit basah kuyub.
“ Dodi !!, kau tak apa-apa. Tanyaku
“ ya, ada sesuatu yang menyeramkan disaat aku buang air besar ditoilet.”
“ apa kau bertemu sesosok hantu ? “. tebak Deris, kami saling memandang. Dodi
mengangguk.
“ benar, entah hantu dari mana dan untuk apa dia menakutiku,” jelas Dodi.
“ hantu itu besar dan dingin. dia bilang padaku aku tak boleh kemana-mana, dia
ingin menggantikan peranku. Aku ingin teriak tetapi suaraku tak keluar, tiba-tiba
aku sangat mengantuk, mataku begitu berat, dan tertidur di toilet, sampai
seseorang membangunkanku.”
hantu itu cerdik – fikirku, ia tahu kalau Dodi yang menggantikan perannya. Hantu
itu membuat Dodi pingsan dan dia yang mengambil alih untuk pentas.
“ aku lapar,” kataku.
“ bagaimana kalau kita kekantin ? “ sahut Deris
“ oke! “ aku menyetujui “ kau ikut Dodi ? “
“ ya, aku juga lapar."
******
16.
kami berjalan menuju kantin untuk istirahat dan makan-makan, sesudahnya kami
akan menemani Ali yang masih bertugas diatas panggung sampai pulang. aku
melihat ayah dan ibuku sedang berada didepan pintu tata usaha.
“ ayah !! ibu !!” panggilku, melambaikan tangan dan menghampiri mereka.
“ Senja,” sahut ibuku “ pertunjukan kalian hebat sekali.”
“ terima kasih nyonya Surrayhan.” balas Deris dan Dodi serempak.
Aku melihat ayah sedang memegang sesuatu, berupa file kertas yang didalamnya
seperti buku usang.
“ kalian mau kemana? “ tanya ayah.
“ kami mau kekantin, kami lapar “ jawabku. “ hmm, apa yang kau pegang ayah? “
Ayahku langsung menunjukan buku usang itu kepada kami. “ ini file, isinya data-data ayah dan teman-teman seangkatan tahun 94. sengaja ayah meminjamnya di
tata usaha, untuk melihat kembali foto-foto para murid seangkatan ayah di
sekolah ini, – ayah begitu rindu.”
“ bagaimana kalau kita kekantin bersama,” usul ibuku. “ kita akan melihat-lihat
buku itu.” Aku, ayah, dan lainnya sepakat. Kami menuju kantin dan memesan
beberapa makanan siap saji.
Aku menceritakan kejadian yang menyeramkan tadi pada Dodi saat pentas
berlangsung, ayahku juga tahu tentang itu bahwa hantu itu adalah sahabatnya
yang pernah diceritakan.
“ kalau kau bertemu nyonya Laura, bilang saja kau memang mempersiapkan
dialog yang berbeda,” kataku pada Dodi. Dodi mengerti dengan apa yang
kumaksud. “ ayah, hantu sahabat ayah yang muncul tadi benar-benar kembali.”
Aku menoleh keayahku, kuperhatikan ayah kembali bersedih, bibirnya terlipat dan
kepalanya merunduk.
“ kenapa sahabat ayah itu sampai tewas ditabrak mati ?, ayo ceritakan” desakku.
“ waktu ayah kelas dua belas seusiamu, ayah terkenal sebagai penulis cerita yang
hebat.” ayahku mulai bercerita. “ naskah ayah yang berjudul kesatria elang dan
Sinyorita itu dinilai bagus oleh pembimbing, tetapi ayah menolak untuk menjadi
pemeran utama, itu karena ayah ingat dengan sahabat ayah yang mempunyai
impian menjadi pemeran utama dipentas teather sekolah. dia sangat berterima
kasih begitu tahu ayah menunjuknya sebagai pemeran utama dalam cerita itu.
setiap hari dia tak pernah libur latihan dan begitu antusias, sampai pada hari
dimana pentas itu akan dimulai, dia ditabrak mati oleh seseorang dijalan menuju
sekolah. Ayah fikir dia hanya kecelakaan, ternyata tanpa disadari ada teman kami
yang tidak suka kalau dia menjadi pemeran utama, sampai-sampai dengan sengaja
menabraknya dengan mobil. Mendengar berita itu pentas teather dibatalkan,
teman kami yang tidak bertanggung jawab itu dipenjara. ayah sangat bersedih
kehilangan sahabat. Ayah selalu ingin menangis bila melihat naskah yang ayah
buat sendiri. jadi, ayah menyimpan naskah itu di bawah tempat tidur rumah ayah
yang dulu. sampai ayah menikah dengan ibumu, ayah menyimpan naskah itu
digudang rumah kita, tadinya ayah ingin membuangnya atau membakarnya, ayah
ingin melupakan naskah itu. tapi ayah tidak tega, naskah itu mempunyai kenangan
manis untuk sahabat ayah.”
Aku, Deris, Dodi begitu haru mendengar cerita ayahku. Ibuku merangkul bahu
ayah dan mengelusnya untuk ketenangan. Wajah ayah terlihat sedang menahan
kesedihan. Aku mengerti dengan perasaannya, mempunyai sahabat baik yang
tewas mengenaskan – itu benar-benar kejadian yang ironis.
“ ayah, pengalamanmu begitu mengesankan.” Kataku haru. “ oh ya, kebetulan
ayah meminjam buku data murid angkatan ayah, bisakah ayah tunjukan foto
sahabat ayah ?, kami juga ingin melihat foto ayah.”
“ oh iya, benar juga.” Sahut ayahku sembari membuka buku usang itu. “ pastinya
disini ada foto almarhum sahabat ayah juga,”.
Buku itu berisi biodata dan foto-foto lama para murid angkatan 94. Kami melihat
foto ayah yang masih berusia delapan belas tahun. ayahku sangat mirip denganku,
namun wajahnya sedikit lonjong.
“ ayah manis sekali, “ gumam ibuku menggoda. Aku, Deris, dan Dodi tertawa
dengan gurauan itu. ayahku hanya tersenyum melirik ibu.
“ lalu, dimana foto sahabat tuan? “ tanya Deris.
“ sebentar, aku cari dulu.”
Ayahku membolak-balikkan halaman, mencari foto sahabatnya. Ia berhenti disatu
halaman yang terpampang beberapa foto didalamnya.
“ nah ini dia,” seru ayahku. Jarinya mengunjuk kefoto sahabatnya.
Begitu kami semua melihat foto itu, aku dan Deris saling bertukar pandang, aku
dan Deris begitu tak percaya dengan semua ini, sahabat ayahku yang ada difoto
itu adalah Ali.
******
17.
Aku benar-benar tak percaya, begitu juga dengan Deris. jadi selama ini yang
menerorku adalah Ali ?, - maksudku, hantunya Ali ?. kami menceritakan semua ini
pada ayah dan ibuku. Ayahku berkata bahwa namanya adalah Ali Fathir – itu
memang benar, dia benar-benar Ali teman kami yang humoris. aku ingin sekali
menangis begitu tahu yang sebenarnya. Ali selalu membuatku tertawa, bahkan
disaat aku dirawat kemarin. Tapi nyatanya dialah hantu yang selama ini berusaha
mencelakaiku, berusaha merebut peran dariku dan Dodi.
Aku bisa mengira bahwa disaat Ali tewas dia memakai sweater bergaris merah
hitam. jadi setiap kali bertemu dengan kami, dia tak pernah mengganti
pakaiannya,
Aku teringat disaat aku hendak mengantarkan Ali pulang kerumahnya, sehabis
kami dari rumah Deris. dia berkata rumahnya hanya beberapa blok dari sekolah,
itu maksudnya tempat dimana dirinya tewas.
Aku teringat disaat adiknya Deris terkena sawan, itu karena kami mengajak Ali
kerumahnya.
Aku dan Deris bertanya pada anggota kru, terutama yang bertugas sebagai penata
lampu, mereka bilang selama pentas berlangsung tidak ada Ali diatas panggung.
Ya.., karena Ali lah yang selama ini mencengkram bahu Deris dan melayang tanpa
bantuan, menceritakan saat dia tewas ditengah para penonton. Setelah itu dia
terbang dan lenyap, hatinya tenang dan puas.
Acara reuni akbar selesai, aku masih begitu tidak percaya dengan Ali. aku
berpamitan pada Deris, Dodi, dan teman-teman yang lain. Aku dan kedua orang
tuaku sudah naik kemobil, kami bersiap-siap untuk pulang. Mobilku melaju
perlahan dihalaman sekolah karena banyaknya orang-orang yang berlalu lalang,
aku memperhatikan seseorang yang sepertinya kukenal sedang berdiri tegap
dibawah sebuah pohon. dia memakai sweater bergaris merah hitam, itu Ali.
Aku memperhatikannya dari balik jendela mobil saat mobilku melewatinya. aku
terkejut, Ali juga memandangku, tersenyum lebar penuh kepuasan dan rasa
berterima kasih. Matanya yang tajam dan menyala terus melihatku, kami saling
bertatapan. sampai akhirnya Ali menghilang dalam angin dan mobilku melesat
jauh. Aku menutup wajahku dengan kedua tangan, bersedih karena masih tidak
percaya – dalam hati aku berkata. “ selamat tinggal temanku yang humoris,
sekaligus sahabat ayahku.., aku harap setelah ini kau bisa pergi dengan tenang.”
******
~ THE END ~